Politik Itu Esek-Esek

Dilarang plagiat! Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Permainan apa yang cocok bagi yang ingin bermain kotor? Menurut anggapan kaum puritan yang doyan segala yang bersih, di dunia ini ada dua hal yang kotor. Kalau bukan soal politik, ya soal esek-esek. Politik katanya kotor. Esek-esek katanya begitu juga. Jadi politik itu sama dengan esek-esek. Keduanya punya citra negatif.

photo1-web Orang yang doyan politik, patut dicurigai. Dan orang yang doyan seks, bisa dituduh maniak. Dan kalau sudah kena tuduhan maniak, wah itu artinya orang itu sudah masuk daftar hitam. Sebegitu hitam dan kotor-kah citra politik dan seks?

Padahal tanpa politik, bagaimana bisa tercipta sebuah negara, peraturan dan pemimpinnya? Dan tanpa seks, bagaimana orang bisa lahir dan juga bisa “memproduksi orang” hingga menclok di dunia ini? Pengertian seks dalam ilmu biologi kedengaran biasa-biasa saja. Tidak kedengaran mesum seperti yang saya harapkan. Dalam ilmu biologi, secara sederhana seks diartikan proses percampuran antara sifat-sifat genetis.

Padahal saya ingin mengidentikkan seks dengan fantasi-fantasi jorok dan liar. Jadi mohon jangan salahkan seks-nya. Tapi juga jangan salahkan saya. Sepanjang fantasi saya hanya tetap dibiarkan di dunia khayal, dan tidak diwujudkan menjadi hal destruktif, maka saya belum bisa dimeja-hijaukan.

Menurut teori, politik adalah proses pengambilan keputusan bersama dalam suatu kelompok masyarakat. Seperti juga seks, perilaku berpolitik (membuat keputusan bersama) ini sudah dimulai sejak jaman primitif, sejak terciptanya sekelompok manusia.

photo2-web

Tanpa politik, tidak bisa dibayangkan bagaimana hidup bermasyarakat, bernegara dan berbangsa di atas bumi ini bisa diatur. Dan kalau kemudian dalam proses itu, ada yang main kotor, haruskah saya menyalahkan bahwa politik itu kotor?

Apa boleh buat. Seks dan politik boleh saja dijentikkan dari ujung kuku agar kuku tidak kotor. Tapi kenyataannya, ilmu pengetahuan pun mengakui, seks dan politik adalah kebutuhan manusia. Jadi seks dan politik itu setara dengan bakteri. Mau dijelek-jelekkan tapi kok penting? Ya, mirip bakteri yang bisa bikin sakit, namun juga dibutuhkan agar badan manusia bisa bertahan sehat.

Sebetulnya kenapa sih politik dan esek-esek mesti jadi kambing hitam yang dikaitkan dengan soal yang kotor-kotor? Padahal kalau mau, semua hal bahkan agama pun bisa saja dikotorkan, kalau memang dari semula niatnya sudah kotor. Contohnya banyak kan?

Mengkotorkan yang tidak kotor, adalah permainan kotor. Karena saya lagi iseng ingin bermain kotor, saya jadi tertarik ingin mengkotor-kotorkan politik dan esek-esek. Saya mencoba mencari di mana  letak kekotoran politik dan seks? Kalau tidak ketemu juga, ya harus ketemu.

Karena tidak ketemu di mana letak kekotoran politik dan seks, yang bisa saya lakukan adalah mencari-cari masalah. Masalahnya, seks dan politik itu sangat dekat dengan “godaan syaitan” yang bernama NAFSU. Nafsu kekuasaan melekat pada politik. Dan nafsu kenikmatan melekat pada seks.

photo3-web

Nafsu adalah hal manusiawi. Tetapi jika nafsu itu sudah kelebihan takaran, maka jadi lain ceritanya. Politik tidak lagi bernama politik. Dan seks tidak lagi bernama seks. Sebutannya berubah menjadi ketagihan. Dan kalau sudah ketagihan, nafsu lalu merangsek kemana-mana. Godaan NAFSU selalu bernafsu untuk mendapat takaran lebih...lebih....lebih....bahkan ketika nafsunya sudah terpenuhi pun, teruuuus saja bernafsu. Hasil akhirnya adalah tamak dan serakah.

Lebih baik saya sudahi saja permainan kotor saya ini. Saya tidak perlu menjadi politisi hanya supaya saya bisa bermain kotor. Katanya berpolitik itu adalah cara membuat keputusan, cara membuat kebijakan. Ketika saya bergaul, berorganisasi, membangun jaringan pergaulan dan membuat keputusan untuk sebuah tujuan, sebenarnya saya sudah berpolitik. Jika itu semua belum cukup membuat saya menjadi kotor,  maka yang bisa mengkotorkan saya, adalah CARA yang saya gunakan.

Konsep berpolitik seperti strategi dan pengambilan keputusan dalam jaringan pergaulan karena  tujuan tertentu, bukankah sering dilakukan setiap orang tanpa perlu politik-politikan, tanpa perlu menjadi politisi....dan tanpa perlu bermain kotor? Bukankah seks bisa dilakukan setiap orang tanpa perlu memojokkan pelakunya menjadi terdakwa pelaku mesum dan kotor?

Ah, sudahlah. Kenapa juga saya mesti mengkotor-kotorkan politik seperti pendakwa agung mengkotor-kotorkan esek-esek?

Padahal Mahatma Gandhi dengan gamblang menyiarkan bahwa berpolitik itu bisa saja menjadi “jalan suci”.

photo4-web

Jika mengingat Mahatma Gandhi, maka saya ingin membatalkan niat saya untuk “mem-fitnah” bahwa politik itu kotor. Oke, oke, memang saya tidak perlu bilang politik itu hygienis.

Saya cuma ingin bilang politik itu SATYA. Politik itu AHIMSA. Itu kata Mahatma Gandhi.

Satya, bagi Mahatma Gandhi artinya politik itu bisa dipakai sebagai alat untuk menuju kebenaran. Mahatma Gandhi anti diskriminasi. Karena itu sebagai pengacara, dia lalu memilih terjun ke politik. Sebab hanya melalui politik dia bisa membuat keputusan-keputusan yang bisa meminimalisir aturan diskriminatif.

Mahatma Gandhi juga anti kekerasan. Politik anti kekerasan Gandhi terkenal dengan nama “Ahimsa”. Baginya politik itu bisa dan harus dijalankan dengan cara-cara tanpa kekerasan. Karena itu dia memilih terjun ke politik. Karena melalui politik dia bisa mempengaruhi para pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang  menghindarkan kekerasan.

Ajaran Gandhi kemudian banyak menginspirasi politisi dunia, antara lain Nelson Mandela. Politisi dalam negeri yang saya kagumi untuk “politik putih”-nya antara lain, Bung Hatta. Jauh sebelumnya kita juga mengenal politisi yang menggunakan kendaraan politik untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu Abraham Lincoln yang gigih menentang perbudakan.

photo5-web

Niat saya untuk mengkotorkan politik menjadi tersandung setelah teringat esensi ajaran politik Mahatma Gandhi,  lurusnya gaya berpolitik Bung Hatta dan perjuangan politik Abraham Lincoln menghapus perbudakan.

Ya, esensi! Melupakan esensi tujuan politik sering terjadi. Yaitu bagaimana membuat kebijakan  demi kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama. Karena mengabaikan esensi politik itulah, sering godaan-godaan menggiurkan (uang dan kekuasaan) menjadi tak terbendung. Akibatnya juga mudah terpancing bermain kotor.

Kata pepatah Jawa, “mBuru uceng, kelangan ndeleg”.  Artinya ingin memburu tujuan besar, tapi di tengah jalan malah berhenti dan sibuk rebutan kursi. Akibatnya tujuan utama yang seharusnya diraih malah terlupakan.

Maksud memburu tujuan politik, seharusnya sasarannya yaitu BENEFIT (baca: kemaslahatan). Tapi sering melenceng menjadi perburuan ke sasaran yang keliru yaitu PROFIT (keuntungan). ***

Artikel terkait, silakan klik => Filsafat Ngana Ngono

fr wwWalentina Waluyanti

Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugo 30 Sen"

About Me

{backbutton} 

Add comment