Masih Ada Hal Baru tentang Sukarno?
*) Berbagi Pengalaman, Menulis Tokoh yang Telah Banyak Dibahas Pakar
Penulis: Walentina Waluyanti
Sukarno lagi, Sukarno lagi! Apa tidak ada hal lain yang bisa ditulis? Lagi pula tulisan tentang Sukarno sudah banyak. Kenapa kok menulis Sukarno lagi?
Menulis buku, sebaiknya tentang topik yang belum pernah dibahas orang? Ini sering kita dengar. Karena itu menulis tentang hal yang sudah banyak ditulis, diperlukan ketelatenan untuk mengumpulkan data-data dan informasi berharga yang belum banyak terungkap. Berikut ini pengalaman saya dalam menulis buku saya berjudul, “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen”. (beredar awal November di Gramedia dan toko buku di Indonesia).
Foto: Sampul buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen", karya Walentina Waluyanti.
Mengumpulkan data/informasi seperti tersebut di atas, bukan sekadar didasari ambisi menerbitkan buku semata. Tapi juga didasari dedikasi untuk mendokumentasikan data-data langka, agar terbingkai ke dalam catatan (baca: buku). Karena semakin banyak kumpulan data jejak sejarah, maka akan semakin membantu usaha verifikasi data sejarah di kemudian hari. Menurut saya, untuk menuju keabsahan verifikasi informasi, sekecil apapun data dan informasi yang ada, sebaiknya ini tidak diabaikan begitu saja.
Bahasan tentang Bung Karno memang sudah banyak diterbitkan. Namun ini tak menghalangi niat saya untuk mengirim naskah saya ke Galangpress Publisher.
Penerbit ini pernah menjadi berita, ketika menerbitkan buku mantan wartawan Tempo, George Junus Adtjondro. Buku itu berjudul “Gurita Cikeas”, yang sempat bikin gerah pihak istana. Saat itu, kantor Galangpress sampai didatangi seseorang yang ditengarai adalah intel Kejati DIY, yang meminta soft copy buku tadi, namun permintaan ini tidak dilayani. Kemarahan keluarga Cikeas, menimbulkan keingintahuan orang pada buku ini, sehingga sangat laris terjual. Begitu larisnya buku ini, sampai versi bajakannya dijual di lampu merah di jalan-jalan, harganya malah lebih mahal dari versi aslinya, sampai mencapai harga di atas Rp. 200.000,-.
Saya juga tahu, di Galangpress sudah ada pakar sejarah, penulis tetap yang banyak menulis tentang Sukarno. Beliau adalah akademisi, sejarawan, yaitu Dr. Baskara T. Wardaya, yang menerima gelar Doktor dan Magister dalam bidang Ilmu Sejarah dari Marquette University , Milwaukee, Wisconsin, AS, di samping itu beliau juga lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Buku-buku Dr. Baskara T. Wardaya tentang Sukarno sudah banyak diterbitkan oleh Galangpress (di Galangpress saya sempatkan membeli buku-buku Dr. Baskara). Pendek kata, kepakaran Dr.Baskara T. Wardaya di bidang sejarah, membuatnya mempunyai pijakan kokoh sebagai pakar sejarah yang setia tetap menulis untuk Galangpress hingga kini.
Merupakan kehormatan bagi saya, ketika bersama Direktur Galangpress, Julius Felicianus, kami berkenan bertemu dan berbincang dengan Dr. Baskara T. Wardaya di Yogyakarta.
Foto: Bertemu pakar sejarah Dr. Baskara T. Wardaya yang banyak menulis tentang Sukarno. Dari kiri: Walentina Waluyanti, Julius Felicianus, Ny. Julius, Dr, Baskara T. Wardaya, Jan de Jonge.
Menawarkan naskah Sukarno kepada penerbit yang jelas punya “link” dengan pakar seperti Dr. Baskara T. Wardaya yang telah banyak menulis tentang Sukarno, membuat saya harus mampu menyuguhkan sesuatu yang “lain” di dalam buku saya.
Maka saya pun berusaha mencari celah lain agar naskah saya bisa lolos. Misalnya dari segi penyajian isi, sudut pandang bahasan, sumber-sumber yang digunakan, maupun hal-hal unik lain yang belum banyak terungkap. Disampaikan dengan cara sederhana, dikemas dalam gaya penceritaan populer, tanpa mengurangi esensi historis-nya. Kaidah berbahasa Indonesia yang baik, tidak saya abaikan. Dan tentu saja menyertakan data dan penyebutan sumber yang jelas adalah sangat penting.
Sebelumnya, beberapa tahun lalu memang saya menulis sejumlah artikel lepas tentang Sukarno yang banyak diedarkan para blogger dan fesbuker di dunia maya. Semua tulisan itu beredar tanpa data dan sumber. Namun tentu saja untuk disusun menjadi buku, tidak bisa begitu. Menyebut data dan sumber, adalah wajib.
Jika kepada penerbit saya mengirim tulisan tentang Sukarno yang sebelumnya sudah telanjur disebarkan di dunia maya, tentu ini sama saja mengirim sesuatu yang “basi”. Mengirim sesuatu yang sudah banyak dibaca, akan kecil kemungkinannya naskah itu bisa diterima penerbit. Dunia penerbitan buku adalah dunia industri yang harus memperhitungkan untung rugi. Penerbit mana yang mau rugi dengan menerbitkan sesuatu yang sudah banyak dibaca orang?
Jika naskah saya tentang Sukarno itu “basi”, maka jelas Galangpress tidak akan bersedia menerbitkannya. Naskah-naskah tentang Sukarno yang saya kirim ke Galangpress, memang harus saya pastikan tidak sama dengan yang beredar di dunia maya. Ada banyak tambahan, perbaikan, dan informasi lain yang belum banyak terungkap. Rupanya tambahan informasi ini diperhatikan dengan jeli oleh Redaksi, karena judul buku saya tadinya hanya satu kalimat, “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen”. Namun kemudian oleh Galangpress ditambahi sub judul, yaitu “Sukarno Undercover – Sisi Lain Putra Sang Fajar yang Tak Terungkap”.
Akhirnya, walaupun telah banyak dibahas, pribadi Sukarno sendiri adalah pribadi unik. Seperti diakuinya, “Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai Dewa”. Setiap penulis mempunyai caranya sendiri dalam berdedikasi pada dunia kepenulisan. Saya pun demikian. Bentuk dedikasi saya, adalah menggali berbagai hal tentang Sukarno dari berbagai data yang bahkan hingga kini belum ada habis-habisnya, untuk dipersembahkan kepada pembaca.
Walentina Waluyanti