Supersemar Lahir, Banjir Darah Mengalir

Penulis: copyright @ Walentina Waluyanti de Jonge -Nederland

Catatan: Seputar Supersemar, telah penulis tuangkan ke dalam buku karyanya (dengan daftar pustaka) berjudul "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen" (author: Walentina Waluyanti de Jonge). Kisah latar belakang hubungan Sukarno Hatta dan komunisme juga tertuang di buku karya saya (dengan daftar pustaka), berjudul Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan. Buku ini telah menjadi koleksi Australian National University, Perpustakaan Kerajaan Belanda, dan Perpustakaan Nasional Indonesia.

Sukarno tak pernah menduga ia sedang menuju ambang kejatuhan, pada tanggal 11 Maret 1966. Sukarno tak mengira, perintah yang diberikannya kepada Suharto pada tanggal tersebut, akan mengakhiri kekuasaannya sendiri. Sukarno juga tak pernah membayangkan bahwa Supersemar itu berujung pada malapetaka. Yaitu terjadinya banjir darah, pembantaian jutaan rakyat di berbagai wilayah di Indonesia. Bangsa yang dikenal ramah dan religius, ternyata bisa menjadi buas terhadap sesamanya, terlihat gambarannya pada pembantaian massal pasca G30S. Terbunuhnya 7 jenderal yang dibuang ke Lubang Buaya memang mengerikan, tetapi peristiwa balas dendam sesudahnya, apakah tidak lebih mengerikan?

supersemar 01 Foto: Letjen Suharto dan Presiden Sukarno, 1966

Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru ditandai dengan lahirnya Supersemar. Kalau mau disederhanakan, kita katakan saja, Orde Lama adalah era berkuasanya Sukarno, di mana partai komunis masih bisa eksis di panggung politik Indonesia. Sedangkan pada era Orde Baru, era berkuasanya Suharto, adalah era di mana partai komunis, simpatisannya, bahkan “bau-baunya” saja, diberangus habis.

Pada era Orde Lama Sukarno dinilai terlalu “kasih hati” pada komunis. Sedangkan pada era Orde Baru, jangankan seujung jari, yang namanya dikasih ampun pun, pokoknya no way buat PKI. Suharto yang menjadi penguasa Orde Baru betul-betul memberantas habis semua yang berbau komunisme sampai ke akar-akarnya.

Penulis yang melewati masa kanak-kanaknya pada tahun 1970-an, masih ingat istilah yang sudah dihafal mati oleh setiap anak SD di Indonesia pada masa itu, yaitu slogan “awas bahaya laten komunisme”. Kalimat tadi begitu gencar dikumandangkan, hingga kuat melekat di otak setiap orang Indonesia, termasuk anak-anak seusia saya ketika itu. Setiap tanggal 30 September diputar film sutradara Arifin C. Noor, "Pengkhianatan G30S PKI". Film ini disiarkan setiap tahun secara nasional oleh TVRI. Melalui film itu, semua anak sekolah yang masih polos, percaya habis secara naif, bahwa yang namanya komunis pasti jahat. Yang namanya atheis pasti biadab, dan karenanya layak untuk dibunuh. Ohhh... begitu hitam putihnya alam pikiran anak-anak ketika itu. Dan ini tidak kecil pengaruhnya dalam membentuk pola pikir generasi selanjutnya. (Baca: Penyebab Mengapa Komunis Harus Atheis).

PKI2a

Foto: Korban yang langsung dibantai di tempat tanpa proses pengadilan, hanya karena dicurigai sebagai PKI.

Mana bisa anak-anak itu mengerti, bahwa kebiadaban dalam peristiwa Lubang Buaya yang konon dilakukan oleh orang-orang atheis dan komunis, juga sama mengerikannya dengan balas dendam pasca G30S yaitu pembantaian massal, yang dilakukan oleh orang yang konon beragama dan non-komunis? Kata sejarawan Asvi Warman Adam, tanggal 30 September memang “malam terkutuk dan laknat”, namun ia juga mempertanyakan, “….bukankah malam-malam sesudahnya dan berlangsung selama beberapa bulan tatkala terjadi pembunuhan sesama bangsa sendiri – minimal 500.000 jiwa jadi korban – itu secara keseluruhan jauh lebih “jahanam”? Kata Bung Karno, bahkan orang-orang yang mau mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan itu juga diancam akan dibunuh.

Memori kanak-kanak saya masih mengingat, kalimat "bahaya laten komunisme", hampir setiap hari menghias koran tahun 1970-an, bahkan bertahun-tahun sesudahnya. "Bahaya laten komunisme" pada masa itu juga terucap di pidato-pidato seluruh pejabat, sehingga menjadi indoktrinasi yang membuat bangsa Indonesia hingga kini melihat komunis sebagai momok yang menakutkan. Lihat saja Putri Indonesia 2015 yang mengenakan T-shirt bergambar palu dan arit (lambang PKI), sampai menjadi berita heboh. Begitu menakutkannya komunisme sehingga, bisa dibilang anak-anak di masa itu lebih kenal doktrin “bahaya komunisme” dibanding “bahaya korupsi”.

Menurut pengakuan Bung Hatta, ia telah memperingatkan Bung Karno tentang taktik komunis. Namun peringatan ini diabaikan Bung Karno. Sebetulnya Sukarno dan Hatta, keduanya sama-sama pernah dekat dengan tokoh-tokoh tua PKI, dan ini ada latar belakangnya. Bahkan ketika Alimin tokoh PKI akan ditembak mati, Bung Hatta melarang hal itu dilakukan. Tentang kedekatan Sukarno-Hatta dengan tokoh-tokoh tua PKI, saya uraikan di buku karya saya, berisi 70 judul kisah, tebal 610 hal., klik "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan". Sukarno dinilai terlalu memberi angin kepada PKI. Bung Hatta juga mengatakan pimpinan PKI, Aidit hanya memperalat Sukarno, demi tujuan politiknya. Menurut Bung Hatta, Aidit pandai menjilat Sukarno, padahal Bung Hatta tahu betul masa lalu Aidit dan bagaimana ia dahulu memperlakukan Sukarno.

supersemar 02

Foto: Aidit dan Sukarno

Suatu siang, Bung Karno mendatangi rumah Bung Hatta untuk makan bersama. Dalam pertemuan itu keduanya berbincang yang memuncak pada perdebatan serius. Bung Hatta menyebut-nyebut Aidit. Peringatan Bung Hatta kepada Bung Karno tentang PKI, dan bagaimana isi percakapan mereka, bagaimana Bung Hatta menceritakan masa lalu Aidit, saya tulis lebih lengkap dan lebih detail dengan daftar pustaka, di dalam buku karya saya, klik “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan”.

Sudah bukan rahasia, PKI ketika itu bersaing dengan Angkatan Darat dalam usahanya merebut pengaruh Sukarno. Puncak persaingan ini adalah dengan meletusnya peristiwa G30S, ketika 7 jenderal diculik, dibunuh dan ditemukan jasadnya di Lubang Buaya. Hingga kini peristiwa G30S ini masih menjadi bahan perdebatan yang menimbulkan pro kontra, tentang siapa yang menjadi dalang sesungguhnya dari peristiwa ini. Apakah PKI (menurut versi Orde Baru), ataukah unsur lain memanfaatkan PKI, ataukah disain pihak asing?

Yang jelas, meletusnya G30S menimbulkan kemarahan rakyat. Bung Karno dituntut untuk segera membubarkan PKI. Situasi chaos akibat kemarahan rakyat menjalar ke banyak daerah. Situasi ini tentu harus diakhiri. Akhirnya atas desakan Suharto, Sukarno memberi perintah untuk mengamankan situasi di Tanah Air. Surat Perintah Sukarno kepada Suharto inilah yang disebut dengan istilah “Supersemar” (Surat Perintah Sebelas Maret). Disebut Supersemar, sebab Surat Perintah itu ditandatangani oleh Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966.

Begitu “Supersemar” ditandatangani Sukarno dan diterima Suharto, terjadilah penumpasan terhadap PKI dan semua unsur-unsurnya. Korban berjatuhan di mana-mana. Padahal sebetulnya bukan ini yang dimaksudkan Sukarno ketika mengeluarkan perintahnya kepada Suharto. Tapi nasi sudah jadi bubur. Tak sedikit penduduk yang dicurigai sebagai PKI, langsung dibunuh di tempat. Diperkirakan jumlah korban minimal 500.000 jiwa, bahkan mencapai di atas 1 juta korban. Jumlah korban yang besar, membuat sejarawan menyebutnya sebagai jumlah yang paling besar dari 10 besar pelanggaran HAM. Narasi tragedi seputar lahirnya Supersemar ini saya tulis di buku karya saya, disertai daftar pustaka, klik "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen".

Balas dendam terhadap PKI, dinilai telah melampaui batas. Kejadian di Lubang Buaya pada peristiwa G30S memang biadab. Tetapi rentetan kejadian setelah peristiwa G30S, yaitu pembunuhan selama berbulan-bulan setelahnya, adalah sangat mengerikan. Bahkan di beberapa daerah, ada sungai yang airnya beberapa hari tetap berwarna merah, saking begitu banyaknya korban tewas yang dibuang ke sungai itu. Tak sedikit para orangtua disembelih atau dikapak kepalanya di depan anak-anaknya. Tidak hanya pembunuhan, tetapi juga orang-orang yang dituduh atau hanya dicurigai sebagai PKI meskipun tanpa bukti, menjadi orang-orang yang kehilangan masa depan. Mereka dipecat, tak bisa mencari pekerjaan, bahkan anak-cucunya yang tak tahu apa-apa, turut dimusuhi masyarakat. Alhasil, orang-orang yang keluarganya dicurigai sebagai PKI atau simpatisannya, dianggap sebagai sampah yang terkucil dari masyarakat. (Ini yang melatar-belakangi isu yang kemudian diplintir menjadi minta maaf kepada PKI, pernah saya tanyakan langsung kepada sejarawan LIPI Prof. Asvi Warman Adam saat bertemu di International Institute of Social Histry di Amsterdam=> klik: Minta Maaf pada PKI?)

supersemar 03

Foto: Penumpasan PKI tahun 1965.

Banjir darah di atas terjadi setelah lahirnya Supersemar. Padahal isi Supersemar sendiri sebetulnya tidaklah “seseram” seperti akibat yang ditimbulkan. Di buku karya saya berjudul “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen" saya menjelaskan apa itu Supersemar. Di sini saya singkatkan saja, Supersemar adalah Surat Perintah Sukarno kepada Suharto untuk menstabilkan jalannya pemerintahan.

Naskah Supersemar yang asli, hingga kini tidak pernah diketahui di mana rimbanya. Dinyatakan bahwa naskah asli Supersemar hilang, namun publik sukar untuk mempercayai hal ini. Apakah mungkin arsip negara sepenting itu bisa hilang begitu saja? Alhasil, pembahasan tentang Supersemar tak pernah benar-benar tuntas dan memuaskan, sebab keberadaan naskah Supersemar asli hingga kini tetap misterius. Ada yang menduga, naskah Supersemar disimpan oleh Suharto sendiri. Namun dugaan ini tak pernah bisa dibuktikan.

Lahirnya Supersemar akhirnya membawa Indonesia ke orde yang disebut Orde Baru. Sayang sekali untuk menuju jaman yang baru itu, harus dimulai dengan pembasmian berdarah di antara sesama satu bangsa dan satu Tanah Air. *** (Penulis Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer, adalah anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden, yang berfokus pada kajian literatur sejarah Indonesia-Belanda).

fr wwWalentina Waluyanti de Jonge

About Me

Penulis buku: Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen

Artikel terkait:

Misteri Supersemar: Betulkah Bung Karno Ditodong Jenderal?

Sukarno dan Hatta, Awalnya Saling Kontak Secara Rahasia

 {backbutton}

Add comment