Penyebab Mengapa Komunis Harus Atheis
Copyright@Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Kisah komunisme vs agama, seperti kisah drama klasik. Komunisme (dianggap antagonis) berusaha menyingkirkan agama (dianggap protagonis). Secara naif, ada yang menyimpulkan hal ini ibarat peperangan, di mana kebaikan akhirnya dapat mengalahkan kejahatan. Komunisme sudah lama runtuh, dan agama tetap tegak. Tapi jangan lupa, atheisme juga tetap tegak di mana-mana.
Ini artinya ideologi (komunisme) sebagai paham/isme, mudah dihancurkan. Tapi tidak mudah menghancurkan keyakinan. Baik itu keyakinan adanya Tuhan (theis), maupun keyakinan tidak adanya Tuhan (atheis). Sementara itu, ‘komunisme vs agama’ sering dianalogikan sebagai ‘atheis vs theis’. Padahal tidaklah sesederhana itu. Mengidentikkan ‘theis vs atheis’ sebagai ‘kebaikan vs kejahatan’? Ini analogi konyol. Menyimpulkan bahwa orang tak beragama adalah jahat, kira-kira setara dengan pernyataan Karl Marx, ‘Beragama adalah immoral’.Karl Marx sendiri yang teori filsafatnya kemudian diadopsi oleh komunisme, adalah seorang yang atheis. Meskipun demkian, ajaran marxisme sama sekali BUKAN ajaran atheisme. Komunisme sebagai ideologi, juga BUKAN ajaran tentang atheisme.
Rumah Karl Marx: Penulis Walentina Waluyanti berkunjung ke rumah kelahiran Karl Marx di Trier, Jerman. Di sudut kanan atas, tampak ukiran wajah Karl Marx. (Photo by J. de Jonge)
Di luar masalah komunisme, siapapun tahu, ber-Tuhan (theis) tidak menjamin seseorang menjadi baik. Sebaliknya tidak ber-Tuhan (atheis), tidak berarti bahwa seseorang akan menjadi jahat karenanya. Orang menjadi baik atau menjadi buruk tidak selamanya tergantung pada apakah ia tidak ber-Tuhan (atheis) atau theis (ber-Tuhan). Banyak orang beragama juga membunuh dan mencuri. Dan tidak sedikit juga orang tidak beragama tapi sikapnya lebih beradab dibanding yang beragama. Banyak orang beragama secara mekanis karena turun temurun, bukan karena keputusannya sendiri. Begitu juga banyak orang tidak beragama, karena dari kakek neneknya memang sudah begitu keturunannya.
Di negara tempat saya tinggal, yaitu di Belanda, umumnya orang Belanda tidak lagi menganut agama. Coba tanya pada generasi modern di Belanda saat ini. Masihkah mereka menganut satu agama? Rasanya mayoritas akan menjawab tidak. Kalau begitu, apakah mereka atheis? Ya. Tapi jangan tanya apakah mereka itu komunis. Patut diduga jawabnya tidak. Bukan saja karena komunisme sudah dinilai usang. Namun karena umumnya mereka tak tahu/tak mau tahu, dan tak peduli apa itu komunisme. Meski bukan penganut agama, tentu saja mereka itu bukanlah penjahat semuanya, meski di antaranya ada juga yang tidak beres.
Meski banyak orang yang tidak lagi percaya adanya Tuhan, tapi di Belanda ada kesadaran tinggi tentang pentingnya toleransi terhadap agama-agama. Hampir di setiap kota besar didirikan mesjid. Bahkan ada kota yang kolam renangnya menyediakan jam khusus untuk muslimah, sehingga bebas berenang tak perlu bercampur dengan pria. Sekolah-sekolah berbasis agama (termasuk Islam), tidak dilarang pendiriannya di Belanda. Belanda sendiri adalah negara kapitalis. Jadi jelaslah, walau mayoritas penduduk suatu negara adalah atheis, namun sistem tata sosialnya tidak berarti otomatis komunis.
Diktator dan Sekjen Partai Komunis, Stalin. Di latar belakang tampak lukisan Karl Marx dan patung Lenin (Foto: comtourist)
Jika ada orang yang atheis, maka Anda bisa bertanya padanya, ‘Apakah Anda komunis?’. Karena orang atheis belum tentu komunis. Namun jika Anda komunis, maka saya tak perlu lagi bertanya, ‘Apakah Anda atheis?’. Karena komunisme itu sudah pasti (seharusnya) bersifat atheis. Jika ada komunis yang juga beragama (seperti beberapa penganut komunis di Indonesia), ini lain perkara. Meskipun komunisme dan marxisme bukan ajaran tentang atheisme, namun memang ada kaitan antara komunisme dan atheisme (bedakan antara marxisme dan komunisme). Itu sebabnya Bung Hatta mengomentari Amir Syarifuddin, "Dia terlalu beragama untuk menjadi seorang komunis". Sukarno yang sering disangka orang sebagai komunis, bahkan juga mengkritik paham komunisme karena komunisme menolak prinsip kepercayaan kepada Tuhan. (Saya menulis tentang ini di buku karya saya, lengkap dengan sumber/daftar pustaka, beredar di Gramedia Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan /Author: Walentina Waluyanti de Jonge).
Timbul pertanyaan. Sebetulnya, mengapa komunis itu harus atheis? Mengapa tidak dibikin seperti berikut: komunis dan beragama? Secara singkat dapat dikatakan bahwa komunisme berdasarkan pada ajaran filsafat materialisme dialektis dan materialisme historis. Tanpa materialisme historis tidak akan ada materialisme dialektis atau sebaliknya. Komunisme bertitik-tolak dari kenyataan-kenyataan obyektif, bukan keinginan-keinginan subyektif. Oleh karenanya di negara yang menganut komunisme, nyaris tak ada ruang gerak bagi agama.
Foto: Karl Marx & Jenny, 1869. (Sumber: Link)
Komunisme adalah ajaran tentang hak milik kolektif. Semua kepemilikan dalam negara, adalah milik bersama/komunal. Tidak boleh ada golongan yang menumpuk kekayaan untuk diri sendiri, sehingga yang lain miskin melarat. Dengan begitu diharapkan tercipta keadilan sosial bagi masyarakat. Dalam perkembangan komunisme kemudian, pemberlakuan sistem komunisme ini dikuatirkan akan bertentangan dengan ajaran agama yang sudah telanjur berakar kuat di keyakinan rakyat. Atau menurut Karl Marx, "Agama itu sudah seperti candu masyarakat". Ajaran agama dikhawatirkan bisa memengaruhi sistem sosial ekonomi, misalnya sistem kepemilikan dan dsitribusi. (Pada abad lalu di Eropa, kekuasaan Gereja yang bekerjasama dengan kaum bangsawan, sangat besar pengaruhnya dalam mengatur tatanan hidup masyarakat, bahkan dianggap menindas rakyat). Di titik ini, agama seolah adalah rival bagi sistem komunisme.
Jika melihat keadaan sekarang, mengaitkan konsep atheisme dengan tata politik/ekonomi, adalah absurd. Dulu rezim komunis di negara-negara sosialis berpendapat bahwa melalui komunisme yang bersifat atheis itu (dalam arti menjauhkan subjektivisme), akan tercipta tata sosial ekonomi yang lebih baik. Tetapi sekarang? Yang terjadi sebaliknya. Justru ketika perekonomian suatu negara terlebih dahulu terkelola dengan baik, maka ketika itulah, berangsur-angsur orang meninggalkan agama dan menjadi atheis, seperti yang terjadi umumnya di negara-negara di Eropa. (Tentu ini tidak diharapkan terjadi di Indonesia, mengingat sila ke-1 dari Pancasila). Pilihan menjadi atheis adalah bersifat pribadi, tanpa campur tangan negara. Mereka menjadi atheis tanpa perlu menjadi komunis.
Kenyataannya, di negara-negara yang perekonomiannya maju, paham komunisme justru "tidak laku". (Ini sinkron dengan pendapat Bung Hatta, dan sekarang ternyata terbukti kebenarannya). Sekarang tak perlu ada pengindoktrinasian agar rakyat menjadi atheis, namun berjuta-juta orang menjadi atheis secara "suka rela". Terutama di negara-negara yang perkonomiannya berkembang pesat dan stabil. Tampaknya orang tak lagi peduli pada komunisme, juga tak peduli pada agama, justru ketika taraf hidup mereka lebih makmur. Entah apakah ini ironi buat Karl Marx ataukah ironi buat Paus Franciscus? *** (Penulis Walentina Waluyanti de Jonge historical book writer, adalah anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren di Leiden, yang berfokus antara lain pada kajian literatur sejarah Indonesia Belanda).
Walentina Waluyanti de Jonge, About Me
Author of book Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan
{backbutton}