Resep Provokator
Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Tamu-tamu berdatangan. Hari itu saya mengundang beberapa tamu. Di acara istimewa di rumah, biasanya saya menghidangkan makanan Indonesia. Setelah ngobrol ngalor ngidul, tibalah saat menyajikan hidangan masakan saya sendiri.
Tamu-tamu Belanda itu tidak semuanya kenal dengan makanan Indonesia. Paling-paling mereka cuma kenal makanan Indonesia standar yang banyak dijual di restoran Cina. Misalnya nasi goreng, sate, gado-gado. Karena itu ketika melihat penampilan 'nasi goreng kuning' mereka tanya “Ini apa? Nasi kuning ya?”.
Nasi goreng kuning ini pertama kali saya kenal dari ayah. Di akhir pekan saat punya waktu luang, ayah sering memanjakan keluarga dengan masakannya. Sampai sekarang sudah bermukim di Belanda, saya masih sering membuat nasi goreng resep ayah itu. Juga menghidangkannya buat tamu-tamu di kesempatan khusus di rumah.
Foto: Di dapur penulis, sibuk menyiapkan hidangan buat tamu
Di rumah penulis: Tamu menikmati masakan saya, hidangan Indonesia
Oh ya, sejak kecil, peran ayah bagi saya juga adalah guru yang banyak membimbing menemukan dan mengasah bakat saya. Ya! Selain melukis, dari ayah saya banyak belajar dunia penulisan dan jurnalistik.
Ayah adalah “provokator maksa banget” yang mengindoktrinasi saya agar cinta tanah air, bangga sebagai bangsa Indonesia...walau bangsa sedang babak belur. Saya juga “diprovokasi” untuk tetap bangga terhadap bahasa Indonesia, walau ayah bisa berbahasa asing, termasuk bahasa Jerman. Mencintai bahasa Indonesia, bukan karena alasan muluk-muluk “berbahasa yang benar dan baik”, tapi karena “kamu orang Indonesia”, katanya.
Sebagai provokator, ayah suka rese mengoreksi dan mengkritik ketidak-disiplinan saya dalam pemakaian bahasa Indonesia. Kritik dari ayah bukan cuma NATO (No Action Talk Only). Soalnya ayah di tahun 1972, pernah mengikuti sayembara penulisan naskah drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Umar Khayam, ketua dewan jurinya. Ternyata nama ayah, bersama Putu Wijaya dan Arswendo Atmowiloto yang juga ikut komba itu, sama-sama keluar sebagai pemenang sayembara. Judul naskah ayah yang menang itu, “Ketika Bumi Tidak Beredar”, dan naskah Putu Wijaya judulnya “Aum”. Padahal profesi ayah bukan dramawan, walau berteman dengan Rendra ketika bersekolah di Solo. Naskah drama tadi, sampai sekarang masih sering dipakai oleh berbagai grup teater, April lalu dipentaskan oleh Dorman Borisman di Taman Ismail Marzuki. Naskah drama ayah yang lain, diminta oleh penerbit di Perancis, dan diterbitkan dalam bahasa Perancis, judulnya “Domba-Domba Viaduct”.
Maaf, jika provokasi yang saya maksud di sini, bukan provokasi dalam arti negatif. Oleh karena kolom ini akomodatif terhadap hal-hal positif, perkenankanlah saya membagi hal positif. Untuk sementara, saya hanya bisa bagi resep. Kalau bagi duit, biarlah itu kita serahkan pada pakarnya yang lagi ngetop saat ini, yaitu Saudara Gayus Holomoan P. Tambunan.
Nasi goreng kuning ini bumbunya memakai bumbu dasar empal, yang antara lain menggunakan kunyit. Karena itu, nasi goreng ini berwarna kuning.
Nasi goreng ala Walentina (Foto: Walentina Waluyanti)
Nasi goreng bumbu empal ini, tidak harus menggunakan daging empal. Di sini saya mencampurnya dengan udang yang memberi rasa gurih khas. Oke! Berikut ini resep dari ayah saya, provokator yang telah membuat saya mencintai dunia penulisan dan jurnalistik.
Resep Nasi Goreng Kuning
Di sini saya menghidangkan nasi goreng ngempal dengan ikan goreng tepung dan krupuk. Saya senang, bisa mem-”provokasi” tamu-tamu Belanda agar mau makan makanan Indonesia. Termasuk nasi goreng kunimg ini. Mereka bilang, “Lekker, Walentina! Boleh minta resepnya?”.
Menikmati nasi goreng di kebunku (Foto: Walentina Waluyanti)
(Semoga provokasi Nasi Goreng Kuning ala Walentina ini bermanfaat. Selamat mencoba!
Walentina Waluyanti
Nederland, 21 November 2010
{backbutton}