SBY Mudah Tersinggung?
Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
SBY ganteng. Siapa tidak bangga punya presiden gagah, berwibawa, dan ganteng? Sayang karisma itu terancam pudar, karena ada citra yang mengganggu. Betulkah SBY mudah marah? Mudah tersinggung? Marah dan tersinggung itu manusiawi. Tapi sifat emosional ini kadang sulit untuk tidak mempengaruhi keputusan formal seorang pemimpin. Dampaknya bisa mempengaruhi hubungan diplomatik antar negara.
Presiden tersinggung, kunjungan diplomatik ke Belanda batal. SBY tersinggung pada Belanda. Bukan cuma gara-gara tuntutan RMS. Juga gara-gara Geert Wilders.
Oh ya, Geert Wilders? Kalau yang ini memang jagonya untuk urusan bikin orang tersinggung. Rasanya SBY pun tahu itu. Dari Ratu Beatrix sampai pemimpin Belanda lainnya, siapa yang belum kena lidah tajam Geert Wilders? Bahkan pemerintah negara tetangga, yaitu pemerintah Inggris kena makian, “Kelompok pengecut yang paling besar di Eropa”. Ini gara-gara pemerintah Inggris kontan mengusirnya pulang kembali ke Belanda. Padahal waktu itu Wilders baru tiba di bandara Heathrow London, bahkan belum sempat bangkit dari kursi pesawat. Tak kurang Jan Peter Balkenende, ketika masih menjabat sebagai Perdana Menteri, disebutnya “Penakut, pengecut dan perdana menteri terlemah sejak Perang Dunia II”. Inibelum terhitung makian terhadap petinggi Belanda lain. Tapi sampai saat ini, para pemimpin Belanda yang pernah dikatai-katai Geert Wilders, tetap“stay cool”. Oleh para pemimpin Belanda, Geert Wilders itu cuma dibikin “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.
Kembali pada soal marahnya SBY. Ciri SBY yang emosional, rasanya sudah mulai dikenali oleh rakyat Indonesia. Ini sudah sering kita dengar dan lihat. Banyak tayangan TV yang menayangkan adegan saat SBY marah. Bahkan sejak sebelum jadi presiden pun, secara mencolok SBY menunjukkan ketersinggungannya pada Taufik Kiemas, suami Megawati.
Foto: Puan Maharani, Taufik Kiemas, SBY dan istri, Wapres Boediono dan istri
Dalam perselisihan politik, Taufik Kiemas menyebut SBY seperti anak TK. Tentu saja arti TK di sini bukan “Taufik Kiemas”, tapi “Taman Kanak-Kanak”. Tampaknya Taufik mengidentikkan kata “mudah ngambek” dengan pengertian “seperti anak-anak”. SBY disebut Taufik, seperti anak kecil. Ketika itu SBY masih duduk sebagai menteri di kabinet Presiden Megawati. Kata-kata Taufik tadi dianggap pelecehan. SBY menegur Taufik supaya punya etika dalam berkomentar. Tak sampai seminggu, SBY yang tersinggung berat, menyatakan mundur sebagai Menko Polkam.
Berapa kali sudah SBY marah kepada stafnya di depan umum? Di antaranya, pernah SBY yang baru memasuki ruang, kontan menghardik menteri-menteri yang sedang bercakap-cakap sambil bercanda, saat menunggu kedatangan presiden. Tanpa “ba bi bu” SBY yang baru muncul di depan pintu, langsung membentak menteri, “Masih bisa tertawa-tawa, ada asap seperti itu!!!” (kasus kabut asap di Sumatera dan Kalimantan). SBY juga pernah marah pada wartawan. Tahu sendirilah bagaimana wartawan itu. Mereka itu (biasanya) manusia urakan. Ketika sebuah konperensi pers dengan presiden dibatalkan, wartawan berteriak, “huuuuuu”. Dengan ekspresi tak suka,SBY marah dan menyemprot wartawan,“Hey, apa-apaan ini? Kenapa begitu?”. Mendengar kata “huuuuu” saja, presiden bisa tersinggung.
Mungkin saja alasan kemarahan SBY benar. Misalnya ada yang ngobrol sendiri, atau tertidur saat presiden pidato, SBY marah. Ada yang tidak beres, pemimpin marah. Itu biasa. Namun dalam cara dan urgensi bagaimana kemarahan itu sebaiknya disampaikan? Rakyat tidak mengerti, frekuensi kemarahan presiden semakin sering, dan mudah terpicu. Sementara itu, dampak efektif yang diharapkan dari kemarahan pemimpin, tak jelas hasilnya.
Bagaimanapun, kesejukan selalu menjadi pilihan siapapun. Rakyat selalu kagum pada pemimpin yang cekatan membenahi ketidakberesan, tetap penuh kendali, tanpa perlu diwarnai amarah.
Di lingkungan militer, marah pada anak buah di depan anak buah lain, mungkin biasa saja. Namun menerapkan ketegasan pada masyarakat sipil dengan cara militer?
Mungkin kemarahan SBY (nota bene seorang jendral), menghardik anak buah di depan umum, alasannya bisa dipahami. Bagi militer, antara “menegur” dan “memarahi” kadang sulit dibedakan. Alam pikiran orang sipil, jangan diharapkan sama dengan orang militer. Dalam cara tertentu, memarahi anak buah di depan umum, di mata orang sipil ini sama dengan mempermalukan manusia di depan umum. Bagi masyarakat awam/non militer, cara ini langsung membentuk persepsi diktatorisme. Walau sang pemimpin mungkin tidak bermaksud demikian.
Barangkali sudah saatnya ketegasan pemimpin ditunjukkan bukan dengan cara emosional. Apalagi dengan kondisi psikososial Indonesia, yang umumnya masyarakatnya berperasaan halus, punya karakter sensitif, gampang tersinggung (?), dengan kadar yang berbeda. Ada yang cepat sekali tersinggung, ada yang cuma disimpan di hati. Orang yang sensitif, kalau ditegur atau dimarahi, biasanya bukannya jadi lebih baik. Hasilnya malah dendam yang dipendam. Tinggal tunggu meledaknya saja. Tahu-tahu......”BOOOOMMM!!!”.
Terlebih di masa ekonomi sulit ini. Semua orang cepat naik darah. Dari kalangan atas, sampai kalangan bawah. Hanya saja karena mereka itu rakyat, jadi ketersinggungan itu cuma dipendam saja. Pemimpin marah kepada bawahan/rakyat, sementara yang dimarahi juga mudah marah. Yang bisa melampiaskan marahnya, karena punya kekuasaan sih enak. Habis marah, ya sudah. Lha, yang tidak bisa melampiaskan marahnya, karena hanya bawahan dan rakyat kecil? Lalu kemarahan itu mengganjal jadi tumor mental. Akibatnya depresi semakin menjadi. Lalu kapan hadir kesejukan itu?
Tampaknya tidak mudah melepaskan karakter kemiliteran ketika seorang pejabat militer harus memimpin rakyat sipil. Masyarakat sipil ditangani secara militer? Hasilnya mulai dari menteri, gubernur, kapolri, dirut, walikota, bupati, dan bawahan lainnya siap-siap saja makan hati dan malu, kalau dibentak presidennya di depan umum. Siapa suruh jadi bawahan.
Pemimpin memang mesti tegas. Tapi ketegasan yang disampaikan dengan menghardik anak buah di depan publik...rasanya bagaimana ya? Kecuali kalau yang dihardik itu adalah koruptor besar, pencuri uang negara...nah, itu lain ceritanya. Mungkin ada cara lain untuk mengekspresikan ketegasan pemimpin tanpa perlu mempermalukan bawahan di depan umum?
Bawahan yang mudah dipermalukan atasannya (dimarahi di depan umum), akan dengan mudah melakukan itu juga pada bawahan lainnya. Akibatnya mereka bekerja, mengoreksi sesuatu, bukan karena kesadaran “memang begitu seharusnya”, tapi karena takut pada atasan. Bisa dimengerti jika tercipta kinerja tak sehat. Kerjanya cuma baik, kalau pemimpin marah. Kalau pemimpin tidak marah, diartikan tidak tegas, dan bawahan bekerja seenaknya. Marah artinya tegas. Tidak marah artinya lembek. Pemahaman yang membingungkan. Akibatnya pemimpin semakin marah. Dimarahi 1000 kali kok tetap begitu-begitu saja!?
Semakin seringnya frekuensi marah dan tersinggungnya SBY di depan umum, bahkan meluas ke tingkat internasional, telah menimbulkan pencitraan. Yaitu SBY mudah marah dan tersinggung. Ya, presiden juga manusia. Tapi bawahan dan rakyat juga manusia. Hanya bedanya, kalau rakyat kecil dan bawahan marah, siapa mau peduli? Rakyat kecil jangan coba-coba marah pada pemimpinnya.
Biarpun kemarahan rakyat itu mungkin benar, tapi rakyat yang berani marah pada pemimpin, bisa kena risiko dihardik balik. Sampai rakyat itu ciut. Akibatnya rakyat lebih memilih cara aman. Yaitu tutup mulut. Pasrah. Habis perkara.
Siapa suruh jadi rakyat? Walaupun katanya pemimpin negara itu adalah “abdi rakyat” (arti harfiahnya: pesuruh rakyat), tapi rakyat jangan coba-coba marah pada pesuruhnya!
Walentina Waluyanti
{backbutton}