Ssst, Ini Debat Tabu
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Sepasang suami istri Belanda, tak lama lagi akan bertugas di Indonesia. Mereka bertanya pada saya tentang kebiasaan dan adat di Indonesia. Ada pertanyaan menarik. Yaitu apa saja topik sensitif dan tabu, yang sebaiknya tidak diperdebatkan di Indonesia?
Jawaban pertama, sudah umum diketahui. Yaitu masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Terlebih soal agama, masalah ini sangat sensitif. Lebih baik menghindari berdebat membanding-bandingkan agama satu dengan lainnya. Agama ini lebih baik, itu jelek. Termasuk tidak memperdebatkan sebuah paham, keyakinan, dan ajaran dalam agama tersebut.
Painting “Behind the Veil” by Richard Klingbeil
Pertikaian juga bisa tersulut, jika membandingkan suku/ras itu lebih oke dari yang ini. Bahkan walau hanya bercanda, sebaiknya tidak menjadikan hal ini sebagai bahan candaan. Khusus tentang ras, siapapun tahu pembicaraan tentang Yahudi, adalah sangat sensitif di Indonesia. Menulis atau berbicara tentang Yahudi, entah bagaimana bisa saja diselidiki sebagai usaha penyebaran zionisme. Gawaaaaat...!
Kedua, topik komunisme termasuk tabu dan sensitif. Walau isme komunis sudah tidak lagi aktual, toh phobia ini sudah telanjur dilekatkan di otak orang Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Di Belanda orang bisa saja bercanda, “Kenalkan, saya Pak Kumis dan saya komunis” (walau komunisme di Belanda sejak jaman kolonialisme juga diwaspadai). Tapi bermain-main dengan topik “komunis” di Indonesia, sama saja cari penyakit.
Bahkan jika seseorang membicarakan theis dan atheis secara biasa saja, yang didengar orang adalah kata “atheis”. Dan pembicaranya langsung dicurigai. Walau atheis tidak otomatis komunis, secara naif “atheisme” langsung dihubungkan dengan komunisme. Dan komunisme artinya PKI, dan PKI artinya jahat dan keji, dan ini artinya bahaya laten. "Dosa PKI" ini bisa dikatakan menjadi doktrin yang diwariskan turun temurun. Jika seseorang sudah dicurigai sebagai komunis...wah, ini artinya sangat, sangat serius. Bahaya laten komunis (bukan bahaya laten korupsi) sudah menjadi ungkapan yang diingat setiap orang Indonesia. Bahkan anak SD pun sudah hafal kalimat ini.
Ketiga, entah bagaimana awalnya, topik tentang pluralisme juga menjadi fenomena sensitif. Ide dasar pluralisme sebetulnya tidak salah. Yaitu bagaimana bertoleransi dan menghormati perbedaan, termasuk perbedaan agama. Namun topik ini termasuk sensitif dan mudah dipolitisir. Cara penyampaian yang kurang tepat, membuat topik pluralisme ini bisa dituding sebagai ide ingin menyamakan semua agama. Duh! Lebih gawat, pluralisme kadang juga dicurigai sebagai kedok penyusupan ajaran komunisme. Walaah, repot.
Keempat, berbicara tentang idola, teladan, dan pahlawan, sebaiknya berhati-hati. Karena bagi beberapa kelompok, yang namanya figur idola dan pahlawan itu, tak bisa ditawar. Yaitu idola haruslah figur sentral agama tertentu. Padahal tentu saja jika seorang manusia biasa menjadi idola, tak berarti ia harus sempurna, dan tak akan pernah bisa menyamai kesempurnaan Nabi. Setiap orang yang mengidolakan manusia biasa sebagai hero, pastilah menyadari itu.
Foto: Superheroes 30 years later (amazingdata.com)
Mengidolakan manusia dengan segala sifat manusianya, tentu jangan disamakan dengan mengidolakan nabi dengan segala sifat kenabiannya. Tapi bagi sebagian orang, pokoknya tak ada alasan. Apalagi jika seseorang mengidolakan artis pop dari barat. Wah, bisa kena tuduhan pemuja sekularisme... wah, repot ini.
Kelima, berbicara tentang “mata angin”. Hah!? Ya, okelah. Selama pembicaraan itu masih berkisar mata angin arah utara, selatan, timur, mungkin masih aman. Tapi berbicara tentang barat? Wah, apalagi memuji budaya barat, bisa-bisa ini lagi-lagi dicurigai sebagai pemuja sekularisme. Dan ini bisa-bisa diartikan ingin mengingkari kesucian agama. Waduh, alamak!
Tentu semua topik tadi tidak perlu tabu, jika itu diperdebatkan dengan orang yang tepat dan di waktu, kesempatan, konteks, forum, tempat yang tepat. Memperdebatkan topik di atas dengan orang berpola pikir hitam putih, berwawasan picik, tak kenal nuansa...wah, lebih baik panggil becak dan kabuuur!
Semua topik di atas, jika tidak yakin bisa mengatakannya tanpa menyerang siapapun, memang lebih baik tidak mengatakan apa-apa. Lebih-lebih di ruang publik, yang mau tidak mau, ada aturan mainnya. Semua orang punya ego dan sifat pribadi, yang mesti dipuaskan. Tapi apa boleh buat...pada saat berani memasuki ruang publik, maka harus berani terima risiko bahwa itu adalah “rumah orang”. Ini artinya harus tunduk pada “aturan main” sang tuan rumah.
Orang sering takut disebut banci, ingin disebut jantan. Dengan menantang, menghantam, menyeruduk, mungkin bisa terlihat gagah. Kalau dipikir, sebutan “banci”, sebutan “jantan”, terasa cengeng untuk dipersoalkan .... dibanding rajaman yang diderita para korban yang dibantai sadis hingga meregang nyawa, menanggung sakit tak tergambarkan, di Cikeusik, yang terjadi baru-baru ini. Ya Allah! Saya tidak tahu bagaimana perasaan Anda melihat video pembantaian itu.
Debat sensitif di atas jika sudah diketahui, tidak susah untuk menghindarinya. Yang susah jika sudah telanjur terperangkap dan terlibat di dalam debat itu. Lebih parah, jika sudah tersudutkan, lalu masing-masing terpancing untuk membela diri. Lalu debat berkepanjangan menjadi ajang saling serang.
Terperangkap ajang pertarungan (Foto: fineartonline.com)
Sudah menjadi sifat manusia, ingin bernafsu menang dalam debat apapun. Yang jelas, kemenangan mutlak tak akan pernah dimiliki manusia manapun. Hari ini menang, besok tersungkur oleh musibah dan derita lain yang mengintai. Karena itu, kemenangan hari ini kadang hanya “pemanasan” untuk menelan kekalahan hari esok.
Buat yang sudah banyak merasakan pahitnya menderita, kata-kata tadi bukan cuma di mulut. Saya teringat pebulutangkis Rudi Hartono, yang setiap menang pertandingan, tidak pernah bersorak, lompat-lompat tertawa-tawa. Seakan disadarinya kemenangannya itu justru membuat lawan bersedih. Enggan bersorak di balik kekalahan orang lain, adalah adat khas timur yang tampaknya mulai dilupakan.
Ngotot menang dalam perdebatan dan pertikaian, bisa jadi bumerang yang menghancurkan diri sendiri. Sia-sia, kosong, tak bermakna. Kecuali jika menang dengan cara sia-sia, hancur kosong tak bermakna memang jadi pilihan.
Kalau toh menjadi hancur memang pilihan satu-satunya (sekali lagi, kalau hancur menjadi pilihan SATU-SATUNYA), maka biarlah itu menjadi pengorbanan yang BERMAKNA.. seperti yang dilakukan para teladan bermental “lilin dan garam”. Pada saat diri mereka hancur, justru di saat itulah mereka telah menyelamatkan dan memanusiakan manusia lainnya.
Lilin memberi terang bagi banyak orang. Tapi risikonya, untuk memberi terang itu, lilin harus rela luluh lantak. Dan garam...untuk memberi manfaat bagi manusia, garam harus rela hancur.
Ada sejumlah figur teladan yang nyata-nyata rela menjadi garam dan lilin bagi sesama. Menjadi hancur seperti garam dan lilin di sini tentu tidak diartikan secara harfiah, melainkan berarti rela mengorbankan ego dan kepentingan pribadi demi kemaslahatan bersama. Masalahnya, berapa banyak tokoh yang punya cukup nyali...untuk mengikuti jejak itu, demi kerukunan dan pencerahan bersama?
Walentina Waluyanti
Nederland, 18 Februari 2011
{backbutton}