Pemuda 22 Tahun di Balik Peristiwa Heroik
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge
Empat hari setelah Hari Pahlawan, 14 November 1949, ada hari yang tidak lagi banyak terdengar gemanya. Dan hari tersebut identik dengan kepahlawanan seorang anak muda bernama Ignatius Slamet Riyadi.
Usianya masih 19 tahun saat ia ditunjuk sebagai Komandan Batalyon dengan pangkat Mayor. Saat itu ia baru menamatkan pendidikan di SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi). Penunjukan ini bukan saja karena keberaniannya. Namun juga karena pengetahuannya melalui ketekunan mendalami pengetahuan melalui buku-buku. Terbukti di usia muda ia sudah mampu menyusun Pedoman Gerilya I dan Pedoman Gerilya II, yang berisi strategi dan taktik dalam bergerilya.
Tiga tahun sesudahnya, ia mengukir sebuah aksi heroik. Yaitu ketika ia berhasil merebut Kota Solo dan Pacitan dan kekuasaan militer Belanda. Penandatanganan “Solo Kembali” dilakukan tanggal 14 November 1949, yaitu serah terima resmi Kota Solo dari militer Belanda (diwakili Kolonel Ohl) kepada Slamet Riyadi sebagai Komandan Brigade V TNI. Saat itu Slamet Riyadi berusia 22 tahun, berpangkat Letnan Kolonel.
Slamet Riyadi adalah Pahlawan Nasional yang berasal dari Solo. Di Solo, namanya diabadikan sebagai nama jalan pengganti jalan protokol Jalan Purwosari sepanjang lebih dari 3 km yang memanjang dari stasiun kereta api Purwosari sampai di perempatan di depan pintu gerbang keraton Solo.
Tapi sebetulnya di Jakarta masih ada lagi jejak Slamet Riyadi, dan karenanya jejaknya itu juga diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta. Sebuah tempat di Jalan Slamet Riyadi di Jakarta Timur, pernah disinggahi oleh Slamet Riyadi bersama siswa-siswa Sekolah Pelayaran, untuk berkonsultasi dan berdiskusi dengan para tokoh pejuang yang bergerak “di bawah tanah”.
Walaupun masih muda, ia mampu membuat namanya disegani, bahkan oleh musuhnya, senior yang jauh lebih tua di atasnya. Hal ini diakui secara sportif oleh musuhnya, komandan pasukan Belanda, Kolonel Ohl.
Kepada Slamet Riyadi, Kolonel Ohl berkata, “Oh, Overste tidak pantas menjadi musuhku. Overste adalah anakku, tetapi kepandaiannya seperti bapakku. Saya kagum… saya kagum.” Lalu Kolonel Kohl menjabat dan merangkul anak muda itu. Kata Kolonel Kohl selanjutnya, “Anda ternyata masih begini muda. Anda sepantasnya menjadi anakku, tetapi di lapangan kemampuan Anda jauh lebih baik dari saya.”
Foto: Kolonel Ohl dan Slamet Riyadi.
Ada satu hal yang menarik perhatian dari Slamet Riyadi sebagai anak muda berusia 22 tahun. Ternyata sebagai Komandan Batalyon yang masih muda, namun ia mempunyai idealisme yang matang dalam perjuangan. Dan idealisme ini diselipkannya dalam catatannya tentang “Pedoman Gerilya”. Pedoman Gerilya yang ditulisnya itu berisi taktik dan strategi milter dalam pertempuran.
Slamet Riyadi membuktikan bahwa dengan karakter, prinsip, dan ketekunan untuk memperdalam keahlian, kaum muda pun mampu memberi sumbangsih bagi Negara, yang membuatnya tetap dikenang sebagai Kusuma Bangsa. Sebagaimana kalimat yang kerap dikatakannya kepada anak buahnya, “Jangan ingin dirayakan sebagai pahlawan, tetapi isilah sejarah bangsa kita dengan kepahlawanan”. *** (Penulis: Copyright@Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer)
Walentina Waluyanti de Jonge
Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"
{backbutton}