Sejarah Hindia Belanda di Belanda

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti  – Nederland

Serdadu KNIL di abad lampau? Ternyata mereka tidak punya rumah tinggal. Mereka bermukim di barak besar, tempat seluruh pasukan tinggal beserta keluarga masing-masing. Ruang pribadi di barak itu tak mereka miliki. Kalaupun ada, itu hanyalah sedikit tempat seadanya untuk  ranjang, tempat serdadu tidur bersama pasangan dan anak-anak mereka. Tak ada dinding penyekat. Tak terbayang bagaimana hal-hal privacy harus dilakukan di dalam satu ruangan, dengan banyak keluarga serdadu lainnya. Gambaran ini terlihat di Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda.

bronbeek002wm

Foto: Jangkar kapal laut di depan museum. Kata "Bronbeek" tampak  terukir di puncak gedung sejak tahun 1830. Ini adalah salah satu gedung di areal Museum Bronbeek. Museum ini sangat besar, terdiri dari beberapa bagian bangunan terpisah. "Bronbeek"  adalah nama seluruh areal pertanahan yang dahulu pernah dimiliki oleh tuan tanah pemilik gedung ini. Sampai abad ke-19, area ini masih menjadi milik tuan tanah. (Foto: Walentina Waluyanti)

bronbeek001wm

Sudut lain di halaman Museum Bronbeek, dengan patung Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz, yang oleh Belanda dipandang berjasa memadamkan Perang Aceh. (Foto: Walentina Waluyanti)

Ya, penggambaran fragmen sejarah Hindia Belanda terlihat komplit di sebuah museum perang/museum militer. Museum yang dikenal dengan nama Museum Bronbeek di kota Arnhem di Belanda ini, adalah museum yang menekankan pada aspek militer dari sejarah masa lampau.

Yang menarik dari museum ini, yaitu pengunjung bisa menyaksikan urutan sejarah Hindia Belanda,  hingga berdiri sebagai Indonesia merdeka. Rangkaian kisah sejarah itu disajikan dalam bentuk fragmen. Museum ini layak dikunjungi para peminat sejarah. Terutama sejarah pendudukan Belanda di Indonesia. Sejarah yang diawali masuknya VOC ke Indonesia, hingga terusirnya Belanda dari tanah jajahan. (Saya tulis di buku: Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan).

Saat kaki Anda menelusuri anak tangga, lorong, dan ruang demi ruang, tanpa sadar mata dan telinga dijejali fragmen sejarah Hindia Belanda. Pengunjung seakan diajak melongok sejarah masa lampau. Fragmen disajikan dalam enam ruangan berbeda. Setiap ruangan menyajikan tema dari setiap periode.

bronbeek007wm

Kanon buatan Turki yang digunakan dalam Perang Aceh di Museum Bronbeek (Foto: Walentina Waluyanti)
Di ruang 1, terpajang kanon. Seakan melambangkan kedigdayaan kolonialisme ketika itu. Sehingga rakyat tanah jajahan tak mampu berbuat banyak, karena dikalahkan oleh teknologi penjajah yang lebih canggih. Di ruangan ini tersaji kisah masuknya VOC hingga berkembangnya Batavia. Ilustrasi perlawanan penduduk pribumi seakan menggambarkan bagaimana VOC harus "bekerja ekstra", demi bisa bercokol kuat di Hindia Belanda.
bronbeek008wm
Ilustrasi perlawanan Tjakranegara di Lombok dipamerkan di Museum Bronbeek. (Foto: Walentina Waluyanti)
bronbeek009wm
Ilustrasi perlawanan rakyat di Museum Bronbeek. (Foto: Walentina Waluyanti)

Digambarkan bagaimana Batavia berkembang menjadi pintu gerbang dan pusat perdagangan. Ada tabel tentang komposisi penduduk di Batavia di tahun 1679. Yaitu sebanyak 2.227 orang Belanda, 1.391 orang Jawa, 3.220 orang Cina, 5.148 Mardijkers (budak merdeka), dan 16.695 budak lainnya.

Di ruang 2, menggambarkan  menguatnya perekonomian, titik terang ke arah cita-cita kolonialisme, dan ekspedisi militer di abad 19. Digambarkan juga mulainya perlawanan pribumi terhadap kolonialisme. Ini menyebabkan perang besar di Jawa (1825-1830) dan di Aceh (1873-1913). Yang menarik, ada juga gambaran tentang bagaimana para prajurit KNIL hidup di tangsi, dengan pasangan dan anak-anak mereka. Di sana mereka tidak punya privacy. Semuanya tidur tumpek blek di satu barak, tanpa penyekat. Barulah sejak tahun 1888, tempat tidur mereka hanya sedikit ditutup sekat bambu seadanya.

Diberlakukannya “tanam paksa” membangkitkan perlawanan rakyat. Aksi militer yang berusaha membungkam perlawanan itu, menyebabkan pertumpahan darah. Ide untuk membawa peradaban yang lebih baik di tanah jajahan, akhirnya melahirkan politik etis. Sebagai realisasinya, mulai dibangun pendidikan bagi rakyat pribumi. Pendidikan ini juga akhirnya menumbuhkan kesadaran, bahwa rakyat Indonesia berhak menentukan nasibnya sendiri.

Di ruang 3, menunjukkan semakin banyak orang Belanda berdatangan dan menetap di Hindia Belanda. Tanah jajahan nampaknya stabil di tahun 1914. Pendidikan, perdagangan dan pemerintahan mulai bertumbuh lebih modern. Juga banyak dibuka perkebunan baru di daerah pinggiran. Transportasi yang lebih cepat dengan kapal uap, serta penemuan vaksinasi melawan penyakit tropis, memungkinkan para wanita Belanda berdatangan mengikuti suami ke tanah jajahan. Tampak dipamerkan ranjang berkelambu yang juga digunakan orang Belanda ketika tinggal di Hindia Belanda. Kelambu, sebelumnya adalah sesuatu yang tidak dikenal di Belanda. Ranjang itu seolah melambangkan bagaimana penjajah mulai menikmati berdiam di tanah jajahan.

bronbeek003wm

Ranjang berkelambu dan bantal guling, salah satu gaya hidup orang Belanda di Hindia Belanda dipamerkan di Museum Bronbeek. Gaya seperti ini tidak diterapkan oleh orang Belanda yang hidup di Belanda. (Foto: Walentina Waluyanti)

Penduduk bertumbuh dengan perbedaan kelas yang mencolok. Kaum elite sibuk sendiri, sehingga tidak peka terhadap keinginan penduduk pribumi. Volksraad, atau Majelis Rakyat didirikan tahun 1918, namun perannya nyaris tak berarti. Kemudian terjadi krisis ekonomi dan ekspansi Jepang. Ini memicu timbulnya percikan api pemberontakan di mana-mana. Bangkitnya kesadaran nasionalisme, membuat pemerintah kolonial semakin represif.  Perang dengan Jepang yang meletus di tahun 1941, menjadi penyebab berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia.

Di ruang 4, diceritakan tentang menyerahnya pasukan Belanda kepada Jepang, tanggal 8 Maret 1942. Sesudahnya, selama tiga tahun di seluruh kepulauan terjadi kemelaratan hebat. Sebanyak kira-kira 250.000 orang Eropa ditahan di kamp-kamp Jepang.

Banyak orang Belanda dikenakan kerja paksa. Ribuan di antaranya tewas karena penyakit dan kelaparan. Indonesia mulai bersorak, karena cita-cita kemerdekaan telah di depan mata. Jepang akhirnya  menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, setelah Amerika menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki.

Di ruang 5, pengunjung museum bisa menyaksikan situasi chaos setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, oleh Soekarno dan Hatta. Belanda yang tidak mau mengakui kemerdekaan itu, terus mengadakan perlawanan. Rakyat tak kurang sengit berjuang mengusir Belanda. Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pihak.

Walau Belanda tidak mau mengakui, tapi akhirnya menandatangani penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Meski Belanda berat hati, namun toh akhirnya terpaksa mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat. Di ruang ini juga dipaparkan kesaksian dan kesan-kesan dari orang-orang yang mengalami langsung kekacauan di jaman itu.
photo3-web

Foto: Buku harian prajurit KNIL dipamerkan di museum Bronbeek

Sesudah terjadinya penyerahan kedaulatan, sebanyak 300.000 orang Indo/Indonesia/Belanda diharuskan meninggalkan Indonesia. Terjadi eksodus besar-besaran. Selain pindah ke Belanda, mereka banyak juga yang hengkang ke Australia dan Amerika.

Di ruang 6, digambarkan tentang nasib orang-orang terusir tadi. Di Belanda, para pendatang baru ini diterima dengan dingin. Namun begitu, akhirnya toh bisa juga menyesuaikan dengan tanah baru. Bagi banyak orang, terutama orang-orang Indonesia yang terusir, periode itu adalah periode menyakitkan. Bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Memperhitungkan hal itu, museum menyediakan fasilitas khusus yang bisa digunakan pengunjung untuk menumpahkan unek-unek dari jaman menyedihkan itu.

Sejarah antara Indonesia dan Belanda, direkonstruksi sedemikian rupa di museum ini, sehingga pengunjung bisa memahami seluruh rangkaian kejadian. Namanya saja museum perang. Selain aneka seragam militer (juga ada kebaya dan batik!), di lemari kaca juga terpajang berbagai senjata yang digunakan dalam perang di Indonesia di masa lalu. Termasuk senjata tradisional. Misalnya bambu runcing, rencong, pedang, mandau, klewang, keris, parang, belati, dan senjata lainnya. Selain senjata, banyak juga benda bersejarah lainnya. Tapi tidak melulu yang berkaitan dengan perang saja. Benda-benda nostalgis lain yang bernilai historis, juga dipamerkan. Juga ada berbagai teks, foto, lukisan, film, dan fragmen yang dipresentasikan dengan sistem audio canggih. Ada juga presentasi  interaktif, yang bisa langsung digunakan oleh pengunjung. Yang unik, dipamerkan juga wayang revolusi.

photo6-web

 Wayang Revolusi di Museum Bronbeek (Foto: Museum Bronbeek)

Di luar pameran itu sendiri, secara teratur museum mengadakan program mengenal budaya Indonesia. Misalnya pagelaran wayang, aneka keris, pertunjukan gamelan dan tari tradisional Indonesia. Juga ada ceramah berbagai tema tentang Indonesia, di antaranya tentang Soekarno.

Selama ini saya selalu mendengar cerita sejarah dari pihak yang terjajah. Apakah saya bermaksud mengatakan, bahwa sekarang menjadi imbang, karena sudah mendengar cerita dari pihak penjajah? Tidak juga. Karena sajian kisah di museum itu, terasa diceritakan oleh “kaca mata luar”.

Kisah itu diceritakan secara dingin, berjarak, dan obyektif. Seakan ingin berkata, “Apa boleh buat, memang pahit untuk dikatakan, tapi begitulah kenyataannya”.*** (Penulis Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer, adalah anggota anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden, yang berfokus pada kajian literatur sejarah di wilayah Asia Tenggara dan Karibia, termasuk sejarah Indonesia-Belanda).
fr wwWalentina Waluyanti, penulis buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
Nederland, 29 Oktober 2010

{backbutton}

Add comment