Di Gramedia, Buku Walentina Waluyanti de Jonge: "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan":

Tudingan Pengecutnya Proklamator, Taktik Membendung Tan Malaka, Hingga Tersingkirnya Sukarno-Hatta

 Penulis: Walentina Waluyanti

Catatan penulis: Resensi buku Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan ditulis Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, dimuat di Harian Kompas (foto di bawah), klik berikut ini: Membongkar Mitos "Proklamator Paksaan".

 review2

Foto: Resensi di Harian Kompas yang ditulis Guru Besar Sejarah Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, tentang buku Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan, karya Walentina Waluyanti de Jonge (Foto: Dr. Baskara T. Wardaya)

Perpustakaan Proklamator Bung Hatta mencantumkan di program acaranya dalam rangka Peringatan Hari Lahir Bung Hatta ke-113 dan HUT RI ke-70: "Bedah Buku (Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan, Karangan Walentina Waluyanti de Jonge) sebagai Referensi Masa Depan Bangsa dalam Melestarikan Nasionalisme Indonesia”.

Bedah Buku tersebut juga menghadirkan putri Bung Hatta, Halida Hatta sebagai panelis, silakan klik => video

DSC 0270 1

Foto: Putri Bung Hatta, Halida Hatta dan Walentina Waluyanti de Jonge saat acara bedah buku "Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan" untuk memperingati Hari Lahir Bung Hatta ke-113 Bung Hatta di Bukittinggi, 12 Agustus 2015.

walentina06

Foto: Buya Syafii Maarif menerima buku "Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan" dari penulis Walentina Waluyanti de Jonge di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 21 Agustus 2015, pada acara yang diselenggarakan Pusdema (Pusat Studi Demokrasi dan Masyarakat).

Proklamasi kemerdekaan diwarnai intrik. Lalu timbul tudingan bahwa Sukarno-Hatta pengecut, karena memproklamasikan kemerdekaan karena dipaksa. Siapa yang awalnya tahun 1940-an terang-terangan secara terbuka menuding Proklamator sebagai pengecut? Buku ini sekaligus memaparkan bahwa ada sentimen politik dan persaingan merebut pengaruh antar tokoh pemimpin di balik tudingan tersebut. Lalu mengapa pula intrik proklamasi ada hubungannya dengan Tan Malaka dan Adam Malik? Buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan" menjawab pertanyaan tadi. Ratusan foto menarik, di antaranya beberapa foto langka, menyertai 70 babak kisah (tebal buku 610 halaman).

Setelah buku “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen”, kembali buku karya Walentina Waluyanti de Jonge diterbitkan. Sejarawan Dr. Peter Kasenda, berkenan memberi kata pengantar untuk buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan" ini.

Cover buku "Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan" (Sumber foto: Teguh Prastowo)

Atas sukarno-hatta-frontkata pengantarnya, terima kasih kepada Bapak Dr. Peter Kasenda, yang dikenal telah menelurkan sejumlah buku tentang Sukarno. Di antaranya "Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933", dan yang baru terbit berjudul “Sukarno Marxisme Leninisme”.

Adapun Walentina Waluyanti de Jonge, sebagai penulis buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan" ini, adalah anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden, yang berfokus pada kajian literatur sejarah Indonesia-Belanda.

Menyimak buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan" ini, ibarat napak tilas, menyimak perjalanan panjang antara dua sahabat, Bung Karno dan Bung Hatta.

Ada beberapa peristiwa yang belum banyak terungkap. Buku ini sekaligus menjawab keingintahuan bagi mereka yang tertarik dengan sepak terjang perjuangan Sukarno dan Hatta, mulai dari awal mula terbentuknya Dwitunggal hingga di penghujung usia. Termasuk juga kontak rahasia antara Sukarno dan Hatta saat keduanya masih pemuda dan masih duduk di bangku kuliah.

Kontak pertama antara Sukarno dan Hatta memang sudah terjadi sejak keduanya masih sama-sama muda belia. Dan akhirnya sama-sama terpinggirkan perannya pada masa Orde Baru, yang tergambarkan kisahnya pada buku ini.

Buku ini juga membahas Sukarno dan Hatta yang kewalahan menghadapi keagresifan komunisme dalam politik. Bagaimana Bung Hatta memperingatkan Bung Karno tentang Aidit yang pandai menjilat, juga ada kisah seputar pemalsuan paragraf dalam buku biografi Sukarno (karya Cindy Adams), untuk mendiskreditkan Sukarno. Bagaimana kesaksian Cindy Adams pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Bung Karno, diceritakan pula di buku karya Walentina Waluyanti de Jonge ini.

Berbagai scene seru dan unik dari Sukarno dan Hatta, yang diwarnai saling kagum dan saling sebal, tertuang di dalam buku ini. Mulai dari masa adem-ayemnya hubungan antara Sukarno dan Hatta pada tahun 1920-an, sampai akhirnya memuncak pada konflik yang sangat prinsip. Meski kerap berkonflik, toh Hatta sengit membela Sukarno ketika pada masa Orde Baru, ada pernyataan bahwa penggali Pancasila adalah Muh. Yamin, bukan Sukarno. Buat Bung Hatta, persoalannya bukanlah soal membela Bung Karno. Namun fakta sejarah memang kenyataannya Sukarno adalah penggali Pancasila. Di buku ini juga pembaca diajak melongok bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta di tengah konflik politik, namun secara jantan tetap menjalin persahabatan hingga akhir usia. 

Buku “Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan” (klik review/resensinya: Dwitunggal Sukarno Hatta), menceritakan latar belakang dan perjalanan perjuangan Dwitunggal. Juga ada beberapa peristiwa krusial lainnya terkait  kiprah politik Sukarno dan Hatta. Tentu saja termasuk detik-detik bersejarah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur. Juga ada paparan peristiwa seputar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang selama ini tak banyak terekspos. Beberapa warna-warni kehidupan dan sisi manusiawi Sukarno-Hatta, juga ditampilkan di dalam buku ini.

Berikut ini saya mengutip sinopsis buku “Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan”, yang ditulis oleh Redaksi Galangpress Publisher pada sampul belakang buku:

“Di Rengasdengklok tidak ada perundingan suatu pun,” tegas Bung Hatta. Selama “diculik” para pemuda di Rengasdengklok, Bung Hatta membantah bahwa ada perundingan untuk membahas Proklamasi Kemerdekaan. Justru di tengah kegentingan situasi di kala itu, ada kebersamaan menarik yang ditunjukkan Dwitunggal, Sukarno-Hatta. Keduanya sibuk bergantian menggendong Guntur yang masih bayi. Bahkan saat menggendong Guntur, Bung Hatta bercerita, ia terpaksa harus merelakan pantalonnya basah karena Guntur kecil ngompol di pangkuannya.

Begitulah sekelumit sisi jenaka kesetiakawanan Sukarno-Hatta. Predikat dwitunggal mereka sandang karena terbukti saling melengkapi, meski sejatinya keduanya mempunyai prebedaan prinsipiil, di antaranya, perbedaan politik. Hatta lebih menginginkan sistem federalis dengan otonomi daerah, sedangkan Bung Karno menginginkan bentuk negara kesatuan. Kesamaan visi–memerdekakan serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial untuk rakyat Indonesia–menjadi tali yang menyatukan keduanya.

Sangat disayangkan, kesatuan langkah mereka dihadapkan pada sebuah persimpangan. Pada medio tahun 1950-an, mereka tak lagi menjadi dwitunggal. Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Namun perpisahan itu hanyalah perpisahan dalam perjalanan kepemimpinan. Di luar itu, mereka tetap sepasang sahabat hingga hembusan napas terakhir. Di kala Bung Hatta sakit, Bung Karno mengusahakan pengobatan terbaik. Begitu pula, saat Bung Karno sakit keras dan diperlakukan semena-mena oleh rezim Orde Baru, Bung Hatta hadir untuk menguatkan sang sahabat. Pada perjumpaan terakhir itu, Bung Karno mengucapkan kalimat yang sulit ditangkap, tapi kira-kira berbunyi, “Hoe gaat het met jou?” ‘Apa kabar?’ Bung Karno menitikkan air mata, menetes ke bantal. Ia memandang Bung Hatta, yang terus memijit lengan Bung Karno.

Buku ini berisi pergumulan perjalanan dwitunggal sekaligus penegasan bahwa mereka bukan dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan RI, namun Proklamasi Kemerdekaan RI sebenarnya sudah menjadi bagian dari strategi mereka yang dirancang sejak tahun 1920-an.

sukarno-hatta3

Foto: Drs. Mohammad Hatta dan Ir. Soekarno

Buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan" menampilkan peran Sukarno-Hatta sebagai Bapak Bangsa dan Proklamator yang telah memproklamasikan kemerdekaan bukan karena dipaksa, sebagaimana tuduhan yang kadang dilontarkan kepada Dwitunggal. Tuduhan bahwa Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan karena paksaan, terkesan mengerdilkan peran dan perjuangan panjang Bapak Bangsa.

Sebagai penulis, di dalam buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan", saya menegaskan bahwa Bapak Bangsa adalah wajah bangsa. Jika suatu bangsa mengerdilkan peran Pendiri Bangsa-nya sendiri, maka ini merupakan cerminan kualitas bangsa itu sendiri di mata dunia. Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan bukan karena paksaan.

Foto: Buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan" (Sumber foto: Sigit Suryanto)

Buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator buku Sukarno HattaPaksaan" bisa didapatkan di Gramedia dan toko-toko buku di seluruh Indonesia. Sayangnya di iklan situs online-nya, Gramedia-online salah ketik nama saya, yaitu Valentina, bukan Walentina Waluyanti de Jonge. 

Selain di Gramedia, bagi yang berminat, bisa juga langsung menghubungi Penerbit Galangpress Yogyakarta,  website: www.galangpress.com 

Buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan" adalah buku Walentina Waluyanti setelah penerbitan buku karya sebelumnya berjudul "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen".

Informasi lebih lanjut tentang buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan",  bisa langsung menghubungi penerbit => http://www.galangpress.com

Berikut ini spesifikasi buku "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan": (Review buku, klik: Membongkar Mitos "Proklamator Paksaan")

Judul       : Sukarno-Hatta

Subjudul : Bukan Proklamator Paksaan

Penerbit  : Galang Pustaka

Penulis   : Walentina Waluyanti de Jonge

Editor/Penyunting     :  Among Pulung

Ukuran   : 150 x 230 mm

Tebal      : xxii + 610 hlm

ISBN      : 978-602-9431-70-4

walentina01About Me

Walentina Waluyanti de Jonge

{backbutton}