Saksi Bisu Jaman Jepang
Penulis: Copyright @ Walentina Waluyanti de Jonge
Dari balik kawat berduri, beginilah mereka menghabiskan hari-harinya. Karya para tawanan yang saya lihat di sini, terasa unik. Ada yang menuangkan kesaksiannya di atas sehelai baju.
Saya menyusuri ruang demi ruang yang tertata rapi. Di ruang itu ada deretan meja dan lemari kaca. Di atasnya terhampar berbagai benda dari jaman pahit di masa lalu. Yaitu saat pasukan berkulit kuning, berpedang panjang, dan bertubuh cebol menyerbu Indonesia.
Begitu tentara Nippon Jepang menyerbu Indonesia, pemerintah kolonial Belanda berhasil ditaklukkan. (Tentang hal ini antara lain saya tulis di buku karya saya, klik: Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan). Selanjutnya, Jepang mewajibkan semua orang Belanda hidup di kamp tawanan.
Membungkuk kepada Jepang, wajib diakukan. Gambar ini dipotret di Museum Verzet. (Foto: Walentina Waluyanti)
Kamp itu tersebar di seluruh penjuru di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Walau yang diwajibkan tinggal di kamp tawanan adalah orang Belanda totok, namun banyak juga di antaranya orang Indo (campuran Indonesia Belanda). Beberapa di antaranya ada juga orang Indonesia, karena mereka tidak ingin terpisah dari anak dan pasangannya yang orang Belanda.
Umumnya mereka hidup terkurung selama 3 tahun (1942-1945). Sebagai tawanan, mereka hidup dalam kondisi menyedihkan. Makanan terbatas atau nyaris tak ada. Kelaparan menjadi ancaman mematikan yang paling utama. Setiap hari ada saja korban tewas karena kelaparan.
Para tawanan Belanda di kamp tawanan Jepang.
Dalam kondisi terbatas, hanya semangat hidup yang membuat para tawanan itu bisa sedikit bertahan. Untuk mengalihkan rasa lapar, banyak di antara mereka yang tetap berkarya dengan menggunakan bahan apa saja yang bisa digunakan. Dengan cara ini, mereka sedikit bisa melupakan kesengsaraan di kamp tawanan.
Karya kerajinan tangan para tawanan selama berada di kamp Jepang itu, sekarang menjadi koleksi Verzetmuseum di Amsterdam.
Pintu masuk Museum Verzet, Amsterdam (Foto: Walentina Waluyanti)
Museum ini adalah museum yang menyimpan jejak historis negara Belanda semasa Perang Dunia II. Yaitu semasa Belanda ditaklukkan Jerman, sampai pada keterlibatan Belanda dalam Perang Asia Pasifik, ketika akhirnya Belanda takluk pada Jepang.
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 330.000 penduduk sipil yang ditawan Jepang. Kehidupan para tawanan di kamp Jepang itu, saya saksikan jejaknya melalui beberapa benda peninggalan mereka di Verzetsmuseum, di antaranya kerajinan tangan karya mereka.
Berikut ini foto benda-benda itu yang saya potret ketika berkunjung ke Museum Verzet di Amsterdam.
Tampaknya tawanan memanfaatkan apa saja untuk diolah menjadi sesuatu yang menarik. Misalnya di bawah ini, baju yang terbuat dari kumpulan potongan kain. Juga ada tempat surat yang terbuat tikar bekas, dipercantik dengan sulaman. Di kala itu, banyak tawanan yang tidur di kamp dengan hanya beralas tikar.
Kerajinan tangan dari orang Belanda selama ditawan di kamp Jepang. (Foto: Walentina Waluyanti)
Yang menarik dari karya sulaman di bawah ini, adalah si pembuat menyulam kalimat di atas kain, yaitu “Nederland zal herrijzen” (Nederland akan bangkit kembali). Karya sulam dengan bendera Belanda, bendera Inggris dan simbol kerajaan Belanda, seakan mewakili impian para tawanan itu. Yaitu suatu waktu Belanda (bersama pasukan Inggris) akan datang membebaskan mereka semua.
Tampak sulaman "Nederland akan jaya kembali" tertera di atas kain. (Foto: Walentina Waluyanti)
Jika pada karya di atas pembuatnya memakai bahasa Belanda, karya di bawah ini penyulam menorehkan kata-kata bahasa Indonesia. Tampak tulisan yang menjelaskan kata-kata berikut: “nama (namanya tak jelas) alamat (tak jelas), bangsa (tak terbaca), diberikan oleh” (mungkin maksudnya si pembuatnya ingin menjelaskan bahwa kain untuk menyulam ini diperolehnya dari seseorang?). Lalu di bagian bawah, disulam juga lokasi kamp si tawanan, yaitu di kamp Tjihapit, Jawa Barat. Lalu ada tulisan Java CO (mungkin itu nama kantor/bangunan yang dijadikan kamp?). Tampak tercantum juga tanggal pembuatan sulaman itu, dengan memakai tahun Jepang yaitu 18/10-2604. Artinya tahun 1944. Tahun Jepang berselisih 660 tahun dari tahun Masehi (tahun Gregorian).
Karya seorang tawanan di kamp Tjihapit, Jawa Barat. (Foto: Walentina Waluyanti)
Di bawah ini tampak kemeja putih yang bersulam bermacam-macam nama dan tanda tangan. Mungkin saja itu nama para tawanan di kamp. Selain itu juga ada hiasan bermacam-macam obyek, yang tampaknya obyek yang ada di sekitar kamp. Misalnya sumur dan kesibukan wanita-wanita yang sedang sibuk di dapur umum. Lalu ada sulaman gambar dua wanita yang memikul air memakai bambu. Juga sulaman gambar sendok. Satu dua lelehan air dari sendok tersebut seolah melambangkan minimnya makanan yang ada.
Sebagai catatan, saat waktu makan, tawanan harus antri di dapur umum. Dan menu mereka (kalaupun kebetulan ada makanan), hanyalah tepung kanji cair, yang begitu cairnya sampai mirip suguhan air di mangkok kecil).
Seorang tawanan menyulam nama para penghuni kamp di atas kemejanya. (Foto: Walentina Waluyanti)
Sulaman di bawah ini menunjukkan selera artistik pembuatnya. Tampaknya dibuat oleh penghuni kamp Ambarawa, kota pasar yang terletak di antara Semarang dan Salatiga, Jawa Tengah. Tersulam jelas dengan rapi kata, “Kamp VII Ambarawa”. Tanggal pembuatannya juga tertera, 25 December 2604 (tahun 1944). Di atas kain segitiga itu tersulam suasana kamp. Ada pohon besar, lalu di belakangnya ada pagar bambu tinggi. Yang menarik, pembuatnya dengan sangat apik menyulam gambar dua wanita di bawah meja, yang seolah menyiratkan rasa takut tawanan selama hidup di kamp Jepang. Ada juga kata Jepang yang disulam, “ku-shu-kei-ho!”. Waduh, mesti buka kamus Jepang, nih!
Sulaman dengan sketsa sederhana tentang situasi kamp. (Foto: Walentina Waluyanti)
Diary tentang kehidupan kamp yang ditulis di buku, mungkin biasa. Tapi diary berupa sulaman di atas baju? Kreativitas tawanan di bawah ini boleh juga. Pembuatnya merekam kejadian di kamp, dengan menyulam banyak kejadian, lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahun kejadian. Misalnya kapan pintu gerbang kamp ditutup, dengan sulaman gambar pintu gerbang. Lalu ada juga sulaman barang-barang yang harus diserahkan ke pihak Jepang. Dan beberapa kegiatan yang terjadi di kamp.
Seorang tawanan merekam berbagai kegiatan di kamp melalui sulaman pada sehelai rok. (Foto Walentina Waluyanti)
Dalam keadaan susah, ada-ada saja kreativitas tawanan menghasilkan sesuatu. Misalnya kumpulan potongan kain di bawah ini, disulap jadi celemek. Lalu ada sulaman beberapa nama, boleh jadi itu nama beberapa penghuni kamp.
Kain-kain perca yang dijahit menjadi celemek, dengan nama-nama pemberi kain itu, adalah salah satu cara mengalihkan rasa takut dan lapar selama berada di kamp Jepang. (Foto: Walentina Waluyanti)
Masih banyak lagi karya-karya lain yang tidak mungkin ditampilkan semuanya di sini. Tampaknya nyaris semua karya, adalah karya wanita. Selain karya tawanan, museum Verzet juga memamerkan benda-benda yang digunakan oleh para tawanan selama hidup di kamp. Tersedia juga fasilitas audio visual, yang bisa disetel sendiri oleh pengunjung, Saya sempat menyaksikan film dokumenter singkat tentang kolonialisme Jepang di Indonesia, dan kondisi tawanan di kamp Jepang. Juga saya menyetel rekaman penuturan para saksi, tentang pengalaman mereka selama berada di bawah pendudukan Jepang. Selebihnya, ada juga berbagai dokumen dan banyak foto yang menggambarkan kondisi jaman itu.
Melihat semua benda-benda peninggalan para tawanan Jepang itu, membuat saya merinding. Benda-benda itu tak bergerak. Tapi seakan berbicara banyak di balik kebisuannya. Para tawanan perang itu tetap bisa berkreasi dalam kondisi lapar dan ketakutan. Seharusnya saya malu hanya berpangku tangan tak berbuat apa-apa di jaman serba mudah ini (Copyright@Walentina Waluyanti de Jonge - historical book writer)
Walentina Waluyanti de Jonge
Penulis buku Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan
{backbutton}