Bung Karno Nyanyi Yankee Doodle
Versi revisi lebih lengkap dilengkapi daftar pustaka dari tulisan ini telah dibukukan, berjudul "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen". Bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku di seluruh Indonesia. Buku ini telah menjadi koleksi perpustakaan nasional Kerajaan Belanda (Koninklijke Bibliotheek).
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Catatan penulis: Tulisan ini adalah rangkaian dari tulisan saya berjudul “Bung Karno Alergi, Ibu Negara Murka". Bersama penonton lain, Sukarno antri masuk bioskop. Kelihatannya dia sama saja dengan penonton lain. Asal punya karcis, boleh masuk. Tapi ada bedanya. Bedanya bukan karena Sukarno mampu-nya membeli karcis yang paling murah. Tapi beda yang menyolok, karcis murah di tangannya menunjukkan hak Sukarno hanya boleh duduk di belakang layar film. Bukan di depan layar, sebagaimana normalnya orang menonton film.
Karena itu, teks film hanya bisa dibacanya terbalik dari belakang layar itu. Memang sedikit sulit untuk mengerti kisah film dengan membaca terbalik begitu. Soalnya di jaman itu belum ada film bersuara. Masih film bisu. Satu-satunya cara untuk mengerti jalan cerita, hanya dengan lihat gambar dan membaca teks film. Walau membaca teks film secara terbalik, tapi Sukarno sudah cukup senang dan terhibur.
Foto: Bioskop Broadway, Soerabaja tempo doeloe, kota tempat Soekarno menghabiskan masa remaja
Sepenggal kenangan di atas adalah pengalaman Sukarno ketika masih remaja belasan tahun. Saat itu dia menghabiskan masa remajanya di kota Surabaya.
Buat Sukarno remaja, uang pas-pasan tak menjadi penghalang menikmati kesenangannya akan film Amerika. Di tengah istirahat film, disenandungkannya lagu “Yankee Doodle”.
“Yankee Doodle went to town, a-riding on a pony, he stuck a feather in his hat, and called it macaroni”. Begitu cuplikan lirik lagu itu.
Itu tadi lagu favorit Kusno (nama kecil Sukarno) ketika remaja. Nonton film Amerika adalah hobby-nya. Dan lagu Yankee Doodle, lagu kegemarannya adalah lagu Amerika.
Begitulah, kedua produk budaya Amerika tadi, telah mewarnai masa remaja Bung Karno.
Siapa sangka bertahun-tahun kemudian budaya itu lalu digempurnya dengan sengit? Beberapa kalangan menuduh ada alasan pribadi di balik larangan itu. Wallahualam. Ada juga yang mengatakan itu karena Bung Karno dikipas-kipasi komunis.
Kalau soal dikipasi golongan kiri, kepribadian Sukarno terlalu kuat untuk mempan dihasut.
Tentang ini, pernah Bung Karno katakan di pidatonya, “Saya tegaskan sekali lagi, salah anggapan seseorang atau golongan bahwa saya, apalagi sebagai Pemimpin Besar Revolusi, tetapi juga sebagai persoon, bisa dan mau dijungkrak-jungkrakkan, didorong-dorong, dituntut-tuntut. Dalam bahasa Inggris, I know my job, I know my job!...Tidak peduli dari mana itu! Tidak dari PKI....”.
Tentu saja Bung Karno tidak serampangan dengan dangkal menghubungkan budaya asing merusak moral (logika di masa Orba). Masalahnya, ketika itu Bung Karno menganggap Indonesia belum stabil, masih bayi, perlu waktu dulu untuk menguatkan keribadiannya sebelum menerima pengaruh budaya asing.
Foto: Soekarno dan Hartini
Bagi Bung Karno, Indonesia tidak sekedar sebuah negara. Lebih dari itu. Indonesia baginya juga adalah bayi yang dengan penuh kasih dielus-elusnya, ditimangnya, dan diajarkannya berjalan hingga dapat berdiri. Untuk menuju semua itu, sang bayi ini harus kenal dulu akar budayanya hingga matang dan akhirnya menemukan identitas sendiri. Hingga terbentuk kepribadiannya sendiri.
Jika kepribadian itu sudah kuat, nah....tidak jadi soal. Indonesia mau digempur budaya apapun, silahkan saja. Toh kepribadian dan identitas bangsa sudah terbentuk kuat. Sehingga pengaruh luar pun tidak akan bisa merusak identitas bangsa. Kepribadian dan identitas yang kuat akan membentuk mental dan karakter yang tangguh.
Namun Indonesia yang masih bayi, belum sempat melalui proses pertumbuhan itu, kok sudah diserbu penjajahan budaya. Seperti induk singa yang bayinya diganggu, secara refleks Bung Karno ingin melindungi bayi Indonesia-nya. Bung Karno mengaum! Lalu keluar perangai aslinya jika ada yang menghalangi revolusi. Yaitu sifat radikal-nya! Maka dia pun teriak! Berantas ngak ngik ngok dan budaya barat itu! Ganyang! Amerika kita setrika! Inggris kita linggis!
Secara politis, mata futuristik Bung Karno bisa meneropong lebih jauh dampak penjajahan budaya. Penjajahan budaya itu bahayanya tidak terasa. Karena imperialisme ini tidak terasa efeknya melalui senjata dan peperangan. Tapi sebetulnya imperialisme budaya jauh lebih dahsyat efeknya daripada perang fisik. Karena tanpa disadari, imperialisme budaya menimbulkan efek “cuci otak”. Dengan pencucian otak, manusia bisa disetir ke arah yang dikehendaki si pengatur.
Bak hipnotis, semua proses itu berjalan secara sistematis, perlahan namun fatal akibatnya.
Dan dampak itu kita sudah lihat hasilnya sekarang kan?
Sesudah jatuhnya Sukarno, Indonesia yang ketika itu belum kokoh dan stabil, tak mampu menahan serbuan budaya luar. Budaya pop dan budaya non kontemplatif lainnya, yang bibitnya dikonstruksi oleh konglomerasi kapitalisme, kini terasa sangat dominan hingga menghajar identitas bangsa sampai terkapar. Padahal identitas bangsa adalah nafas utama untuk menjadi bangsa berkarakter dan punya harga diri. Dan itulah yang sekarang terasa nyaris lenyap dari Indonesia.
Salah satu dampaknya, dulu rakyat Indonesia bisa dengan penuh harga diri di bawah Sukarno berteriak “Ganyang Malaysia!”. Sekarang Indonesia yang rajin mengirim TKW ke Malaysia, sudah terinjak-injak harga drinya tidak bisa berbuat apa-apa diganyang Malaysia saat budaya dan pulaunya dicuri. Indonesia cuma bisa mengeluh lirih, “Huuuh...maling sial!”.
Belum sempat membesarkan bayinya hingga kuat berdiri, Sukarno sudah digulingkan.
Sukarno wafat dengan membawa idealisme-nya tentang “nation and character building”. Tema ini entah mengapa di masa Orba tergantikan oleh tema “character building” yang lain. Yaitu karakter KKN. Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
Budaya KKN merambah subur, hingga nyaris menggusur budaya tertinggi dalam hidup berbangsa, yaitu budaya hukum!
Sukarno mata keranjang. Ini fakta obyektif. Dari segi mana pun, perilaku itu sulit untuk diterima. Apapun alasannya, kelemahan Sukarno itu sulit untuk dibenarkan. Karena itu Sukarno tahu diri dengan kelemahannya ini. “Satu hal yang patut dipuji, Sukarno tidak hipokrit”. Begitu komentar Fatmawati saat Sukarno minta ijin menikahi Hartini.
Sukarno memenjara lawan politknya. Memenjara itu jelas beda dengan membunuh lawan politik.
Ini juga fakta obyektif. Sukarno tenang saja ketika Aidit berpidato terang-terangan di depannya, menyindir kelakuan pejabat yang suka main perempuan. Bahkan Aidit lebih menohok Bung Karno dengan kata-kata “tidak menghormati perempuan”. Bandingkan dengan pejabat-pejabat di masa Orba, yang di depan umum pura-pura ber-istri satu, tapi diam-diam selingkuh sana sini. Dan jangan coba-coba ada yang menegur apalagi berani mengumbar itu di media!
Ah, sisi kelam Sukarno memang soal perempuan! Dia jelek...titik! Itu kata golongan anti Sukarno. Apa boleh buat. Jika Sukarno tidak mata keranjang, maka dia nyaris menjadi pemimpin dengan kriteria: bukan playboy, tidak gampang memerintahkan pembunuhan dan tidak doyan KKN. Semua orang tahu apa kelemahan Sukarno. Tapi semua orang juga tahu Sukarno anti pertumpahan darah, apalagi KKN. No way!
Memang susah mencari pemimpin sempurna. Ada yang tidak doyan perempuan (?), tapi doyan KKN, tangannya belumuran darah alias terlalu mudah memerintahkan pembunuhan rakyat.
Ada yang tidak terlibat pembinasaan rakyat, tapi doyan KKN.
Atau ada juga yang monogami, tidak terlibat pemusnahan massal, tidak KKN, tapi tidak terpilih jadi presiden!
Yang jelas, jangan sampai Indonesia diberi pemimpin yang memenuhi ketiga kriteria tadi, yaitu doyan main perempuan, doyan darah, doyan KKN. Waduh, maruk!
Oh ya, apa reaksi rakyat setelah diserbu budaya baru yang disebut KKN itu? Di sebuah sudut sana, ada potret sekelompok generasi seakan menjawab pertanyaan tadi. Sambil mendengar musik rock, sambil mengisap drugs seperti kelakuan idola rock-nya, mereka melenguh, "Emang gua pikirin?!" *** (Penulis:Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer, adalah anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden, yang berfokus pada kajian literatur sejarah di wilayah Asia Tenggara dan Karibia, termasuk sejarah Indonesia-Belanda).
Walentina Waluyanti
{backbutton}