Sakit Hati Soeharto pada Habibie
Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge – Nederland
Soeharto merasa kejatuhannya pada 21 Mei 1998, antara lain karena pengkhianatan orang-orang yang justru dipercayainya. Ini terasa menyakitkan bagi Soeharto. Tetapi di antara sekian yang mengkhianatinya, yang paling membuat Soeharto sakit hati adalah Bacharuddin Jusuf Habibie.
Ini seakan menjadi salah satu sakit tak terobati bagi Pak Harto. Dilengserkan oleh rakyatnya, ditinggalkan oleh orang-orang-orang kepercayaannya, ditambah 3 tahun sebelumnya ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh Siti Hartinah, istri tercinta, membuat Soeharto seakan kehilangan pegangan menjelang akhir kekuasaannya. Soeharto pernah berucap bahwa sampai mati pun ia tidak akan pernah mau bertemu Habibie. Ini dikatakan oleh pengawal pribadi Soeharto, Letnan Kolonel (Purnawirawan) TNI I Gusti Nyoman Suweden. Dan memang Soeharto kukuh memegang ucapannya itu hingga akhir hayatnya.
Foto: Soeharto dan istrinya, Siti Hartinah.
Sekitar 12 hari sebelum Soeharto wafat pada Minggu 27 Januari 2008, Habibie dan istrinya Ainun khusus datang dari Jerman ke Jakarta. Keduanya ingin menjenguk Pak Harto di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Begitu tiba di Bandara Soetta pada Selasa 15 Januari 2008, Habibie dan istri segera menuju RSPP. Tetapi baru di lift RSPP, kedatangan Habibie itu ditolak. Habibie begitu kecewa dan shock. Ia tidak menyangka bahwa menjelang akhir usianya pun, Pak Harto tetap menutup pintu hatinya. Begitu kecewanya, sehingga Habibie dan istri pada hari yang sama saat keluar dari RSPP, langsung kembali ke Jerman.
Sebetulnya tanda-tanda bahwa Soeharto sudah tidak mau lagi “berurusan” dengan Habibie sudah terlihat saat ia menyampaikan pidato pengunduran dirinya, 21 Mei 1998. Sesudah Soeharto berpidato, kemudian langsung dilanjutkan dengan pelantikan Habibie sebagai Presiden RI. Saat itu tidak sepatah kata pun sapaan ataupun ucapan selamat Soeharto kepada Habibie. Padahal dalam pidatonya, jelas Soeharto mengatakan Habibie sebagai penggantinya, "Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003".
Foto: Tampak Soeharto menyaksikan Habibie saat dilantik sebagai Prseiden RI.
Sejak mundurnya Soeharto, Habibie berkali-kali berusaha menemui Soeharto, namun tak pernah sekalipun mendapat tanggapan. Sekitar 2 minggu setelah berhenti sebagai Presiden, Pak Harto berulang tahun. Tetap saja Pak Harto ogah menerima kedatangan Habibie yang ingin mengucapkan selamat ultah di rumahnya Jl. Cendana No. 6-8 Jakarta.
Bagaimana setelah Soeharto wafat? Apakah putra-putri Soeharto menyambung silaturahmi yang sempat terputus dengan Habibie? Sayangnya, sepeninggal Soeharto, permusuhan keluarga Soeharto kepada Habibie pun seakan “terwariskan”. Ketika istri Habibie, Ainun meninggal di Munchen pada 22 Mei 2010 dan jenazahnya tiba di Tanah Air 3 hari kemudian (25 Mei 2010), tidak ada satu pun dari keluarga ataupun putra-putri Soeharto yang datang melayat. Bahkan juga tidak ada kiriman karangan bunga tanda duka cita sebagai pengganti ketidakhadiran. Ini janggal, mengingat putra-putri Soeharto dikenal membina hubungan baik dengan keluarga/putra-putri seluruh mantan Presiden RI... kecuali dengan Habibie!
Foto: Habibie mendampingi istrinya, Ainun. Saat-saat menjelang kepergian Ainun.
Bahkan saat keluarga Soeharto menerbitkan buku "Pak Harto The Untold Stories", yang berisi tulisan sejumlah tokoh dan orang-orang terdekat untuk mengenang Pak Harto, tak ada nama Habibie di daftar tokoh di buku tersebut. Padahal Habibie termasuk orang terdekat, paling tidak pernah mendampingi Pak Harto sebagai sebagai Wakil Presiden. Seperti halnya Try Sutrisno yang mantan Wapres, turut menyumbangkan memorinya tentang Pak Harto di buku tersebut. Bahkan juga ada tulisan pendek Karlinah, istri mantan Wapres Umar Wirahadikusuma (alm.). Habibie sama sekali tidak dilibatkan di buku “Pak Harto The Untold Stories”, sementara buku ini justru memuat kenangan mantan mahasiswa yang pernah mendemo Soeharto menjelang kejatuhannya pada Mei 1998.
Ada sejumlah orang yang diizinkan menjenguk Soeharto pada saat sakitnya. Bahkan di antaranya ada beberapa lawan politik Soeharto. Tetapi Habibie “terusir” dari RSPP saat ingin menjenguk Soeharto. Rupanya tidak ada ampun buat Habibie. Ditinggalkan oleh menteri-menterinya, meskipun mengecewakan, tetapi mungkin belum seberapa menyakitkan bagi Soeharto. Masalahnya, yang lebih menyakitkan adalah Habibie yang telah "dibesarkannya", dikenalnya saat Habibie masih remaja, belakangan malah menunjukkan gelagat ikut meninggalkannya. Tak pelak, banyak yang menduga bahwa bagi Soeharto, ini sama saja Habibie telah mengkhianatinya. Padahal sekian puluh tahun Soeharto sangat mempercayai Habibie dan selalu diistimewakan sebagai "anak emas”. Kira-kira begitulah gambaran sakit hati Soeharto kepada Habibie.
Foto: Susilo Bambang Yudhoyono saat menjenguk Soeharto di RSPP. (Sumber foto: Kapanlagi).
Soeharto merasa Habibie itu sudah seperti anak sendiri yang sangat dipercayainya, dan dinilainya pastilah akan sangat setia padanya. Terlebih Habibie selain pernah dipercayainya sebagai Menteri dan Wapres, pernah pula dipercaya oleh Soeharto memimpin sejumlah BUMN. Apapun yang diminta Habibie untuk kelancaran proyek-proyeknya, bisa dikatakan dipenuhi oleh Soeharto. Oleh karenanya, Soeharto berharap saat ia mundur, tentulah Habibie sebagai Wapres juga ikut solider mundur bersamanya. Tetapi Habibie malah terkesan berdiri di kubu yang menolak Soeharto. Habibie menolak mundur dengan alasan konstitusi menetapkan kalau Presiden mundur, maka kedudukannya digantikan oleh Wakil Presiden. Alhasil, Habibie menjabat sebagai Wapres (14 Maret 1998) hanya sekitar 6 bulan, kemudian langsung dilantik menjadi Presiden (21 September 1998).
Saat Rudi (panggilan BJ Habibie) masih berusia 12 tahun, Soeharto sudah mengenal anak itu. Kedekatan Soeharto dan Habibie memang sangat istimewa. Pada sekitar tahun 1950, Soeharto pernah bertugas di Makassar. (Penulis pernah melihat rumah dinas yang digunakan Soeharto saat di Makassar). Saat itu ia sebagai Komandan Brigade yang bertugas membasmi kelompok pemberontak yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Ketika bertugas di Makassar itulah, Soeharto berkenalan dengan ayahanda BJ Habibie, Alwi Abdul Djalil Habibie, yang berdarah Gorontalo. Perkenalan ini kemudian menjadi hubungan yang akrab, terlebih ibunda Habibie R.A. Tuti Marini Puspowardojo yang berasal dari Yogya, fasih berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Oleh karenanya Pak Harto dan pasukannya yang berasal dari Jawa menjadi “nyambung” berkomunikasi dengan keluarga Habibie ini. (Penulis pernah berbincang dengan sumber dalam keluarga, kakak perempuan Habibie ada yang kemudian menikah dengan tentara dari Jawa ini).
Foto: Rudi Habibie atau Bacharuddin Jusuf Habibie (berdiri di kanan belakang) saat masih remaja, bersama ibunda, kakak dan adiknya. Di sebelahnya adalah Junus Effendi Habibie, yang kelak menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belanda.
Sayangnya hubungan akrab antara ayahanda Habibie dengan Pak Harto tak berlangsung lama. Karena ayahanda Habibie meninggal 3 September 1950, akibat serangan jantung saat sedang sujud menunaikan shalat isya. Saat ayahnya meninggal, Habibie datang menemui “Oom Harto” memberitahu musibah yang menimpa ayahnya. Pak Harto datang, lalu mengurus jenazah ayahanda Habibie. Latar belakang ini membuat Soeharto sangat terpukul, karena Habibie yang sejak kecil dikenalnya, orangtuanya akrab dengan dirinya, kemudian (dianggap) tega berkhianat pada Soeharto saat kejatuhannya, Mei 1998.
Setelah ayahanda Habibie tiada, dari Makassar ibunda Habibie membawa anak-anaknya pindah ke Bandung. Maka Rudi Habibie pun menamatkan SMA di Bandung tahun 1954. Ibunda Habibie berjuang sendiri membesarkan ke-8 anaknya (Rudi Habibie anak ke2). Untunglah ia punya koneksi dengan tentara-tentara Jawa yang dahulu bertugas di Makassar, di antaranya Soeharto dan tidak sedikit di antaranya yang kemudian menduduki jabatan penting. Sedikit banyak ini turut membangun koneksi masa depan anak-anak ibunda Habibie kelak. Tetapi terlepas dari itu, Habibie memang termasuk anak jenius. Berprestasi di sekolah, terutama sangat menonjol dalam pelajaran fisika dan matematika. Habibie hanya sempat selama 6 bulan mengenyam pendidikan di ITB, tidak sampai tamat, karena menerima beasiswa dari Menteri Pendidikan untuk melanjutkan studi di Jerman. Habibie mulai kuliah pada tahun 1955 di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen University.
Selama 10 tahun Habibie menempuh pendidikan S1-S3 di Fakultas Teknik Mesin, bidang teknik penerbangan dengan spesialisasi desain dan konstruksi pesawat terbang di Aachen. Habibie bekerja sambil kuliah. Karirnya di Jerman menanjak pesat, sebagai Wakil Presiden bidang teknologi dan Penasehat Senior bidang teknologi di Dewan Direktur di perusahaan penerbangan Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Hamburg. Soeharto yang mengetahui hal ini, dan sebelumnya telah mengenal keluarga Habibie, meminta Habibie untuk kembali ke Tanah Air. Soeharto sendiri yang mengirim nota dengan tulisan tangannya, meminta Habibie berbakti untuk Indonesia. Tenaga Habibie sangat dibutuhkan di Indonesia yang masih perlu dibangun teknologinya.
Foto: Habibie saat menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, bersama ibundanya R.A. Tuti Marini Poespowardojo.
Sebetulnya gaji Habibie di Jerman lebih tinggi dibanding gajinya sebagai Menteri di Indonesia. Namun karena Soeharto yang langsung memintanya, Habibie akhirnya kembali ke Indonesia, tahun 1973. Boleh jadi sakit hatinya Soeharto, antara lain karena merasa turut punya andil telah membawa Habibie sebagai tokoh cemerlang di Indonesia. Karir Habibie di Indonesia dimulai sebagai Menteri Riset dan Teknologi selama 20 tahun (1978-1998), di samping memimpin 10 BUMN. Kemudian Soeharto mengangkatnya sebagai Wakil Presiden, yang akhirnya mengantar Habibie ke jabatan puncak, yaitu Presiden RI.
Mungkin kalau Soeharto masih hidup, ia bisa mengatakan bahwa ia tidak menyimpan dendam. Tetapi bagi kacamata orang luar, ini terlihat sebagai dendam yang dibawa sampai mati, atau sakit hati yang tak terhapuskan.
Hubungan antara Soeharto dan Habibie yang telah retak, semakin memburuk lagi ketika Habibie membiarkan berjalannya proses hukum atas tuduhan korupsi terhadap Soeharto. Puncaknya adalah ketika Habibie memutuskan diadakannya referendum sehingga Timor-Timur terlepas dari Indonesia, padahal sebelumnya Timor-Timur mati-matian dipertahankan Soeharto sebagai bagian dari NKRI. Bagi Habibie, ia hanya menjalankan apa yang menurutnya harus dijalankan, dengan segala risikonya. Dengan tindakannya itu, kini Habibie sering disebut oleh beberapa kalangan sebagai "Bapak Reformasi".
Pada 21 Mei 1998 saat lengser, Soeharto tidak berkata satu kata pun kepada Habibie. Di bawah ini detik-detik retaknya hubungan Soeharto-Habibie, saat Soeharto berpidato pendek menyatakan berhenti sebagai Presiden dan menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie:
Assalamual’aikum warahmatullahi wabarakatuh
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Foto: Pidato mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI, Kamis 21 Mei 1998
Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.
Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003.
Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya.
Mulai ini hari Kabinet Pembangunan ke VII demisioner dan pada para menteri saya ucapkan terima kasih.
Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia. *** (Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer)
Baca juga klik: Pemimpin Berpoligami dan Nikah Siri? Inilah Tipe yang Berpotensi Memimpin Indonesia
Walentina Waluyanti de Jonge
Penulis buku “Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan”
{backbutton}