Poligami atau Selingkuh?

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Pilih mana? Berpoligami atau berselingkuh? Dipoligami atau diselingkuhi? Ini pertanyaan khas Deddy Corbuzier. Sebelum menjawabnya, menarik juga sejenak membahas tentang poligami ini. Di Indonesia, tradisi poligami khususnya di kalangan ningrat, sudah sejak lama dipraktekkan. Raja-raja dalam sejarah Indonesia diketahui memiliki puluhan istri dan selir.

poligami1a

Foto: Sultan Pakubuwono IX, Solo tahun 1866

Di masa lampau, di kraton Solo dan Jogja biasanya ada persembahan tari untuk raja. Di saat itu raja biasa memilih  penari yang disukainya untuk dijadikan selir. Jika istri/selir raja bisa mencapai puluhan, bisa dibayangkan berapa jumlah anak-anaknya. Jadi poligami bukan hal yang asing dalam sejarah Indonesia.

Karena poligami bukan hal yang baru, kini isu poligami di Indonesia justru menjadi unik. Uniknya, karena rakyat Indonesia umumnya terbilang taat pada ajaran agama. Namun terkesan setengah hati pada poligami. Padahal poligami tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di satu pihak masyarakat agamis bisa menerima karena tak diharamkan agama. Namun di lain pihak, suara-suara penolakan terhadap poligami juga tak kalah gencarnya. Tak sedikit dari kaum Islam sendiri yang berpendapat poligami melecehkan martabat wanita. Sekali lagi, di sini uniknya. Dan ini yang membedakan antara poligami di Indonesia dan poligami di negara-negara Islam lainnya. (Catatan: Tentang Sukarno dan poligami, saya menulis lebih lengkap di dalam buku karya saya, telah beredar di Gramedia),  "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan").

Memang betul, raja-raja jaman dahulu berpoligami. Tapi sebetulnya ini tidak sama dengan poligami dalam konsep Islam yang membolehkan hingga empat istri. Ketika itu perilaku raja yang beristri sampai puluhan, dilegalisasi dengan alasan untuk memperbanyak keturunan. Ini sebetulnya alasan politis. Dengan banyaknya keturunan maka mudah menggalang kekuatan untuk menaklukkan wilayah lain. Tujuan akhirnya adalah demi perluasan wilayah kekuasaan.

Namun legalisasi di atas, bukanlah alasan utama mengapa perilaku raja itu tidak menimbulkan protes. Selain belum adanya kesadaran tentang HAM, juga ada kepercayaan tradsional. Yaitu jika perempuan diperistri oleh raja, maka ini artinya raja telah menaikkan derajat seorang perempuan. Bukankah anak yang dilahirkan juga dialiri darah bangsawan? Dan bukankah ini artinya keturunannya akan menjadi bagian dari kekuasaan yang dianggap suci itu?

poligami2a

Foto: Raja Buleleng Bali dengan putrinya, abad ke-19

Kepercayaan tadi mengalami pergeseran, seiring dengan runtuhnya banyak kerajaan serta bangkitnya liberalisme. Berkembangnya paham liberalisme di seluruh dunia, membangkitkan kesadaran tentang kesetaraan hak antar manusia. Ini mempengaruhi kultur Indonesia dalam hal memandang lembaga pernikahan.

Sukarno sang ‘raja’ modern, seolah cerminan perilaku para raja beristri banyak jaman dahulu. Namun situasi sudah berubah. Rakyat tidak lagi manut seperti jaman dulu. Perempuan juga tidak lagi pasrah seperti di masa kesultanan. Ketika Bung Karno memperistri Hartini, muncul banyak perlawanan dari berbagai organisasi gerakan wanita. Fatmawati pun tidak seperti istri-istri raja jaman dahulu yang manut saja dimadu suami. Ia memilih meninggalkan istana. Ini juga dilakukan Inggit Ganarsih ketika Sukarno menikahi Fatmawati. Inggit memaksa Sukarno menceraikan dirinya. Karena mempertimbangkan kehadiran anak-anak, Fatmawati tak pernah diceraikan oleh Sukarno sampai akhir hayatnya.

Dulu perempuan dianggap naik derajatnya jika dinikahi raja. Bagaimana di masa Sukarno? (Saya tulis tentang ini di buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan", author: Walentina Waluyanti de Jonge). Mungkin lebih tepat menggunakan istilah bangga. Perempuan mana yang tidak bangga dinikahi bapak bangsa, tokoh proklamator se-kharismatis Bung Karno? Tapi… ada tapinya. Kebanggaan seorang perempuan yang dimadu, tak peduli itu dimadu oleh seorang presiden pun, mulai dilecehkan masyarakat. Mulai timbul adanya kesadaran tentang harga diri wanita. Inilah sebetulnya benih-benih penolakan terhadap poligami, yang terus berlanjut ke masa Orde Baru.

Perilaku Suharto sangat berbeda dengan Sukarno sang Don Yuan. Walau Suharto pernah digosipkan punya skandal dengan Rahayu Effendi (ibunda mantan artis dan politisi Dede Yusuf), namun banyak pihak yang tak mempercayai rumor ini. Saya termasuk yang tidak percaya dengan gosip ini. Suharto memang banyak dituding soal KKN. Namun soal wanita? Kalaupun ada reputasi soal wanita, yang paling sensasional malah si 'Suharto Junior'. Yaitu Tommy, Cassanova Cendana, putra bungsu kesayangan Suharto. 

poligami3a

Foto: Suharto, Siti Hartinah, anak-anak, dan orangtua Tien

Pernikahan Suharto adem ayem bersama Siti Hartinah. Namun tampaknya ini berbanding terbalik dengan pejabat-pejabat di sekitar Suharto. Masih ada keresahan tentang pejabat-pejabat yang doyan kawin seperti di masa Orde Lama. Ini memunculkan ide untuk menertibkannya melalui konstitusi.

Banyak yang menyebut Tien Suharto merupakan inisiator sehingga lahirlah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.  Tien Suharto disebut-sebut kuatir juga kalau suaminya di kemudian hari tertular virus poligami. Sejak lahirnya UU Perkawinan, poligami pun turun pamor. Pegawai negeri, anggota TNI dan Polri yang ingin menikah lagi, harus mendapat ijin dari istri pertama. Melanggar ketentuan ini berarti harus siap mendapatkan sanksi. Dan tentu saja hampir tak ada perempuan yang memberi ijin pada suami untuk menikah lagi.

Kembali ke pertanyaan, "Poligami ATAU selingkuh?". Jika si penanya mengharuskan saya memilih satu jawaban saja, maka pilihan saya adalah pada kata di tengahnya. Yaitu 'ATAU'. Masih ada sambungannya, “Atau... bubar jalan saja, deh!”. Sakitnya wanita ketika diselingkuhi, sama dengan sakitnya pria ketika diselingkuhi.*** (Penulis: Walentina Waluyanti, historical book writer)

fr-wwWalentina Waluyanti
 
{backbutton}
Add comment