Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Rambutnya pirang dan gondrong. Saya pernah melihatnya langsung di kantor parlemen. Untuk ukuran orang Eropa, posturnya sedang-sedang saja. Tidak begitu tinggi. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Casting peran antagonis seakan memang cocok untuk dirinya.
Rasanya hampir setiap petinggi Belanda sudah jadi korban semprotan kata-kata pedas Geert Wilders, sang politisi kontroversial ini. Pria 47 tahun yang ibunya berasal dari Sukabumi dan ayahnya dari Limburg ini, menurut rumor ada darah Yahudi-nya. Sudah banyak disebut-sebut bahwa kakeknya dari pihak ayah yang keturunan Belanda Yahudi pernah tinggal di Hindia Belanda (belum bernama Indonesia), dan akhirnya pulang ke Belanda dalam keadaan pailit.
Latar belakang masa lalunya sering dikait-kaitkan orang dengan sikapnya yang anti Islam. Beberapa kalangan menuduhnya berusaha menutupi darah Indonesianya dengan mengecat rambutnya menjadi pirang. Semua rumor pribadi seputar dirinya mungkin masih perlu ditelusuri kebenarannya. Namun begitu kata Wilders, “Saya bukan anti muslim”.
Orang tidak heran kalau dirinya beberapa kali menerima ancaman pembunuhan. Tahun 2004 dia pernah beberapa lama harus disembunyikan di sebuah tempat rahasia, karena nyawanya terancam.
Semua itu tidak lain karena pandangan dan omongannya yang menimbulkan keresahan, caci maki bahkan kemarahan publik padanya.
Tapi semua itu tidak mengubah tabiat Wilders. Bahkan Ratu Belanda dan Perdana Menteri Belanda tidak luput dari komentar sumbang Wilders. Tiap komentar yang keluar dari mulut Wilders, nyaris tak ada yang sedap didengar.
Dengar saja apa katanya tentang Jan Peter Balkenende, perdana menteri Belanda yang baru saja jatuh dan kabinetnya demisioner: “Penakut, pengecut dan perdana menteri terlemah sejak Perang Dunia II”. Dia juga meminta agar Ratu Belanda tidak usah lagi dilibatkan dalam urusan politik. Menurutnya Sang Ratu cukup mengurus urusan seremonial saja. Atau menurut istilah Wilders, peran Ratu cukup “bagian gunting pita” saja.
Menantu Ratu, Putri Maxima, istri Pangeran Alexander (putra sulung Beatrix dan Bernhard), juga dapat jatah komentar tak enak. Pidato Maxima dikomentarinya, ngomong Piet praat. Itu adalah ungkapan Belanda untuk mengungkapkan orang yang bicara panjang lebar, banyak bacot, kedengaran manis, tapi omong kosong.
Geert Wilders terpilih oleh rekan-rekan sejawatnya sebagai politisi peringkat kedua terburuk tahun lalu. Politisi yang dianggap menyebarkan penghinaan dan kebencian ini, seakan menjadi simbol tokoh antagonis di panggung politik. Di lain pihak, publik Belanda menilainya sebagai politisi kedua terbaik 2009. Ini menunjukkan, walaupun Wilders adalah tokoh antagonis yang banyak dibenci, namun tetap punya massa pendukung.
Kalau ingin mencari contoh kebebasan berpendapat yang kebablasan, mungkin Geert Wilders bisa jadi contoh terbaik. Atas nama kebebasan berpendapat, Wilders terkenal suka bicara seenaknya sendiri. Kasar. Tajam. Kadang terkesan tak berperasaan dan keterlaluan.
Salah satu cara mengemukakan kebebasan pendapat versi Wilders, adalah melalui film Fitna karyanya. Film tersebut akhirnya memancing kemarahan umat Islam. Belakangan,Wilders sempat ditolak masuk ke Inggris. Belum sempat turun dari pesawat, dia sudah diusir pemerintah Inggris, disuruh balik ke negaranya. Tentu saja Wilders mencak-mencak.
Buntutnya, kasus pengusiran tadi itu maju ke pengadilan. Wilders akhirnya dimenangkan oleh pengadilan Inggris. Dengan alasan tidak ada cukup bukti bahwa kunjungannya ke London melanggar hukum dan bisa menimbulkan kerusuhan. Namun putusan pengadilan Inggris itu tetap tidak mengubah alasan pencekalan Departemen Luar Negeri Inggris terhadap Wilders yang masih tetap berlaku. Yaitu, “Kehadirannya di negara itu akan mendorong ketegangan dan kekerasan antar agama”.
Strategi Wilders yang mengusung isu anti agama tertentu untuk menarik perhatian publik terhadap PVV, partai yang dipimpinnya, nampaknya berhasil. Wilders yang menyadari popularitasnya, terkesan memanfaatkan kepopulerannya itu sebagai corong agitasi dan provokasi.
Pengadilan Inggris yang menyatakan Wilders tak bersalah, membuat posisinya berada di atas angin. Walaupun secara yuridis tindakan Wilders dibenarkan, namun secara normatif nampaknya ada satu hal yang terlupakan.
Konsep kebebasan berpendapat akan terasa pincang jika tidak disertai sebuah konsekuensi, yaitu juga kemampuan menghormati pendapat orang lain. Termasuk menghormati kebebasan orang lain untuk meyakini ajaran agamanya, terlepas dari soal sesatnya sekelompok penganut dalam hidup beragamanya. Kekeliruan penganutnya tidak otomatis berarti ajaran agama tersebut juga keliru.
Hak kebebasan berpendapat dan berpikir adalah salah satu kebutuhan hakiki manusia. Tapi di tangan Wilders, konsep ini menjadi membingungkan. Jika seseorang dibebaskan mengemukakan pendapatnya dengan cara menghina, salahkah jika pihak lain juga menuntut kebebasan yang sama untuk membalas penghinaan itu?
Bagaimana mengemukakan pendapat dan pikiran secara arif, tanpa perlu menimbulkan instabilitas sosial adalah tantangan dan tanggung jawab utama seorang politisi.
Konsep kebebasan berpendapat versi Wilders, berpeluang memancing kelompok lain untuk juga bebas mengatakan pendapatnya dengan cara destruktif. Asas manfaat dan etika berpolitik yang seharusnya dikedepankan dalam mengusung program politik, sayangnya gagal ditampilkan Wilders.
Wilders tidak peduli dengan norma-norma hidup bermasyarakat. Orang kuatir jika ucapannya yang provokatif bisa mengarah menjadi adu domba. Di tengah isu internasional tentang bahaya ekstremisme, Wilders lepas bebas menyebarkan pandangannya dengan cara yang menguatkan kesan ekstrem dirinya sendiri. Mengusulkan wajib pajak kepada muslimah yang mengenakan kerudung? Tak sedikit politisi Belanda, bahkan pihak non muslim sendiri menganggap usulan Wilders itu keterlaluan. Salah satu contoh gagasan Wilders ini membuat orang sulit percaya pada sangkalannya bahwa dirinya bukanlah ekstremis.
Polemik tentang Wilders menyiratkan dua hal penting dalam masyarakat multi ras, multi kultur dan multi agama sekarang ini.
Pertama, pentingnya kedewasaan masyarakat agar tak mudah terpancing dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam kehidupan demokrasi modern. Kedua, pentingnya kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kearifan dan kematangan terkendali dalam berpikir, berucap, dan bertindak.
Akankah Wilders sang tokoh antagonis bisa tetap bertahan jadi pahlawan? Maret lalu Wilders memenangkan pemilihan lokal. Komentar Wilders, “Hari ini saya menang di Almere dan Den Haag, tapi besok saya akan memenangkan pemilu di seluruh Nederland”. Kemenangannya membuat Süddeutsche Zeitung surat kabar Jerman membandingkan Wilders dengan Hitler, yang ketika menang Pemilu juga yakin semua akan berjalan sesuai rencana. Süddeutsche Zeitung berpendapat, persoalan terbesar Belanda bukan pada Islam, tapi terletak pada diri Wilders sendiri.
Akankah Wilders memenangkan pemilu nasional Juni 2010?
Ada yang mengelu-elukan Wilders sebagai pemimpin masa depan. Namun ada juga orang Belanda yang berkata, “Lebih baik saya berimigrasi ke negara lain kalau Wilders jadi pemimpin di Belanda”.
Jika publik Belanda ternyata memenangkan seorang tokoh antagonis seperti Geert Wilders sebagai figur pemimpin mereka, maka pertanyaannya adalah “inikah gejala adanya problem krisis kepemimpinan di Belanda?".
Walentina Waluyanti
Penulis buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}