Sri Sultan dan Beringin Keramat
Penulis: Copyright @ Walentina Waluyanti – Nederland
Pohon beringin diduga pertama kali dibawa ke Jawa oleh nenek moyang orang Hindu dari India. Usia beringin bisa sampai beratus-ratus tahun. Sejak dahulu nenek moyang kita percaya bahwa pohon beringin adalah pohon kramat tempat berdiamnya para roh. Oleh karenanya pohon beringin sering menjadi tempat semedi dan tempat menaruh sesajen untuk menghormati roh yang berdiam di pohon beringin.
Beringin kembar di kraton Yogyakarta. (Foto: @Tourwisatayogya)
Baru-baru ini diberitakan terbakarnya salah satu dari pohon beringin kembar yang berusia ratusan tahun di Alun-alun Kidul kraton Yogyakarta (4/8-2014). Menarik menelusuri fungsi pohon beringin di kraton Yogyakarta pada masa lalu. Ternyata pohon beringin menyimpan jejak sistem peradilan masa lalu. Ketika rakyat merasa diperlakukan tak adil oleh sesuatu yang menimpa dan tak tahu lagi kemana harus mengadu nasibnya, maka mereka pun menuju pohon beringin di kraton Yogyakarta. Bagaimana kaitan pohon beringin dengan pencarian keadilan bagi rakyat jelata?
Kraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun Jawa 1682. Arsitek kraton adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I. Bagian dari Mataram yang dikuasai Hamengkubuwono I dinamakan Ngayogyakarta Hadininingrat dengan ibukotanya yaitu Ngayogyakarta. Selain sebagai pemimpin tahta tertinggi, Sri Sultan Hamengkubuwono I juga dikenal sebagai ahli bangunan, perwira perang, dan mumpuni dalam ilmu kebatinan. Ketika kraton dibangun, segala disain, mulai dari pemilihan lokasi, letak bangsal-bangsalnya, hiasan ukiran, warna bangunan, sampai tata letak ruangan, semuanya mempunyai arti. Hal ini semuanya diperhitungkan secara mendetail oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Begitu pula setiap pohon yang ditanam di kompleks kraton, termasuk pohon beringin, juga mengandung makna filosofis.
Menjemur Diri di Antara Beringin Kramat
Kraton Yogya diapit dua alun-alun. Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Pada zaman dahulu, alun-alun biasa juga menjadi tempat pelatihan bagi pasukan kraton atau pasukan perang, misalnya berlatih menggunakan senjata ataupun latihan bertarung.
Pasukan kraton di bawah pohon beringin. (Foto: Archief de Jonge)
Di tengah Alun-alun Utara ada sepasang pohon beringin yang dianggap kramat. Biasa disebut waringin kurung, karena pohon ini dikurung pagar. Karena kramatnya, kedua pohon beringin itu pun diberi nama terhormat. Yaitu Kyai Dewa-ndaru dan Kyai Jana-ndaru. Dahulu tahta Sultan terletak di Bangsal Witana. Dari tahtanya, dengan memandang 180 derajat ke utara, maka pandangan mata akan terfokus kepada tiga titik. Dua titik adalah sepasang pohon beringit keramat, yaitu Kyai Dewa-ndaru dan Kyai Jana-ndaru. Sedangkan titik ketiga di kejauhan adalah Tugu, yang dipandang sebagai lambang pertemuan alam, antara energi postif dan negatif.
Kedua pohon beringin kramat ini merupakan simbol pertemuan antara Gusti (Dewa) dan manusia. Sehingga sepasang pohon beringin yang bergelar "Kyai" di kraton Yogya itu dipandang bukan pohon biasa. Oleh karenanya pohon beringin di kraton difungsikan juga oleh rakyat sebagai tempat mereka menaruh harapan menanti titah Raja, yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Pada zaman dahulu, masyarakat tradisional percaya bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari alam gaib. Karenanya rakyat percaya bahwa Raja adalah pengejawantahan Dewa. Jika terjadi sesuatu yang kurang berkenan, rakyat tidak berani menuntut pertanggungjawaban Raja, karena ini bisa berarti “lancang” menantang para Dewata. Ada kalanya rakyat jelata mengalami perselisihan tanpa solusi memuaskan. Misalnya diperlakukan tidak adil oleh petinggi lokal ataupun kaum yang lebih kuat. Dalam perkara ini, rakyat yang mencari keadilan, akan menuju alun-alun kraton. Mereka mencari keadilan dengan cara menjemur diri, duduk bersimpuh di antara dua pohon beringin di alun-alun di depan kraton. Menjemur diri ini dalam bahasa Jawa disebut pépé.
Pada abad lampau, laku pépé, menjemur diri di antara pohon beringin dengan maksud agar bisa menarik perhatian Sultan, bisa saja terjadi berhari-hari. Tergantung apakah Sri Sultan sedang mempunyai urusan yang lebih urgent atau tidak. Atau apakah Sri Sultan sedang berada di kraton. Selama terpekur menjemur diri, rakyat berharap semoga Raja jatuh iba, lalu datang menemui, untuk kemudian membantu menyelesaikan masalah. Tetapi seandainya Raja tidak bersedia menemui pun, rakyat tak merasa punya hak apa-apa untuk menuntut lebih jauh.
Oleh karena sepasang pohon beringin di alun-alun kraton itu dianggap keramat, rakyat yang bersimpuh di antara pohon kramat itu pun tidak berpakaian sembarangan. Biasanya mereka datang dengan mengenakan pakaian serba putih dan tutup kepala warna putih. Rakyat yang menjemur diri ini biasanya akan menarik perhatian Raja. Selanjutnya abdi dalem akan menjemput yang bersangkutan, untuk dihadapkan kepada Raja. Dalam kesempatan itulah rakyat dipersilakan memaparkan permasalahannya.
Setelah Raja mengetahui duduk permasalahannya maka digelarlah semacam Dewan Peradilan dengan keputusan yang ditetapkan oleh Raja. Keputusan itu diterima rakyat sebagai keputusan adil dan final. Karena keputusan Raja adalah keputusan yang tertinggi.
Terbakarnya salah satu beringin berumur ratusan tahun di Alun-alun Kidul kraton Yogyakarta, tidak harus dilihat sebagai pertanda negatif. Bisa juga dimaknai sebagai isyarat dimulainya transisi positif dari kepercayaan kuno ke kepercayaan modern. Yaitu legitimasi kekuasaan yang dulunya dipercaya berselubung alam gaib, kini mulai beralih ke alam rasionalitas. Artinya seiring bergulirnya zaman, kini "Raja"/pemimpin negara mulai dianggap sebagai manusia biasa; hanya saja suratan nasib membuatnya menjadi pemegang tahta. Tumbuhnya demokrasi hukum yang melanda dunia, membuat setiap orang (seharusnya) sama di mata hukum. Raja pun tak bisa mengelak, ikut terkena aturan ini.
“Raja” tidak selalu dalam arti sempit, hanya terbatas pada pemimpin kraton, tetapi juga pemimpin negara. Konsep abad lalu bahwa “Raja” adalah pengejawantahan Dewa, mulai bergeser ke konsep “Raja” (baca: pemimpin negara) adalah abdi rakyat. Hal ini membuat "Raja" mulai dianggap setara dan diharapkan dapat membaur dengan rakyatnya. Ini tak harus diartikan sebagai tanda melemahnya kekuatan “Raja”, namun setiap zaman memang mempunyai gelagatnya sendiri.
Foto: Sri Sultan Hamengkubuwono VII dalam seragam jenderal.
Sebagai manusia yang punya kesetaraan hukum dengan rakyatnya, “Raja” harus siap sedia menanggung segala akibat, jika ia lalai bertindak proaktif menegakkan keadilan. “Raja” masa kini tentu tak perlu menunggu keluhan rakyat (seperti menjemur diri), untuk tercapainya penegakan hukum dan keadilan. Bagaimana menyuburkan budaya malu agar timbul kesadaran kolektif untuk tidak melanggar hukum; menjadi tantangan pemimpin masa kini. Tanpa penegakan hukum, mustahil mewujudkan negara yang adil, damai, dan sejahtera. *** (Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer, saat ini tergabung sebagai anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden yang berfokus pada kajian studi literatur sejarah di wilayah Asia Tenggara dan Karibia, termasuk sejarah Indonesia-Belanda).
Walentina Waluyanti
Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"
Artikel terkait, silakan klik:
Awalnya Bersaudara, Diadu Domba, Pecah, Memicu Lahirnya Kraton Solo dan Yogya
{backbutton}