Premanisme Bernegara: Pemimpin Memelihara Penjilat
Penulis; Copyright @ Walentina Waluyanti - Nederland
Jangan berteman dengan orang yang membuatmu nyaman. Bertemanlah dengan orang yang membuatmu berkembang. Kata mutiara ini bisa ditransfer ke dalam konteks kepemimpinan. Pemimpin yang obyektif dalam menyikapi oposan, maka kepemimpinannya tangguh dan teruji. Sudah pasti, kualitasnya akan berbeda dengan pemimpin yang senang dijilat.
Pemimpin yang terbuai dan menikmati buaian penjilat, kredibilitasnya tak jauh beda dari penjilat yang mengelilinginya. Perilaku antara pemimpin dan penjilatnya setali tiga uang. Keduanya bermuara pada tujuan yang sama. Yaitu bagaimana memenuhi ambisi pribadi dan cari selamat sendiri. Kepentingan publik bukan lagi prioritas utama.
Pemimpin yang menggunakan ‘kacung’ penjilat sebagai tameng adalah pemimpin lemah. Ia sulit menerima masukan yang tak sejalan dengannya. Kritik dianggapnya serangan. Sementara itu pemimpin bukanlah malaikat yang tak bisa berbuat salah. Kadang kebijakannya juga ada yang keliru dan harus dikoreksi, demi kebaikan bersama. Namun akses untuk mengoreksi dinafikan. Terlebih jika kritik itu mengancam kepentingan pemimpin (plus penjilat) sendiri.
Tanpa kritik, pemimpin terus merasa terbuai. Dan memang si penjilat ingin terus membuai. Agar masing-masing sama-sama nyaman.
Foto: Batam Tribunnews
Ada yang berani mengkritik? Si penjilat siap pasang badan. Sambil menjatuhkan pihak yang dibidik. Kelihatannya seolah melindungi si pemimpin. Namun sebetulnya hanya bermotif melindungi kepentingannya sendiri. Praktek seperti ini nyaris mirip praktek premanisme. Sungguh tak elok jika premanisme diterapkan dalam hidup bernegara.
Ketika pemimpin dikitari penjilat dan sengaja menjadikan penjilat sebagai ‘piaraan’, maka mimpi tentang demokrasi ibarat pungguk merindukan bulan. Stabilitas hanyalah semu belaka. Dinamika, progres ke arah kemajuan demi kemaslahatan bersama terasa lamban. Kalaupun ada progres, maka penekanannya adalah demi kemaslahatan pemimpin dan penjilat.
Kondisi ABS (Asal Bapak Senang) ini tidak saja menjerumuskan si pemimpin sendiri. Juga merusak tatanan. Alih-alih pro rakyat, kebijakan yang dibuat berprioritas pada kepentingan kelompok dan golongan. Tak heran jika pembenahan di banyak bidang menjadi seret jalannya. Atau malah mandeg.
Bagaimana Anda menafsirkan kata-kata Ruhut Sitompul berikut ini? Kata Ruhut, "Kami keluarga besar Partai Demokrat, bisa sekarang begini, menikmati kemerdekaan, terima kasih Tuhan… dan Tuhan memberi berkat, ridho-nya, kepada seorang anak bangsa yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono."
Entah bagaimana orang menafsirkan pernyataan Ramadhan Pohan, Wakasekjen Partai Demokrat, "Kalau ingin bertahan di Partai Demokrat, jadikanlah SBY sebagai idola. Di Demokrat itu sederhana kok, kita orientasinya hanya kepada Pak SBY sebagai barometer, atau pun parameter dalam soal moralitas. Integritasnya juga kita masih melihat beliau di sana."
Pernyataan di atas mengingatkan pada otoritarianisme. Pemerintahan otoriter adalah kekuasaan politik yang terkonsentrasi pada satu pemimpin. Penekanan bentuk pemerintahannya berpusat pada pribadi tertentu. Kesetaraan kebebasan individu dikesampingkan. Penegakan hukum diremehkan. Ada yang berani mbalelo, maka ia ditendang. Konstitusional atau inkonstitusional? Ini urusan belakangan. Aturan dan norma dilanggar, walau caranya mungkin ‘soft’.
Konsep kepemimpinan seperti di atas mengesankan nilai norma dan etik hanya sekadar kemasan. Karena yang terpenting adalah melindungi kepentingan golongan sendiri. Dalam hidup bernegara, perilaku ini menyuburkan bibit-bibit tirani. Dan rakyat harus membayar mahal untuk semua ini. Hal seperti ini mengingatkan pada kalimat Jusuf Kalla, "Kadang kita menemukan adanya pemimpin negara yang tidak berbuat banyak untuk negaranya, tetapi malah mengambil banyak dari negaranya." *** (Penulis: Walentina Waluyanti)
Foto: JK menemui SBY di kantor presiden 16/8/2012
Walentina Waluyanti
Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"
{backbutton}