Presiden Republik Century
Penulis: Walentina Waluyanti - Nederland
Rakyat mengharapkan, jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat sigap membela dirinya sendiri terkait skandal Century, maka mestinya juga sama sigapnya membela kepentingan bangsa yang lebih urgent. Yaitu nasib rakyat yang uangnya raib belum kembali hingga kini, dan juga kas negara yang menguap trilyunan rupiah entah kemana akibat kasus Century.
Presiden SBY memang seakan terkuras energinya untuk membela diri, terkait skandal bank Century. Skandal korupsi ini menimbulkan kemarahan rakyat. Dan yang paling menjadi sasaran kemarahan adalah Presiden SBY. Begitu gencarnya gempuran tuduhan terhadap keterlibatan SBY terkait skandal Century, sehingga presiden menjadi sangat cepat membela diri sendiri jika diserang sehubungan skandal Century. Ini berbanding terbalik dengan lamban dan bertele-telenya penyelesaian kasus mega-skandal ini.
Foto: Kabarnet
Jika memang ada keseriusan, dan empati keberpihakan itu ditujukan pada pembelaan rakyat, maka presiden SBY seharusnya membuktikannya melalui terobosan yang tidak bertele-tele, agar uang rakyat dan uang kas negara itu segera dikembalikan, dan para pelaku pelanggaran terkait kasus Century dihukum. Namun sampai sekarang kasus ini menggantung tanpa penyelesaian jelas. Walau ada banyak kasus yang juga belum terselesaikan, namun sederet kasus yang lain itu tetap tak bisa mengalihkan perhatian orang dari skandal Century yang memang tergolong skandal raksasa. Malah skandal raksasa ini menjadi semakin meraksasa dengan pembelaan diri SBY yang terus bergema.
Pembelaan SBY sampai Agustus 2012 lalu berpidato resmi menjawab testimoni Antasari Azhar, justru makin melekatkan citra Century pada wajah pemerintahan.
Untuk merunut awal skandal mega-korupsi ini, kita simak testimoni mantan Ketua KPK Antasari Azhar kepada Metro TV. Sampai saat ini Antasari berstatus terpidana, divonis 18 tahun penjara karena dituduh sebagai otak pembunuhan Nasrudin (tuduhan yang diduga banyak orang, ini adalah rekayasa penguasa). Antasari menyampaikan testimoninya ini dari penjara. Testimoni ini kemudian dituangkan oleh Antasari secara tertulis kepada DPR, tanggal 12 September 2012.
Dalam testimoninya, Antasari mengatakan ia dalam kapasitas sebagai Ketua KPK, diundang menghadiri rapat terbatas bersama presiden, tanggal 9 Oktober 2008. Ikut hadir dalam rapat itu adalah Ketua BPK Anwar Nasution, Kepala BPKP, Menko Polhukan, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet.
Rapat itu membahas tentang langkah mengantisipasi krisis ekonomi global, bagaimana caranya agar “rush” dalam sistem perbankan akibat krismon/krisis moneter 1998 tidak kembali terulang.
Terkait hal ini, kata Antasari, presiden menyinggung bahwa dalam krisis terkadang kita harus mengambil langkah cepat, namun belum ada peraturan yang mengatur tentang hal itu. Dalam rapat itu tidak secara eksplisit disebutkan tentang penyelamatan Bank Century. Selanjutnya Antasari menanggapi rencana presiden bahwa ia mendukung langkah kebijakan yang diambil sepanjang itu untuk melayani kepentingan umum. Namun, Antasari menegaskan, "Apabila dalam kebijakan yang diambil itu ada oknum yang menyalahgunakan dalam prosesnya, KPK bertindak!". Dan memang kenyataannya, Antasari telah menunjukkan keberatannya atas rencana Bank Indonesia untuk menyuntik Bank Indover sebanyak 4,7 trilyun, setelah rencana itu disampaikan oleh Boediono, Gubernur BI saat itu.
(Catatan: Publik menduga, sikap Antasari di atas menjadi "batu sandungan" bagi penguasa, dalam pelaksanaan kebijakan bailout Century. Inilah yang kemudian menimbulkan dugaan banyak pihak, dijebloskannya mantan Ketua KPK Antasari Azhar ke penjara adalah rekayasa kekuasaan. Terlebih setelah ada pengakuan dari Williardi Wizard mantan Kapolres Jakarta Selatan, bahwa dengan janji tidak ditahan, ia ditekan atasan untuk membuat BAP untuk menyudutkan Antasari. Williard kemudian merasa tertipu, karena ternyata ia bukan saja ditahan, tapi juga diskenariokan sebagai pelaku pembunuhan Nasrudin).
Walau dalam rapat 9 Oktober 2008 itu penyelamatan Bank Century tak disebut-sebut oleh SBY, namun secara implisit, ada dugaan bahwa tindakan menalang dana (bailout) kepada Bank Century oleh Menteri Perekonomian Sri Mulyani, adalah tindak lanjut dari pembahasan rapat yang dimaksud Antasari Azhar itu.
Foto: Inilah.com
Bank Century ini sebetulnya menurut beberapa pengamat ekonomi adalah bank kecil yang sebetulnya kalau kolaps dan ditutup, pengaruhnya tidak akan berdampak besar atau tidak berdampak sistemik, atau tidak sampai menimbulkan rush yang berarti, sebagaimana yang dikuatirkan.
Anwar Nasution, mantan ketua BPK bahkan menyatakan Bank Century adalah “pepesan kosong”. Artinya Bank Century ini terlalu kecil untuk bisa menimbulkan dampak sistemik, kalau ditutup tidak akan ada dampak besar. Bahkan lanjutnya, dulu ia pernah menutup tiga bank yang lebih besar dari Century, dan tidak ada masalah. Sementara itu Wapres Jusuf Kalla juga dengan jelas tidak setuju terhadap rencana bailout Century.
Kata-kata presiden dalam rapat 9 Oktober 2008, bahwa untuk mengatasi krisis terkadang harus diambil langkah cepat walau belum ada peraturannya (setidaknya kurang lebihnya begitu), seakan tergambar pada kebijakan penanganan Bank Century. Walau langkah penyelamatan Bank Century sebetulnya tidak beralas hukum yang kuat, namun bailout terhadap Century tetap dijalankan.
Yang aneh, Boediono tidak lagi melapori Antasari tentang rencana penyelamatan Bank Century. Padahal seminggu sesudah rapat 9 Oktober 2008, Boediono melaporkan ke Antasari ketika merencanakan suntikan dana pada Bank Indover. Apakah Boediono sengaja tidak melaporkan ke Antasari karena tahu bahwa jika melapor, mungkin tak akan mendapat persetujuan KPK? Atau ada sebab lain? Entahlah!
Selanjutnya, suntikan dana kepada Bank Century berjalan di luar sepengetahuan Ketua KPK Antasari. (Antasari tentu tak membayangkan, hanya selang kurang dari 6 bulan sejak suntikan pertama pada Century, ia ditangkap atas tuduhan pembunuhan).
Untuk mendapatkan kucuran dana itu, terlebih dahulu dikeluarkan penetapan resmi bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik, penetapan yang dinilai beberapa pengamat, terkesan dipaksakan. Jusuf Kalla yang sejak awal tidak menyetujui rencana ini, baru mengetahui setelah bailout diputuskan, sehingga tidak bisa lagi melarangnya.
Akhirnya Bank Indonesia mengucurkan Rp 689 miliar (dari Rp 1 triliun yang diminta), kemudian berkembang menjadi 6,7 trilyun, kepada Bank Century. Pemilik Bank Century Robert Tantular malah heran, yang diminta 1 trilyun, dapatnya kok 6,7 trilyun? Pencairan dana ini berlangsung sampai 16 kali, tanpa beralas dasar hukum.
Dalam perkembangannya, uang yang dialirkan ke Bank Century yang dianggap perlu diselamatkan itu, bisa diibaratkan seperti mengisi ember bocor. Uang terus diisi ke ember, tapi kok tidak penuh-penuh? Pertanggungjawaban mengalirnya uang itu, sampai sekarang tak jelas. Terlebih, sampai Bank Century ditutup dan menjadi Bank Mutiara, ternyata masih banyak nasabah yang sampai sekarang belum menerima uang mereka kembali.
Belakangan ketahuan bahwa Robert Tantular pemilik Bank Century mentransfer dana dalam jumlah besar keluar negeri serta menerbitkan surat-surat berharga fiktif.
Perbuatan Robert Tantular itu, dinilai Jusuf Kalla adalah jelas perampokan. Yang mengherankan bagi Jusuf Kalla adalah, bank ini sejak semula tergolong "bank nakal", dan sudah jelas bank itu dirampok oleh pemiliknya sendiri, tapi kenapa diselamatkan? Malah terus disuntik oleh Bank Indonesia (melalui wewenang Boediono, Sri Mulyani, dan tentu kekuatan besar di baliknya)? Karenanya ia segera meminta agar Menteri Perkonomian Sri Mulyani dan Bodiono segera melaporkan ke polisi, agar menangkap Robert Tantular, pemilik Bank Century. Namun karena Sri Mulyani dan Boediono tidak mau melaporkan, maka Jusuf Kalla langsung menelpon Kapolri dan memerintahkan penangkapan itu.
Kata Jusuf Kalla, pemilik Bank Century yang mentransfer dana dalam jumlah besar ke luar negeri dan menerbitkan SSB fiktif adalah perilaku perampok, sehingga ia protes keras mengapa Bank Century malah dibantu? Karena itu, Kalla menyatakan, tidak setuju Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memberikan dana talangan ke Bank Century. Selanjutnya Jusuf Kalla mengatakan kasus Bank Century adalah perampokan terorganisir.
Sejak semula, sebelum terjadi bailout, riwayat Century memang bank yang tidak beres. Artinya bank yang sejak awal pendiriannya memang dikelola oleh manajemen dengan reputasi buruk (untuk tidak mengatakan “reputasi bandit”). Tak masuk akal jika pemerintah tak tahu latar belakang reputasi buruk bank ini. Karena jika berbicara soal penyelamatan bank, masih banyak bank kecil lain yang memerlukan talangan dana. Namun mengapa yang menerima justru Bank Century dengan reputasi yang buruk dan tidak memenuhi syarat?
Hal tersebut menimbulkan isu bahwa bank-bank tak sehat seperti Bank Century diduga sengaja dipelihara sebagai kamuflase untuk mencari talangan dana, yang sebetulnya dialirkan untuk membiayai pilpres partai tertentu. Presiden SBY sendiri berkilah, bahwa hal ini tidak terbukti. Benarkah sangkalan SBY itu?
Sebetulnya faktanya adalah DPR sendiri tidak tuntas mengejar serta tidak membuat kesimpulan resmi atas pertanyaan “uang yang raib itu masuk ke partai mana?”. Yang disimpulkan oleh DPR bahwa kucuran dana pada Bank Century mengindikasikan adanya pelanggaran. Namun tak ada audit investigasi lanjutan yang lebih rinci. Sehingga pembelaan SBY bahwa, "Tak ada bukti dana talangan Century dimanipulasi untuk membiayai pilpres tertentu", masih perlu dipertanyakan. Karena belum ada bukti final. Belum ada investigasi lanjutan yang benar-benar tuntas (untuk tidak mengatakan terkesan “dihalang-halangi”). Tentang hambatan untuk melakukan penyelidikan kasus Century, di antaranya dikatakan anggota pansus FPG Ade Komaruddin, bahwa Menkeu Sri Mulyani menghambat proses kerja pansus. Misalnya Sri Mulyani tidak mengizinkan Ketua BPK memenuhi permintaan pansus menyerahkan rekaman dan transkrip rapat KSSK. Jika memang tidak ada pelanggaran dalam kasus Century mestinya Presiden memerintahkan untuk melapangkan jalan DPR untuk pengusutan dan investigasi, termasuk investigasi audit lanjutan yang sampai sekarang belum terlaksana itu.
Seperti bola salju, hingga hari ini kasus Bank Century bergulir semakin besar, dan banyak jari telunjuk yang mengarah pada keterlibatan SBY. Terutama setelah beredarnya surat Menteri Perekonomian Sri Mulyani yang ditujukan pada SBY tentang perkembangan bailout Bank Century secara detail. Berdasarkan surat Sri Mulyani itu, sulit dipercaya bahwa SBY tak tahu menahu tentang kucuran dana dari Bank Indonesia kepada Bank Century. SBY tetap kukuh tidak terlibat dan mengaku tidak tahu menahu tentang bail out kepada Bank Century. Namun sangkalan SBY tak bisa menafikan logika publik. Mana mungkin Sri Mulyani berani melakukan bail out Century (padahal ia tahu wapres JK tidak setuju)? Tentu Sri Mulyani berani bertindak, karena sebagai pembantu presiden, berarti keberanian tindakannya itu tentunya atas sepengetahuan atasannya yang lebih tinggi dari wapres, yaitu presiden.
Jika ternyata Sri Mulyani bertindak sendiri, tanpa persetujuan presiden, dan bailout itu terbukti jelas melanggar hukum, mengapa presiden tidak pernah mengeluarkan pernyataan memecat Sri Mulyani dan malah terkesan “menyelamatkannya” dengan membiarkannya bertugas di IMF di Amerika? Mengapa Boediono mantan Gubernur Bank Indonesia yang juga bertanggung jawab atas bailout Century, malah mendapat "hadiah" jabatan Wapres? Apakah SBY takut memecat/menon-aktifkan Sri Mulyani dan Boediono, karena ini berarti presiden mengakui kesalahannya sendiri, dan ini sama saja menyeret diri sendiri ke depan meja hijau? Wallahualam!
Menurut Bambang Soesatyo, Timwas Century DPR, publik yakin keterlibatan kekuasaan dalam kasus Bank Century. Mulai dari perencanaan, penyusunan peraturan dan UU sebagai bungkus agar kebijakan bailout Century seolah didasari aturan dan perundang-undangan serta memiliki alasan yang kuat dengan memanfaatkan situasi krisis keuangan global 2008 hingga pelaksanaan eksekusinya.
Mari kita sama-sama menunggu akhir opera sabun yang berjudul “Presiden Republik Century”. Siapakah sesungguhnya “otak” di balik skandal yang menyayat nurani keadilan ini? Betulkah kata pepatah “Gusti ora sare”? Betulkah kata pepatah Belanda yang sering dikutip pakar hukum JE Sahetapy "Sehebat apapun kebohongan itu, namun kebenaran akan mengalahkannya"? (Al gaat de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt hem wel).
Beranikah dan sanggupkah Ketua KPK Abraham Samad menebaskan pedang hukumnya kepada aktor intelektual, dan bukan pelaku di lapangan saja?
Foto: Portibi
Nasi sudah jadi bubur. Walau jajaran politisi Partai Demokrat dan presiden berkali-kali membantah bahwa ada masalah dengan Bank Century, namun rakyat telanjur kehilangan kepercayaan kepada penguasa. Terlebih BPK sebagai lembaga negara, resmi menyatakan bahwa Century Gate ini memang menimbulkan kerugian negara, dan KPK tegas menyatakan bahwa bailout Bank Century mengindikasikan adanya pelanggaran. Yang mengherankan, semua sudah terang benderang begitu, namun pemerintah terkesan masa bodoh. Lembaga hukum pun terkesan pasrah saja dikatakan sudah kehilangan taring.
Apa boleh buat. Mau dibantah bagaimanapun, citra “Presiden Republik Century” seakan sulit terhapus. Tetapi masih ada harapan, jika SBY bisa membuat terobosan untuk memecahkan masalah. Seperti kata Jusuf Kalla, "Jelaskan saja, uang 6,7 trilyun itu larinya kemana?"
Jika presiden berpendapat bahwa dalam krisis kadang diperlukan langkah gerak cepat, padahal belum ada dasar hukumnya, mengapa terobosan seperti ini tidak diterapkan dalam penyelesaian skandal Century? Mungkinkah presiden bisa menciptakan terobosan yang tidak bertele-tele, sehingga rakyat bisa memperoleh uangnya kembali, dan duit dari kas negara itu bisa dikembalikan?
Namun tentu mengembalikan uang rakyat dan kerugian negara saja, belumlah cukup, jika Abraham Samad Ketua KPK gagal mengungkap dalang di balik skandal ini!
Walentina Waluyanti
Nederland, 14 September 2012
{backbutton}