Si Ribut, Cucu Raja Mutiara
Tulisan ini telah dibukukan.
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Bung Hatta berkata, “Si Des ini kalau tinggal lama-lama di sini, bisa mati. Kita sekolahkan saja dia ke Inggris”. Itu dikatakan Bung Hatta, melihat kenekatan Des Alwi dalam perang melawan Inggris di Surabaya. Des Alwi pun lalu dikirim bersekolah ke Inggris. Selain Bung Tomo, nama Des Alwi adalah nama yang dikenal dalam peristiwa Hari Pahlawan 10 November 1945. Tentu saja dengan tidak mengecilkan peran ribuan pahlawan anonim yang gugur di perang itu.
Pasukan Inggris di bulan November 1945 memang sedang apes. Sebanyak 1400 serdadu Inggris harus kehilangan nyawa di Surabaya. Indonesia bukan jajahan Inggris. Tapi Inggris kala itu terpaksa terseret dalam perang fisik di Surabaya. Perang fisik yang menelan korban terbanyak bagi Indonesia, hanya dalam hitungan hari, justru perang dengan Inggris. Di pihak Indonesia, kira-kira 12.000 korban gugur.
Meninggalnya Des Alwi pejuang asal Banda Neira, 12 November 2010 di Jakarta, dua hari setelah Hari Pahlawan seakan mengokohkan ketokohannya dalam peristiwa heroik itu.
Des Alwi (Foto: Griet Buis)
Des Alwi juga dikenal sebagai tokoh di belakang layar, yang ditunjuk oleh Suharto untuk mendamaikan konflik dengan Malaysia. Ketika Filipina (di bawah pemerintahan Corry) “ngambek”, karena Indonesia membantu mengirimkan pesawat di akhir kekuasaan Marcos, Des Alwi dipanggil sebagai penengah. Ketika masih pelajar dan bersekolah di Inggris, ia sekamar dengan Tun Abdul Razak, mantan PM Malaysia yang keturunan Bugis itu. Karena pribadinya yang riang, banyak tertawa, Des Alwi dijuluki oleh Tun Abdul Razak dengan nama “si Ribut”.
Des Alwi sendiri tidak murni keturunan Banda. Ibu Des Alwi adalah anak “Raja Mutiara” dari Banda, Said Tjong Baadilla. Kakek Des Alwi, Said Tjong Baadilla, berdarah Arab dan Cina, juga disebut-sebut sebagai orang terkaya di jamannya. Tidak hanya di Pulau Banda, tapi juga di Maluku. Di tahun 1896, kakeknya pernah berkunjung ke Belanda, dan menghadiahi mutiara sebesar telur merpati kepada Ratu Emma (ibunda Ratu Wilhelmina).
Foto: Kakek Des Alwi, Said Tjong Baadilla “Raja Mutiara” dari Banda (kiri)
Ayah Des, bernama Alwi, kapten kapal, adalah anak dari Pangeran Omar, keturunan Sultan Palembang, yang bekerja sama dengan Baadilla mengangkut mutiara. Ketika Des Alwi berusia tiga tahun, kejayaan dan kekayaan keluarga mereka bangkrut total, dan seluruh harta habis dijual satu persatu. Sejak itu Des Alwi tumbuh sama seperti anak-anak kebanyakan lainnya yang hidup pas-pasan.
Siapakah di antara Anda yang begitu terbangun di pagi hari, pernah menyadari bahwa, hari itu adalah hari yang mengubah bahkan menentukan sejarah hidup Anda selanjutnya?
Seperti anak kecil lain di Banda, Des Alwi kecil, masih berumur delapan tahun, berenang di laut Banda, dekat dermaga pelabuhan. Hari itu sedang hujan. Walau orangtua melarang berenang di hari hujan, tapi anak-anak itu lebih suka berenang di laut justru di saat hujan. Soalnya hujan membuat air laut terasa lebih hangat daripada suhu udara. Selain itu hujan akan membuat pengawas pelabuhan tetap tinggal di dalam kantornya, dan tidak mengusir anak-anak yang berenang di dekat dermaga. Begitulah, hari itu Des Alwi kecil, berbasah-basah di air laut yang hangat, bercengkerama riang dengan anak-anak lain.
Tanggal 11 Februari 1936, alam seakan menurunkan berkahnya melalui hujan pada Des Alwi kecil, yang masa kecilnya dekat dengan alam itu. Hari itu menjadi hari paling bersejarah dan menentukan seluruh perjalanan hidup Des Alwi. Kira-kira jam lima sore hujan berhenti. Alwi melihat sebuah kapal besar berwarna putih, mendekati dermaga.
Tampak dua pria berjas putih dan berdasi, turun dari kapal. Des Alwi rupanya sudah sering melihat kapal-kapal yang datang ke pulau Banda, membawa tawanan politik dari Digul, Irian. Sehingga ia bisa langsung mengenali kedua pria tadi pastilah dari Digul. Soalnya wajah mereka pucat-pucat. “Kurang gizi”, kata Des kemudian dalam sebuah wawancara. Selain itu, orang yang pernah ditahan di Digul, umumnya sakit-sakitan akibat ganasnya malaria. Karenanya, para tahanan Digul, biasanya sangat bersyukur kalau masih bisa keluar dalam keadaan hidup dari pulau itu.
Di salah satu bagasi yang dibawa kedua pria itu, tampak terbaca “Drs. Mohammad Hatta”. Salah satu pria dalam rombongan bertanya pada Des, “Di mana rumah Dr. Cipto Mangunkusumo?”. Dr. Cipto, tokoh pergerakan nasional, saat itu sebelumnya sudah dibuang ke Banda. Alwi menjawab, “Jauh meneer. Tapi kalau rumah Mr. Iwa Kusumasumantri dekat. Cuma di depan dermaga sana”. Lalu Des Alwi kecil mengantar rombongan itu ke rumah Mr. Iwa Kusumasumantri, mantan Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Bung Karno.
Sesudah itu, dengan meminjam sepeda temannya, Des Alwi ngebut ke rumah Dr. Cipto, mengabarkan kedatangan kedua tokoh tadi, yang kemudian diketahuinya mereka adalah Bung Hatta dan Bung Syahrir. Selanjutnya, Des Alwi kecil sering menjadi pemandu bagi “tuan-tuan” itu untuk melihat tempat-tempat menarik yang ada di Banda. Termasuk mengajari Bung Hatta dan Bung Syahrir berenang. Walau hidup di pembuangan, menurut Des, tokoh-tokoh politik yang dibuang itu, semuanya mendapat rumah bagus dan besar. “Ada tujuh kamar tidur di rumah Hatta di Banda”, kenang Des Alwi. Ketika ditahan mereka diberi hak pensiun (dini), Bung Hatta masih 34 tahun, dan Syahrir 26 tahun. Mereka juga diberi hak gaji pensiun yang diberi teratur tiap bulan.
Foto: Rumah pengasingan Bung Hatta di Pulau Banda
Dalam pembuangan, Hatta dan Syahrir aktif memberi ilmu kepada anak-anak kampung. Misalnya anak-anak diberi pelajaran bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis. Dari sekian anak itu, Des Alwi yang kemudian paling dekat dengan Hatta dan Syahrir, karena memang sudah dikenal sejak pertama kali tiba di Banda. Des Alwi kemudian dijadikan anak angkat. Des kecil lebih sering tidur di rumah kedua tokoh itu, dan enggan pulang ke rumah sendiri. Tentang ini, ibunda Des Alwi berkomentar, “Biar saja anak itu di sana. Kalau di rumah, dia malah nakal”. Sesudah masa pembuangan Hatta dan Syahrir berakhir, Des Alwi menyusul ke Jawa, dan disekolahkan oleh kedua tokoh itu. Kisah selanjutnya sudah banyak kita dengar dan baca.
Jalan hidup tiap orang berbeda-beda. Namun bagaimana pun hidup itu mengalir, perlu ditopang oleh karakter yang oke. Di masa cemerlangnya ide-ide Hatta dan Syahrir, Des Alwi lebih banyak bertumbuh dengan dua tokoh besar itu, dari kecil sampai remaja.
Kedua tokoh itu adalah pemikir yang ucapan dan tindakannya diwarnai ide-ide filosofis matang. Des Alwi lebih banyak menghabiskan waktu dengan kedua tokoh itu daripada dengan orangtuanya sendiri. Alam bawah sadar kanak-kanak akan menyerap semua itu tanpa sadar dengan panca indranya. Bisa jadi kombinasi antara karakter Bung Hatta dan karakter Bung Syahrir telah mempengaruhi karakter dan perjalanan hidup Des Alwi.
Di luar Des Alwi, kita sudah melihat bagaimana perjalanan hidup banyak pejuang di Indonesia, hingga akhir hayatnya. Berapa banyak pejuang yang hidupnya berujung pada kisah anti klimaks? Berapa banyak pejuang, yang di masa perjuangan, mereka itu adalah pahlawan, tapi pasca kemerdekaan, mereka malah bermetamorfosa menjadi pejabat korup?
Des Alwi termasuk beruntung, tidak ikut terkontaminasi dengan taktik kotor dalam hidup bernegara. Des Alwi pernah kecewa, dan mengajukan pengunduran diri dari Deplu karena merasa tidak dilindungi ketika ia dijelek-jelekkan terlibat Permesta. Namun ia tetap berbesar hati membantu pemerintah dalam memulihkan konfrontasi dengan Malaysia (karena pertemanannya dengan mantan PM MalaysiaTun Abdul Razak). Juga membantu memulihkan hubungan dengan Filipina, di masa pemerintahan Corry Aquino (karena ia juga kenal baik dengan Ninoy Aquino, suami Corry). Padahal semua itu dilakukannya pada saat ia tidak lagi memegang jabatan resmi apapun di pemerintahan.
Rupanya naluri sebagai pejuang yang terbiasa bergerak di bawah tanah tetap menjadi nalurinya. Ingin bermanfaat bagi negara dalam situasi apapun. Des Alwi yang diam-diam pernah mengundang Lady Di, Mick Jagger, Sarah Ferguson, Pangeran Bernhard datang ke hotelnya (Hotel Maulana di Pulau Banda), memang jagonya kalau urusan me-lobby. Ia berhasil meyakinkan selebritis dunia tadi, bahwa tempat diving terbaik di dunia adalah di pulau Banda, sehingga mereka bersedia datang ke Pulau Banda untuk diving. Des Alwi satu-satunya tokoh Indonesia yang pernah diving dengan nama-nama terkenal tadi. Dengan alasan keamanan, atas permintaan Benny Moerdani, kedatangan mereka diminta untuk tidak dipublikasikan.
Hotel Maulana di Banda, milik Des Alwi
Des Alwi juga penggemar fotografi. Dia mengoleksi banyak kamera. Foto hasil jepretannya tentang meletusnya Gunung Api di Banda (1988), pernah dibeli oleh majalah asing dengan harga “maut”, ia jepret sendiri langsung dari atas pesawat. Fotonya itu sangat mahal, karena eksklusif, satu-satunya foto yang beredar di dunia, yang dipotret pada saat meletus! Tapi dia menolak menjual foto Sarah Ferguson saat menginap di hotelnya, walau ditawar dengan harga tinggi oleh sebuah media asing. Ketika itu berita Sarah Ferguson sedang heboh, karena akan bercerai dari Pangeran Andrew. “Itu sama saja menjual teman sendiri”, katanya.
Sebagai pelaku sejarah,Des Alwi punya insting “sadar sejarah”. Dengan telaten dirawatnya dokumentasi film-film dokumenter bersejarah. Di luar itu, ia juga tak henti menyuarakan ide-ide bagi pemerintah untuk meningkatkan pariwisata Indonesia, yang dirasanya kurang diperhatikan. Pulau Banda tanah kelahirannya, dibangunnya sebagai obyek wisata bersejarah. Semua itu dilakukannya dari kocek sendiri. Tanpa bantuan pemerintah.
Setiap hari, hari ini maupun esok, bisa saja menjadi hari yang mengubah sejarah hidup. Peluang diberikan kepada setiap orang. Sejarah bisa mengarah pada kebaikan, bisa juga sebaliknya. Des Alwi telah memberi cermin bagaimana mengolah peluang yang ditawarkan oleh sang nasib, hingga selamat sampai akhir. Dalam cara apapun hidup itu mengalir, betapa indahnya kalau seseorang berkata pada Anda, “Selamat jalan, hidupmu telah memberi manfaat bagi semua orang”. *** (Penulis:Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer, adalah anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden, yang berfokus pada kajian literatur sejarah di wilayah Asia Tenggara dan Karibia, termasuk sejarah Indonesia-Belanda).
Walentina Waluyanti de Jonge, penulis buku Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan
{backbutton}