Politik SBY dan Politik Machiavelli
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Moral dan etika politik presiden jadi gunjingan. Bapak Ketua, anak Sekjen. Tadinya orang mengira tak akan mungkin SBY mempraktekkan nepotisme. Berduet dengan Ibas, putranya sendiri sebagai sekjen di panggung politik. Bukankah ini sama saja mencederai janji reformasi?
Tapi perkiraan orang meleset. Akhirnya terjadi juga sejarah baru di Indonesia. Seorang kepala negara juga merangkap sebagai ketum partai, ketua Dewan Pembina sekaligus ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Walau rangkap jabatan yang dilakukan SBY tidak menyalahi aturan hukum, namun hal tersebut menuai kritik. Kata Adnan Buyung Nasution dilansir Metrotvnews, "Hukum tidak identik dengan UU. Pelanggaran hukum itu termasuk nilai moral dan etika. Menurut saya, presiden sekarang sudah melanggar hukum. Sebab dia sudah bersumpah untuk melaksanakan UUD selurus-lurusnya. Jangan dia melanggar sendiri dengan merangkap jabatan lain.”
Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: therabexperience)
Sebagai kepala negara dengan gelar akademis, SBY tentu paham makna etika dan moral politik. Terlebih lagi SBY sendiri sebelumnya melarang para menteri untuk mengurusi partai dan harus lebih fokus mengurus negara. Namun SBY justru melanggar larangannya sendiri. Bukan itu saja. SBY juga tidak konsisten dengan menunjuk dua menterinya sebagai pengurus vital di partainya. Apapun alasannya, inkonsistensi itu sendiri mengesankan ketidak-acuhan terhadap nilai-nilai moral dan etika politik.
Ada apa dengan SBY? Mengapa SBY berani mengambil risiko dengan bertindak inkonsisten yang nota bene melanggar moral dan etika politik? Mengapa SBY terkesan tak percaya pada kader di partainya dengan memborong sekian jabatan bagi dirinya sendiri? Apakah politik dan moral bagi SBY adalah dua hal yang tak ada sangkut pautnya, seperti yang dianut Machiavelli?
Niccolo Machiavelli (1469-1527), adalah filsuf dan ahli politik dari Italia. Salah satu teorinya yang terkenal adalah bagaimana cara mempertahankan kekuasaan. Di dalam bukunya Il Principe, Machiavelli berpendapat bahwa politik dan moral adalah dua hal yang tidak saling berkaitan. Yang dikedepankan adalah raja harus sukses dalam mempertahankan kekuasaannya. Etika politik ala Machiavelli adalah bahwa segala yang baik, adalah segala hal yang dapat memperkuat kekuasaan raja.
Bagi Machiavelli, mempersoalkan legitimasi moral kekuasaan bukanlah hal penting. Yang terpenting adalah bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan. Machiavelli menginginkan negara yang kuat, sehat, dan tidak korup. Untuk menuju tujuan ini, terlebih dahulu raja harus mengamankan kekuasaannya.
Ironinya adalah untuk mewujudkan negara yang tidak korup, ajaran Machiavelli justru menawarkan cara-cara manipulatif. Jika perlu dengan menggunakan kekuatan senjata dan uang. Bahkan menurut Machiavelli, demi stabilitas negara raja boleh melalukan kekejaman, asal dilakukan dengan tepat. Bagaimana mempertahankan kekuasaan, adalah prinsip paling mendasar dalam ajaran politik Machiavelli.
Dalam mempertahankan kekuasaan, segala daya upaya dikerahkan agar kekuatan itu tetap langgeng. Kelemahan ajaran Machiavelli terletak pada point tujuan menghalalkan cara.
Niccolo Machiavelli (Foto: divinewhirlwin)
Teori Machiavelli mengabaikan kebutuhan kodrati manusia. Yaitu kebutuhan akan nilai-nilai etika dan moral sebagai nilai manusiawi, yang dibutuhkan manusia manapun sebagai makhluk berakal budi. Ini juga merupakan harapan rakyat dalam hidup berdemokrasi.
Dalam demokrasi modern, tentu tak ada yang berharap teori Machiavelli menginspirasi langkah politik SBY. Jika taktik mempertahankan kekuasaan dijadikan instrumen utama dalam berpolitik, maka timbul peluang terabaikannya politik pro rakyat. Indonesia bukanlah negara kekuasaan, melainkan negara hukum. Ini artinya akseptasi terhadap kekuasaan pemimpin tergantung pada bagaimana ia konsisten menjunjung nilai etika dan moral politik, sebagai asas paling mendasar dalam berkonstitusi.
Walentina Waluyanti
{backbutton}