Salahkah Politik Dinasti?
Sukarno: Semoga Anakku Tidak Jadi Presiden
Penulis@copyright: Walentina Waluyanti de Jonge
Ketika putra pertamanya lahir, Sukarno mengatakan ia berharap anaknya itu tidak menjadi Presiden, sebab hal itu terlalu berat. Harapan Sukarno ini adalah doa. Dan doa itu terkabulkan. Guntur Sukarnoputra jauh dari hiruk-pikuk politik.
Doa Sukarno kepada Guntur, menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah barang yang nikmat. Ini mencerminkan bahwa bagi Sukarno, kekuasaan adalah beban yang sangat berat. Begitu beratnya, sehingga ia lebih suka anaknya yang dicintainya jangan sampai memikul beban itu. Bagaimana kekuasaan di era sekarang?
Foto: Bung Karno dan Fatmawati bersama Megawati dan Guntur.
“Sayang anak… sayang anak!” Kalimat ini kerap terdengar di tengah keramaian. Penjual mainan anak-anak, penjual balon, meneriakkan kalimat itu saat menawarkan dagangannya. Penjual tadi mengerti psikologi. Kalau sayang anak, belilah dagangan ini, berikan kepada anakmu, dijamin anakmu pasti senang! Semua orangtua ingin memberi sesuatu yang dapat menyenangkan anaknya. Lalu apa hubungannya dengan politik dinasti?
Ciri dinasti (kerajaan) yaitu mewariskan kekuasaan kepada anak/keturunan. Dan semua orangtua yang mencintai anaknya pastilah ingin mewariskan sesuatu yang dapat menguntungkan anaknya. Buat apa mewariskan sesuatu kepada anak, jika itu merugikan? Itu sebabnya Sukarno lebih suka Guntur tidak jadi presiden.
Tetapi sekarang bukan lagi era Sukarno. Iklim politik Indonesia sekarang tak lagi sama seperti dahulu. Dahulu Bung Karno berusaha menghindarkan anaknya dari kekuasaan. Dan sekarang? Politik dinasti yang mulai menggejala di Indonesia, menunjukkan bahwa kekuasaan itu justru menjadi incaran, kalau perlu menjadi "pemberian" yang bisa diwariskan kepada anak.
Dengan hidupnya politik dinasti sekarang ini, sulit untuk mengatakan bahwa “kekuasaan” itu adalah sesuatu yang tidak nikmat. Jika orangtua pernah berkuasa dan kekuasaan itu membawa kesengsaraan, mana mungkin orangtua meneruskan kekuasaan itu kepada anaknya? Dapat disimpulkan, kekuasaan pastilah bukan sesuatu yang menyengsarakan. Buktinya? Lihat saja munculnya fenomena politik dinasti di Indonesia. Meskipun politik dinasti sering dibungkus kemasan “idealisme dan perjuangan” namun tetap saja sulit ditepis godaan nikmatnya kekuasaan di baliknya. Terlebih dengan pewarisan kekuasaan, otomatis akses untuk meraih kekuasaan itu, sudah berada di tangan.
Fenomena politik dinasti mulai tampak menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Suharto. Fenomena "trah Cendana" mengemuka ketika Suharto mengangkat puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) menjadi Menteri Sosial. Ini dinilai publik sebagai langkah untuk mempersiapkan Mbak Tutut sebagai “Puteri Mahkota”. Tetapi reformasi kemudian mengubah segalanya. Kekuasaan Suharto tumbang. Anak-anak Suharto turut tersingkir dari kekuasaan. Tetapi ceritanya belum selesai. Kini trah Suharto mulai bangkit kembali. Siti Hediati Heriyadi (Titiek Suharto) kembali aktif di Golkar sebagai Ketua DPP, terpilih sebagai anggota DPR-RI, menjabat sebagai Ketum PERPANI, Ketum YSRI, dan Pembina Yayasan Supersemar.
Tak ketinggalan, Tommy Suharto mulai bergeliat. Terbetik kabar, putra bungsu Soeharto itu mendirikan partai, namanya Partai Berkarya dan telah disahkan pemerintah. SK pengakuan Partai Berkarya disebut sudah ditandatangani Menteri Hukum dan HAM sejak 13 Oktober 2016.
Foto: Guruh dan Titiek Suharto (Sumber: Twitter @Titiek Suharto)
Bagaimana dengan trah Cikeas? Sudah bukan rahasia, bagaimana SBY menjaga "gawang" Partai Demokrat (PD) dengan menjabat sebagai Ketua Umum, dan mendudukkan putranya, Edhie Baskoro (Ibas) sebagai Sekjen pada 2012, saat Anas Urbaningrum terpental dari kursi Ketua PD.
Sebelumnya, Anas Urbaningrum sebagai Ketum PD diketahui memiliki pendukung lebih dari 50% di partai tersebut. Kekuatan Anas Urbaningrum diduga bisa saja menjadi batu sandungan bagi eksisnya politik dinasti di PD. Setelah PD melalui kepemimpinan Anas berhasil mengantar SBY menjadi Presiden untuk periode kedua, Anas kemudian tertendang. Kemudian SBY mengambil alih kemudi kepemimpinan PD.
SBY sempat berkata, setelah pensiun sebagai Presiden, mungkin ia akan membuka restoran, jualan nasi goreng. Tetapi mari kita tinggalkan soal nasi goreng ini. Yang lebih menarik perhatian, jelang Pilkada 2017, SBY mencurahkan segala upaya untuk memenangkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, agar bisa meraih jabatan Gubernur DKI. Posisi SBY sebagai Ketum PD, harus diakui, telah melapangkan jalan bagi putra sulungnya untuk diusung sebagi cagub DKI Jakarta dalam Pilkada 2017. Banyak yang menyayangkan mengapa Agus melepaskan karir emasnya di TNI. Rasanya publik sudah bisa menebak ke arah mana rencana SBY mempersiapkan jalan bagi putra sulungnya itu.
SBY sekeluarga pada perayaan 40 tahun pernikahan (30/7-2016). (Foto: situsresmipartaidemokrat)
Megawati tidak luput dari tudingan publik tentang usahanya meneruskan politik dinasti. Penunjukan Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menimbulkan dugaan publik sebagai bentuk balas jasa atas dukungan Megawati kepada Presiden Jokowi. Penunjukan Puan Maharani sebagai menteri, dinilai pengamat sebagai upaya meneruskan tongkat estafet trah Sukarno. Pada Kongres IV PDIP di Bali (11/4/2015), tanda-tanda Puan Maharani dipersiapkankan sebagai “Puteri Mahkota” tampak dalam susunan kepengurusan PDIP 2015-2016. Sebagai Ketum PDIP, Megawati menunjuk Puan Maharani sebagai Ketua DPP PDIP bidang Politik dan Keamanan (non-aktif mengingat jabatannya sebagai menteri). Harapan agar Puan Maharani bisa tampil sebagai pemimpin pernah dilontarkan Sukmawati Sukarnoputri. Ketika Taufik Kiemas baru saja wafat, saat diwawancara Metro TV, Sukmawati mengatakan Taufik Kiemas sangat berharap Puan Maharani bisa menjadi pemimpin di kemudian hari.
Foto: Taufik Kiemas, Megawati dan anak-anak: Mohammad Rizki Pratama, Puan Maharani, dan Mohammad Prananda Prabowo. (Sumber foto: ideguenews.blogspot.com)
Pertanyaannya, salahkah politik dinasti itu? Tentu tidaklah adil menuduh seseorang tidak berkualitas, hanya karena ia anak Presiden. Sama tidak adilnya jika dengan mudah menyimpulkan bahwa anak Presiden sudah pasti punya kualitas sebagai pemimpin.
Politik dinasti menjadi salah jika ia mendepak calon-calon potensial di luar “trah”, sehingga tidak lagi bisa memiliki kans untuk menjadi pemimpin. Terlebih kalau calon-calon potensial ini ternyata lebih berkualitas dibanding “keturunan trah” itu sendiri. Politik dinasti juga bisa menjadi salah jika berakibat orang di luar "trah" yang berjuang keras, ternyata tidak dihargai secara layak. Sementara keturunan trah, tanpa perlu berkeringat bisa menikmati kursi empuk. Hal seperti ini dapat menimbulkan gejolak ketidak-adilan dalam kehidupan bernegara, yang berujung pada instabilitas politik.
Kualitas dan kredibiltas harus dibuktikan melalui prestasi. Masalahnya, penerus politik dinasti umumnya lebih mudah mengakses kekuasaan, dibanding orang “biasa”. Tanpa perlu berjuang ekstra keras dibanding orang kebanyakan, dengan menggunakan embel-embel nama orangtua, mereka langsung melejit. Ini bisa menguntungkan. Tetapi bisa juga kurang menguntungkan. Karena penerus dinasti itu dituntut masyarakat untuk menunjukkan ekstra prestasi bahwa ia memang pantas menjadi pemimpin, bukan sekadar embel-embel nama orangtua. Bahkan pada saat menunjukkan ekstra prestasi pun, belum tentu prestasi itu dihargai. Bisa saja orang mengatakan, “Lha, iyalah, kalau anak Presiden tentu lebih mudah meraih prestasi.” Nah, serba salah kan?
Foto: Megawati dan Sukarno ketika berkunjung ke Amerika, disambut Presiden John F. Kennedy.
Perjuangan Sukarno sendiri jelas. Ia memulai perjuangannya dari bawah, menyusun strategi dan menggalang persatuan puluhan tahun, hingga sukses mempersatukan berbagai daerah ke dalam NKRI yang merdeka. (Bagaimana secara rahasia sejak tahun 1920-an Sukarno dan Hatta bersama menyusun taktik menuju kemerdekaan, saya tulis di buku karya saya, klik “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan”).
Dengan meniti karir dari bawah, Sukarno sudah mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menjadikan Indonesia seperti sistem kekaisaran. Maksud Sukarno, ia tidak pernah setuju dengan sistem pewarisan kekuasaan, yaitu meneruskan kekuasaannya kepada anaknya. Bagaimana jika anaknya itu ternyata tidak memiliki kapasitas lalu diangkat menjadi pemimpin? Bukankah ini tidak adil?
Nah, mampukah para pelaku politik dinasti mempersembahkan kapasitas dan kualitas yang layak, tidak sekadar menjadikan kekuasaan sebagai tujuan?*** (Penulis: Copyright @ Walentina Waluyanti, historical book witer).
Walentina Waluyanti de Jonge, penulis buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"
{backbutton}