Putri Pembayun dan Khalifatullah Zaman Mataram

Penulis @ copyright: Walentina Waluyanti de Jonge - Nederland

Aura kharismatik memancar dari putri sulung Sri Sultan ini. Meskipun ia perempuan lembah lembut, namun sinar matanya menunjukkan wibawa yang kuat. Tutur katanya halus namun lugas. Ia terampil mengolah kata pada saat berbicara. Intelektualitasnya tercermin dari kehalusan berbudi bahasa dengan bahasa Indonesia yang apik. Ia terlibat dalam beberapa kegiatan sosial yang sering luput dari publikasi. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Putri Pembayun tidak representatif untuk memegang tahta Yogyakarta. Namun ternyata ada kerikil-kerikil bagi Putri Pembayun untuk menduduki tahta menggantikan ayahandanya.

putrikeraton001a

Foto: Putri Pembayun (kebaya kuning) mendampingi ibunda, GKR Hemas di bangsal Kasatriyan, Keraton Ngayogyakarta (17/10-2011), usai menghadiri prosesi siraman sehari sebelum pernikahan adiknya, GKR Bendoro.

Putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X, GKR Putri Pembayun dikabarkan sebagai Putri Mahkota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya. Dalam sistem kerajaan, menunjuk anak sebagai penerus tahta, sebetulnya lumrah saja. Namun hal ini bisa menimbulkan persoalan, jika aturan menetapkan bahwa yang harus menduduki tahta haruslah seorang pria. Dan inilah yang sedang menjadi pokok pangkal permasalahan di keraton Yogyakarta.

Dari berita-berita media, tampaknya pencalonan GKR Pembayun sebagai calon pemangku tahta Yogyakarta, diwarnai ketidak-setujuan oleh beberapa adik laki-laki Sri Sultan. Oleh karena ke-5 anak Sri Sultan semua perempuan, tidak punya anak laki-laki, maka Sri Sultan diharapkan menunjuk salah satu adiknya sebagai penerus tahta. Perempuan memegang tahta keraton Yogyakarta dianggap melanggar tradisi. Namun tampaknya Sri Sultan menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan mengangkat putri sulungnya untuk meneruskan tahta. Tanda itu sudah terlihat dengan digantinya gelar GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Gelar ini menunjukkan bahwa Putri Pembayun akan menduduki tahta tertinggi di keraton. Penggantian gelar dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, mengawali sabda Raja II pada 5 Mei 2015. Melalui sabda tersebut, Sultan mengukuhkan nama dan gelar baru GKR Mangkubumi sekaligus menandai bahwa putri sulungnya adalah Putri Mahkota Kasultanan Yogyakarta.

Mulai ada suara-suara keberatan dari kerabat Sri Sultan tentang dicalonkannya Putri Pembayun sebagai penerus tahta. Argumen ketidaksetujuan itu atas dasar bahwa Raja adalah juga pemimpin agama. Pemimpin agama di dalam Islam, berarti juga seorang “Imam”. Dan Islam tidak menganjurkan  seorang perempuan untuk menjadi imam.

Sri Sultan HB X adalah seorang Sarjana Hukum. Ia memahami mekanisme aturan hukum. Untuk mengantisipasi keberatan bahwa seorang perempuan tidak boleh menjadi imam, maka Sri Sultan menghilangkan gelar “Khalifatullah”. Jika menurut Islam perempuan tidak boleh menjadi imam, maka konsekuensinya adalah tidak diperkenankan baginya memakai gelar “Khalifatullah”. Logis ‘kan? Berdasarkan inilah, Sri Sultan menghapus gelar "Khalifatullah" dalam gelar kesultanan Yogya.

Menurut tradisi, gelar “Khalifatullah”, memang harus melekat pada seluruh Sri Sultan dari Hamengkubuwono I hingga kini. Dalam sejarah keraton Yogyakarta hingga kini, semua pemegang tahta tertinggi adalah laki-laki, belum pernah ada perempuan. Jika Putri Pembayun diangkat menjadi "Raja" (atau Gusti Kanjeng Ratu) keraton Ngayogyakarta, maka ia adalah perempuan pertama yang memegang tahta tertinggi di keraton Yogyakarta (tanpa gelar "Khalifatullah"). Gelar lengkap Sri Sultan jika memakai gelar “Khalifatullah” adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

putrikeraton002a

Foto: Sri Sultan Hamengkubuwono X dan istri, GKR Hemas dalam penobatan sebagai Raja Yogyakarta, tahun 1989 (Foto: Wikipedia)

Sri Sultan telah mengeluarkan sabdanya, antara lain ia menghapus gelar “Khalifatullah” (4/5-2015). Dengan ditiadakannya gelar “Khalifatullah” pada gelar Raja Yogya, artinya terbukalah peluang bagi perempuan untuk memimpin keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan pada beberapa kalangan dalam keraton. Konflik antar kerabat pun tak terhindarkan. Adik-adik Sultan dikabarkan enggan menghadiri Sabda Sri Sultan tadi. Tak pelak, penghilangan gelar “Khalifatullah” menimbulkan pro kontra di kalangan kerabat kraton.

Pihak yang pro berpendapat, Sri Sultan tidak salah jika menghilangkan gelar “Khafilatullah”, sebab zaman telah berganti. Bukankah ada tradisi yang sebaiknya dipertahankan, tetapi juga ada tradisi yang harus disesuaikan dengan pergantian zaman? Dengan mengadakan penyesuaian dengan zaman, maka dalam konteks kekinian, Raja adalah pemangku tata pemerintahan. Adapun pihak yang kontra mengatakan bahwa Sri Sultan tidak bisa begitu saja mengubah tradisi turun temurun. “Khalifatullah” adalah gelar yang ditetapkan oleh leluhur, berdasarkan kepercayaan tradisi bahwa Raja adalah wakil Tuhan di muka bumi.

Untuk menjembatani antara pihak yang pro dan kontra, tidak ada salahnya diketahui latar belakang pemikiran leluhur tentang mengapa Raja Mataram diberi gelar “Khalifatullah”.

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berasal dari Kerajaan Mataram. Pada masa Kerajaan Mataram dipimpin Sultan Agung, ada tradisi yang dilakukan pada setiap Rabbiul Awwal. Yaitu berbagai Bupati datang menghadap Sultan untuk menyatakan tanda setia. Ketika itu para Bupati yang datang ini dianggap mewakili daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Mataram.

Saat memerintah, Sultan Agung telah menjadi pemeluk Islam. Ia juga didampingi para penasihat Islam. Pada saat para Bupati daerah itu datang untuk menyatakan kesetiaannya, belum semua daerah itu bisa menerima Islam. Masih banyak penduduk yang menganut Hindu. Konflik antara Hindu dan Islam bisa menimbulkan masalah yang mengganggu stabilitas pemerintahan. Pada zaman itu, meskipun Raja berkuasa, ini tidak berarti bahwa Raja boleh memaksa penduduk harus menjadi Islam. Ketika itu sudah berlaku dalil bahwa dalam beragama tidak boleh ada paksaan.

Dengan mempertimbangkan nasihat dari para penasihat agama, Sultan Agung mengambil jalan kompromi. Untuk meminimalisasi konflik, maka dibuatlah agar penyelesaian masalah-masalah keagamaan dipusatkan pada satu kepemimpinan. Penyelesaian konflik diselesaikan oleh Raja. Termasuk penyelesaian konflik agama. Ini berdasarkan konsep bahwa Raja adalah “imam”. Bukan hanya pemimpin pemerintahan, Raja juga dianggap sebagai pemimpin agama.

Sesuai zaman pada saat itu, agar tidak timbul pergolakan antara penganut Hindu dan Islam, maka diterapkanlah konsep yang merupakan kombinasi antara Hindu dan Islam. Sultan dianggap sama derajatnya dengan para “Wali Songo” dan juga keturunan Nabi Adam. Raja tidak saja “Sayidin” atau Yang Dipertuan. Raja juga adalah “Panotogomo” atau pengatur agama. Sebagai kompromi dengan pemeluk Hindu, tetap dipertahankan kepercayaan bahwa Raja adalah keturunan para dewa, keturunan Arjuna dan Abimanyu. Raja tidak hanya menguasai daratan, tetapi juga menguasai lautan. Sebab itulah sampai sekarang Raja Yogya diyakini sebagai “suami” dari penguasa Laut Selatan, yaitu Nyai Roro Kidul.

Tradisi di atas tidak perlu diperdebatkan apakah benar atau tidak. Setiap zaman mempunyai tradisi dan kepercayaannya sendiri. Kini zaman telah berganti. Konflik antara Hindu dan Islam seperti dahulu kala yang mendorong Raja menyatakan diri sebagai “Khalifah”, bisa jadi dipandang tidak lagi kontekstual pada masa kini.

putrikeraton003a

Foto: Sri Sultan Hamengkubuwono X bersama GKR Hemas bersama ke-5 putri mereka. Berdiri dari kiri: GKR Bendoro, GKR Hayu, GKR Maduretno,GKR Condrokirono, GKR Pembayun. (Sumber foto: defence.pk)

Yang menarik, konflik ini malah memunculkan sosok Hamengkubuwono X sebagai pendobrak tradisi sekaligus pelestari tradisi. Kalau mau, sejak lama bisa saja Sri Sultan melakukan poligami, demi untuk mendapatkan anak laki-laki sebagai penerus tahta. Tapi toh ia tetap setia pada satu istri. Sri Sultan Hamengkubuwono X telah mendobrak tradisi sebagai Raja Yogya pertama yang tidak berpoligami… meski tanpa anak laki-laki. Sri Sultan juga berani mengembalikan pelestarian tradisi Nusantara sebelum masuknya Islam, yang sejak dahulu kala telah memunculkan perempuan sebagai pemimpin kerajaan,.

Kita tunggu saja. Apakah Putri Pembayun yang kini bergelar Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi, akan menduduki tahta keraton Ngayogyakarta Hadingingrat?*** (Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge, anggota Indische Letteren/KITLV di Leiden yang berfokus pada kajian studi sejarah).

fr wwWalentina Waluyanti de Jonge, penulis buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"

About Me

{backbutton}