SBY, Belanda, RMS (Republik Mimpi Saja)
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Catatan: Tulisan ini dimuat di Detiknews-Detik.com
Harga diri itu perlu. Hanya memang perlu kecermatan cara menakar. Bagaimana supaya tidak terlalu rendah, atau malah melambung berlebihan. Kalau terlalu rendah, repot juga. Tapi kalau terlalu tinggi, malah bisa menghilangkan simpati. Di bidang politik, soal ini tidak mudah. Yang mana harga diri bangsa, harga diri dalam kapasitas sebagai pemimpin, atau harga diri personal?
SBY membatalkan kunjungan ke Belanda, yang hampir bersamaan waktunya dengan tuntutan RMS (Republik Maluku Selatan) di pengadilan Den Haag. Sebagaimana diberitakan, RMS menuntut agar SBY diajukan ke pengadilan. Tampaknya SBY merasa kurang berkenan dengan ulah RMS yang dianggap melecehkan kehormatan kepala negara.
Presiden yang 'ngambek' membatalkan kunjungannya ke Belanda, kemudian menuai kontroversi. Tepatkah ini perlu dilakukan demi harga diri bangsa? Atau mungkin ada sebab lain yang off the record? Wallahualam.
Di luar masalah itu semua, saya menilai boleh juga manuver RMS kali ini. RMS yang nyaris menjadi legenda masa lalu, tiba-tiba “naik daun”. Bahkan timbul kesan, seolah-olah otoritas peradilan Belanda turut melicinkan prosedur gugatan RMS itu. Betulkah demikian?
Bagaimana sebetulnya posisi RMS di Belanda? Bagaimana hubungan RMS dengan pemerintah Belanda? Mungkin tidak ada salahnya menengok sekilas kehidupan orang Maluku di Belanda.
Foto: Presiden SBY umumkan pembatalan kunjungan ke Belanda
Ada satu hal yang patut diacungi jempol untuk orang-orang Maluku di Belanda ini. Walau lahir dan besar di Belanda, anak cucu mereka tetap memelihara bahasa ibu. Etnis Indonesia lain (non Maluku) yang tinggal beranak cucu di Belanda, biasanya generasi selanjutnya tidak lagi berbahasa Indonesia. Lain dengan orang Maluku. Umumnya bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia (mereka menyebutnya bahasa Melayu). Walau diakui sendiri kualitas bahasa Indonesia mereka tergolong “bahasa pasar”, dan banyak menggunakan kata Indonesia yang sudah arkais.
Mereka juga punya perkumpulan sendiri. Perkumpulan ini mengorganisir berbagai kegiatan. Di jalan Gooierserf di Huizen, kota kecil dekat Hilversum di Belanda, ada sebuah yayasan yang dikelola sejumlah orang Maluku. Di temboknya, terpampang bendera super besar. Bendera RMS. Apakah bendera tadi menunjukkan gedung ini adalah markas pertemuan RMS? Tidak juga. Bendera itu lebih sebagai simbol kebanggaan masa lalu belaka.
Generasi Maluku sekarang, tidak lagi seperti generasi dulu yang betul-betul sengit memperjuangkan RMS. Bagi anak-anak muda Maluku sekarang, cerita RMS nyaris kedengaran bak mitos yang sering diceritakan orang tua mereka. Mereka bangga dengan bendera RMS. Mereka bangga dengan pejuang-pejuang RMS yang mencintai tanah leluhur mereka. Tapi hanya sebatas romantisme kebanggaan saja. Tidak lebih dari itu.
Gedung kegiatan orang Maluku tadi umumnya dipenuhi orang Maluku. Kadang membaur di antaranya juga orang Belanda. Maklum, kebijakan politik Belanda, yaitu integrasi, membuat percampuran budaya tidak lagi terhindarkan.
Kegiatan perkumpulan orang Maluku di Huizen itu, di antaranya mengadakan les dansa. Salah satu di antaranya dansa poco-poco. Tidak sedikit orang Belanda juga tertarik mengikuti les dansa poco-poco ini.
Dansa poco-poco populer di Belanda (Foto: Walentina Waluyanti)
Secara teratur mereka mengadakan malam budaya. Di antaranya pertunjukan musik dengan lagu-lagu keroncong, lagu Maluku, dan lagu pop Indonesia lainnya. Tidak sedikit penyanyi berdarah Maluku di Belanda, masih tetap membawakan lagu-lagu keroncong. Jenis musik yang justru di negara asalnya, Indonesia, mulai banyak dilupakan dan ditinggalkan.
Bagaimana hidangan di pesta-pesta orang Maluku? Seperti biasa selalu ada makanan khas Indonesia. Sebut saja di antaranya sate, gado-gado, nasi goreng, mie goreng, rendang, semur, sambal goreng telur, ayam pedes. Di rumah-rumah, masih banyak orang Maluku yang masih doyan makanan khas Maluku. Misalnya papeda ataupun ikan bakar dengan sambal colo-colo. Kata orang Ambon,“Hmm...kalu beta makang ikang bakar deng tu sambal colo-colo, beta seng lia lai martua su datang!” (Kalau saya makan ikan bakar pakai sambal colo-colo, saya tidak lihat lagi mertua sudah datang).
Begitulah kehidupan orang Maluku di Belanda. Walau lahir di Belanda, namun entah disadari atau tidak, ciri keindonesiaan itu masih tetap melekat. Sulit untuk dikatakan orang-orang Maluku di Belanda sudah tercabut dari akarnya.
Kalau kita ngobrol iseng-iseng dengan orang Maluku di Belanda, banyak di antaranya beranggapan, perjuangan RMS tinggal perjuangan nostalgis belaka. Mereka merasa bahwa itu tidak realistis lagi. Kalaupun masih ada yang “keukeuh” ingin tetap negara RMS, itu tidak mewakili aspirasi masyarakat Maluku di Belanda secara keseluruhan. Usaha-usaha separatisme dinilai ambisi elite tertentu saja.
Pasca kemerdekaan, Presiden Sukarno mengharuskan semua orang Belanda, orang Indo, prajurit KNIL (banyak di antaranya orang Maluku), dan simpatisan Belanda lainnya meninggalkan Indonesia. Tahun 1951, sebanyak kira-kira 12.500 orang Maluku diusir ke Belanda. Orang-orang Maluku ini datang dengan menumpang13 armada kapal laut yang tiba di pelabuhan Rotterdam.
Foto: Arus kedatangan orang Maluku di Belanda, 1951
Ketika orang-orang Maluku tiba di Belanda, mereka mengira kedatangan itu hanya untuk sementara. Mereka masih menganggap bahwa begitu situasi darurat berlalu, secepatnya mereka akan kembali lagi ke Indonesia. Apalagi ketika itu pihak Belanda menjanjikan mereka akan kembali bisa menetap di Indonesia.
Tidak heran, di masa itu masih banyak wanita Maluku yang tetap berkebaya. Mereka tidak merasa perlu menyesuaikan diri dengan kultur Belanda. Mereka mengajari anak-anaknya tetap berbahasa Indonesia. Bahasa Belanda perlu, tapi jangan sampai lupa bahasa ibu. Soalnya nanti mau kembali ke Indonesia. Jadi anak-anak mereka jangan sampai tidak bisa berbahasa Indonesia.
Selain itu, mereka juga masih percaya perjuangan RMS akan didukung Belanda. Dengan begitu mereka akan bisa kembali ke kampung halaman, berkumpul dengan sanak saudara di pulau Ambon. Dan punya republik merdeka yang berdiri sendiri. Begitulah mimpi mereka.
Foto: Presiden pertama RMS, J.H. Manuhutu
Tapi tunggu punya tunggu, dugaan itu keliru. Tidak ada tanda-tanda pemerintah Belanda membantu perjuangan RMS. Jelas-jelas Belanda menolak dukungannya pada RMS. Boro-boro dibantu mendirikan negara RMS. Janji pemerintah Belanda, bahwa mereka akan dipindahkan kembali ke Indonesia, tidak menjadi kenyataan. Ini membuat orang-orang Maluku merasa “habis manis sepah dibuang”. Bagaimana tidak? Sebagai prajurit KNIL, mereka merasa berjasa telah membantu Belanda semasa perang.
Tapi mana balasannya!?
Ketika tiba di Belanda, mereka ditempatkan di barak-barak kecil. Makanan dibagikan melalui dapur umum. Kondisi hidup dan tempat tinggal mereka, boleh dikatakan buruk dan primitif. Bahkan ada yang ditempatkan di kamp yang dulu digunakan Jerman untuk menampung orang Yahudi. Mereka menerima biaya hidup yang sangat kecil jumlahnya. Padahal tidak sedikit keluarga Maluku itu punya banyak anak. Tentu butuh biaya tidak sedikit.
Cerita tadi belum selesai. Tak lama kemudian, terdengar berita bahwa Belanda memecat semua prajurit KNIL asal Maluku yang baru tiba itu.
Foto: Brosur reklame lowongan kerja sebagai prajurit KNIL, tahun 1930-an
Ini dirasa keterlaluan. Sudah meninggalkan segalanya di tanah air, hidup pas-pasan, dipecat lagi! Harapan mereka, pemerintah Belanda bersedia membantu mencarikan pekerjaan lain. Tapi uluran tangan yang diharapkan untuk menyalurkan mereka ke lapangan kerja, ternyata nihil.
Begitulah kondisi orang Maluku di awal kedatangan mereka ke Belanda ketika itu. Diusir dari tanah air. Tidak punya pilihan lain. Mau kembali ke kampung halaman, nampaknya hanyalah fatamorgana. Ingin punya negara sendiri, dengan mengharap bantuan Belanda, tapi Belanda kok lepas tangan. Malah ingkar janji. Biaya hidup yang diterima kok tidak cukup. Sudah begitu...dipecat dari KNIL, tanpa diberi pekerjaan lain. Mau cari bantuan ke mana di negeri yang asing ini? Ini membuat mereka frustrasi. Orang Maluku merasa perjuangannya selama ini untuk membantu Belanda, telah dikhianati!
Rasa frustrasi orang Maluku itu akhirnya meledak! Mencapai puncaknya tanggal 2 Desember 1975. Sebanyak tujuh pemuda Maluku membajak kereta api di Wijster, propinsi Drenthe. Peristiwa ini banyak disebut sebagai peristiwa pembajakan kereta yang pertama di dunia. Pembajakan yang berlangsung selama 12 hari ini, mengakibatkan jatuhnya tiga korban jiwa. Di antaranya, masinis kereta ditembak mati.
Pembajakan kereta ini berulang kembali 23 Mei 1977 di Punt, propinsi Drenthe. Pembajakan bersenjata ini dilakukan oleh sembilan pemuda Maluku. Berlangsung selama 20 hari. Pembajakan ini berlangsung lebih berdarah dari pembajakan dua tahun sebelumnya. Dua sandera dan enam pembajak tewas dalam operasi penyelamatan.
Peristiwa pembajakan ini menimbulkan efek psikis berkelanjutan, khususnya bagi orang Belanda. Setelah peristiwa itu, timbul prasangka diskriminatif. Jika orang Belanda naik kereta dan melihat di antara penumpang ada “kulit berwarna”, timbul perasaan tidak suka dan merasa tidak aman. Orang tua Belanda kuatir dan melarang anak-anak mereka bergaul dengan orang Maluku. Mereka masih dibayangi trauma pembajakan kereta yang baru saja terjadi.
Pembajakan itu juga malah semakin mengurangi simpati pemerintah Belanda terhadap perjuangan RMS. Apalagi sebelum pembajakan kereta itu, terkuak ada usaha menculik Ratu Juliana, yang berhasil digagalkan.
Foto: Aksi pembajakan kereta oleh pendukung RMS
Situasi ini bisa digambarkan dengan peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Hanya karena ulah sekelompok grup, akhirnya orang Maluku lain yang tidak tahu apa-apa, ikut menanggung akibat prasangka diskriminatif itu.
Efek di atas tadi, masih tetap melekat hingga bertahun-tahun kemudian. Pembajakan tadi, sampai sekarang cuma itulah satu-satunya peristiwa pembajakan kereta yang pernah terjadi di Belanda. Dan pelakunya adalah pendukung RMS. Sehingga asosiasi orang Belanda tentang RMS sampai sekarang...apa boleh buat...orang Belanda sulit untuk melepaskan “citra kekerasan” yang telanjur melekat pada RMS.
Tahun demi tahun bergulir. Kebijakan integrasi yang sudah digalakkan pemerintah Belanda beberapa dekade ini, sedikit banyak telah mengubah cara generasi baru Maluku memandang ideologi RMS. Ideologi yang dulu diperjuangkan mati-matian oleh orang tua mereka. Dulu orang Maluku di Belanda hidup terisolasi, dengan kondisi sosial ekonomi minim. Ini turut mempengaruhi aksi kekerasan mereka.
Namun kini situasi berubah. Orang Maluku hidup lebih sejahtera, di dalam alam integrasi dengan berbagai kultur. Sistem pembauran di Belanda, telah mengubah cara berpikir mereka. Ini juga mengubah ideologi generasi muda tentang cita-cita RMS. Memperjuangkan RMS sudah dilihat dengan kaca mata lain. Mereka umumnya menyadari, separatisme tidaklah realistis.
Dengan kondisi masa kini, rasanya kurang tepat menggeneralisir bahwa semua orang Maluku di Belanda, punya ideologi yang sama dengan sekelompok elite di tubuh RMS.
Namun demikian, terlepas dari pro kontra soal gerakan RMS, umumnya orang Maluku menghormati ideologi RMS, dalam hal melekatkan kebanggaan sebagai “orang Maluku”. Tanah Maluku tetap harus dicintai. Ini bukan cuma lip service. Mencintai tanah Maluku ini memang betul-betul terpantul dari gaya hidup mereka yang masih berbau Indonesia, seperti yang sudah digambarkan di atas. Makanan Indonesia, budaya Indonesia, lagu keroncong, dan simbol Indonesia lainnya....bukankah Maluku juga bagian dari itu semua?
Riem de Wolff (grup band Blue Diamonds), penyanyi asal Maluku (Foto: Walentina)
Dahulu bagi orang Maluku, cita-cita ingin punya negara sendiri adalah harga mati. Generasi demi generasi berganti. Sekarang ideologi itu bergeser. Titik beratnya lebih pada kepedulian tentang nasib tanah asal mereka. Tak heran jika mereka suka teriak lantang tentang masalah hak asasi manusia di Maluku. Soalnya mereka memang masih punya ikatan batin dan kepedulian kuat dengan tanah leluhur mereka. Walau sebetulnya mereka tahu betul, kaki mereka kini sudah menemukan pijakan yang jelas dan pasti, yaitu tanah Belanda.
Di Belanda, perjuangan RMS boleh dikatakan perjuangan simbolis belaka. Bagaimana respons dari masyarakat Maluku sendiri, maupun dari pemerintah Belanda? RMS pun tahu, mencari dukungan, bukan hal mudah untuk diraih. Kedatangan SBY, bisa jadi adalah momentum tepat bagi RMS, untuk menggalang dukungan. Diberitakan, pembatalan kunjungan SBY dikaitkan dengan masalah harga diri. Apakah kalau SBY batal ke Belanda, harga diri bangsa bisa naik? Apakah kalau SBY jadi ke Belanda, harga diri bangsa bisa turun?
Yang jelas, heboh batalnya kunjungan SBY yang dihubungkan dengan RMS, malah mendongkrak harga publisitas RMS...republik yang nyaris berkonotasi Republik Mimpi Saja.
Artikel terkait, silakan klik:
Mengapa Banyak Orang Maluku di Belanda
Bung Karno dan Sinterklaas Hitam
Walentina Waluyanti, bekerja sebagai pengajar di Belanda
Penulis buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}