Olimpiade Berdarah, Kisah Terbunuhnya 11 Atlet Israel di Munchen

Atlet11 01

Foto: Bendera Olimpiade Munchen dikibarkan setengah tiang peringati 11 atlet Israel (Sumber: Daily Mail)

Penulis: Copyright@Walentina Waluyanti

Olimpiade Tokyo telah mencetak suatu peristiwa bersejarah. Olimpiade Tokyo adalah Olimpiade pertama yang memberi penghormatan kepada 11 atlet Israel yang terbunuh dalam Olimpiade Munchen 1972.

Memang pada Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio de Janeiro, ada upacara yang dipimpin oleh pejabat Brasil dan Israel, Komite Olimpiade Internasional menghormati 11 warga Israel dan 1 warga Jerman yang tewas di Munchen. Tetapi ini dilakukan 2 hari sebelum Olimpiade, bukan pada pembukaan Olimpiade.

Pada pembukaan Olimpiade Tokyo, hadirin mengheningkan cipta untuk mengenang 11 atlet Israel yang tewas akibat serangan teroris pada Olimpiade Munchen 1972.

Mengapa memperingati korban Olimpiade Munchen 1972 dalam Olimpiade Tokyo ini disebut bersejarah? Karena moment penghormatan kepada para 11 atlet yang terbunuh pada Olimpiade Munchen telah ditunggu-tunggu oleh keluarga korban selama bertahun-tahun.

Selama 49 tahun, keluarga para korban Olimpiade Munchen ini telah meminta agar penyelenggara Olimpiade memberi penghormatan kepada para korban, melalui pembukaan Olimpiade. Tetapi permintaan keluarga para korban Olimpiade Munchen ini, tidak pernah ditanggapi.

Akhirnya melalui Olimpiade Tokyo, para keluarga korban menyatakan bahwa Olimpiade Tokyo telah memberi keadilan itu.

Ironi dari Olimpiade Munchen adalah penyelenggaranya berusaha memperbaiki sejarah kelam Olimpiade Berlin pada masa Hitler, dengan membuat tema “Happy Games”. Tapi yang terjadi malah Olimpiade berdarah. (Olimpiade pada masa Hitler, saya tulis di: Kisah Olimpiade di Bawah Kekuasaan Rezim Hitler).

Berikut ini kisah terbunuhnya 11 atlet Israel pada Olimpiade Munchen. Dari kisah ini bisa diketahui mengapa peristiwa ini disebut telah mengubah dunia.

Penyerangan Berdarah di Hunian Atlet

Munchen, 5 September 1972. Dinihari, pukul 04.30, delapan pria mengendap-endap, menyusup ke hunian tempat para atlet menginap. Mereka bersenjata senapan, pistol  dan membawa granat. Para atlet Israel sedang tidur nyenyak. Beberapa jam sebelumnya, mereka baru pulang usai menyaksikan pertunjukan musikal opera dan makan malam bersama aktormya. 

Para penyusup bersenjata itu adalah jaringan teroris Yordania-Palestina. Kelompok ini bernama “Black September”. Nama ini diambil dari peristiwa September 1970, ketika warga Palestina berusaha menggulingkan Raja Hussein dari Yordania.

Atlet11 02

Foto: Salah satu penyerang atlet di Olimpiade Munchen. (Sumber: Getty Images)

Kelompok “Black September” adalah bagian dari PLO (Kelompok Pembebasan Palestina), tapi kemudian dibubarkan oleh PLO pada 1973. Neo-Nazi Jerman Barat ikut memberi bantuan logistik kepada kelompok ini.

Saat menyusup ke hunian atlet, kelompok “Black September” berhasil membuka pintu dengan menggunakan kunci curian. Suara-suara mencurigakan membuat wasit gulat Yossef Gutfreund terbangun. Perlahan ia berjalan ke pintu, melihat apa yang terjadi.

Pintunya sedikit terbuka. Dari balik pintu, terlihat moncong senjata. Kontan, sekuat tenaga Gutfreund menahan pintu, agar teroris tak bisa masuk. Ia berteriak memperingatkan teman-temannya, “Cepat! Kalian semua lari!”

Gutfreund yang menahan pintu, melakukan tindakan heroik. Ia menyelamatkan nyawa beberapa teman agar bisa menyelamatkan diri, meskipun ia sendiri akhirnya tewas tertembak. Penghuni lain yang sempat berlari, membuka jendela dan kabur. Masih ada beberapa yang tidak sempat kabur.

Tenaga Gutfreund akhirnya kalah oleh 8 pria di balik pintu. Gutfreund dianiaya dan dilumpuhkan. Ia dan atlet lainnya digiring. Di bawah todongan senjata, mereka dipaksa mengantar pasukan teroris mencari atlet lainnya di kamar dan apartemen di sebelahnya.

Selanjutnya, di sejumlah ruangan tempat beberapa atlet menginap ini, berubah menjadi neraka mengerikan berkubang darah.

Atlet11 03

Foto: Kekacauan di dalam ruangan setelah penyerangan teroris terhadap atlet di Olimpiade Munchen (Sumber: The New York Times)

Atlet yang tersisa berusaha melawan. Pelatih gulat Moshe Weinberg meraih pisau di atas meja dan berusaha menyerang teroris. Tapi akhirnya roboh terkena tembakan. Atlet angkat besi Yossef Romano menyerang dan melukai teroris, juga tewas tertembak. Dua atlet Israel ini tewas di lokasi hunian atlet.

Ada yang berhasil lari dan lolos dari peluru, meski dikejar tembakan senapan. Di dalam dan di luar ruangan, darah berceceran di mana-mana.  Dinding ruangan penuh dengan lubang bekas tembakan.

Pasukan “Black September” mengumpulkan 9 atlet yang terciduk untuk dijadikan sandera. Mereka semua diikat di kursi atau di tempat tidur. Para sandera ini menjadi alat barter untuk memperoleh tuntutan mereka.

“Black September” menuntut pembebasan 234 tahanan Palestina. Juga 2 tahanan Jerman yaitu Andreas Baader en Ulrike Meinhof, pemimpin RAF (Faksi Pasukan Merah), organisasi teroris sayap kiri Jerman Barat yang bekerja sama dengan gerakan teror Palestina.

Selanjutnya terjadi tawar-menawar yang alot antara teroris, pemerintah Jerman dan Israel. Perdana Menteri Israel ketika itu, Golda Meir, menolak tegas tuntutan para teroris untuk membebaskan tahanan Palestina, dan menolak bernegosiasi dengan teroris. Menurut pemerintah Israel, memenuhi tuntutan teroris hanya akan menstimulasi timbulnya serangan-serangan berikutnya.

Karena negosiasi yang alot, para penyandera meminta bus yang bisa membawa mereka ke airport. Permintaan ini dikabukan pemerintah Jerman. Para atlet yang dijadikan sandera ini, dengan tangan diikat dan mata ditutup kain, kemudian ikut digiring ke airport.

Atlet11 04

Foto: Sebelas atlet korban terorisme Olimpiade Munchen (Sumber: insidethegames.biz)

Di airport, drama ini berakhir dengan 9 atlet yang dijadikan sandera tewas tertembak (2 lainnya tewas di hunian atlet), 1 polisi Jerman dan 5 penyandera juga tewas tertembak. Tiga penyandera lainnya ditahan di penjara Munchen, tapi kemudian dibebaskan ketika pesawat Lufthansa dibajak untuk menuntut pembebasan ketiga teroris ini.

Mengapa Peristiwa Berdarah Olimpiade Munchen Mengubah Dunia?

Persitiwa berdarah pada Olimpiade Munchen adalah salah satu peristiwa yang dimasukkan ke dalam buku tentang peristiwa-peristiwa yang mengubah dunia. Buku ini saya baca dalam bahasa Belanda yang berjudul “1001 Dagen die Onze Wereld Veranderd Hebben”. (1001 Hari yang Telah Mengubah Dunia Kita).

Terorisme pada Olimpiade sangat mengejutkan dunia. Terlebih untuk pertama kalinya dunia mendengar dan menyaksikan siaran langsung aksi terorisme melalui radio dan televisi. Peristiwa berdarah pada Olimpiade Munchen disiarkan oleh media selama berhari-hari, dan disebut sebagai “peristiwa terbesar tahun ini”.

Atlet11 05

Foto: Hunian atlet yang disusupi teroris. (Sumber: Wikipedia)

Kehadiran media dari berbagai negara benar-benar dimanfaatkan oleh teroris, yang memang  memerlukan publikasi. Dan Olimpiade, tempat di mana media dari seluruh negara berkumpul, adalah sarana publikasi yang ideal bagi terorisme.

Melalui televisi, kekerasan berdarah, ancaman dan tuntutan teroris disiarkan setiap hari ke seluruh dunia. Siaran ini hadir di setiap rumah dan menyebarkan ketakutan ke seluruh negara. Publik tak menyangka, Olimpiade yang menyebarkan sportivitas dalam kegembiraan dan persahabatan antar negara, bisa berubah menjadi peristiwa berdarah.

Tak pelak, dunia tersentak. Bahaya terorisme modern benar-benar di depan mata! Peristiwa berdarah ini kemudian mendorong negara-negara di dunia memperbaharui sistem keamanan untuk mengantisipasi bahaya terorisme modern.

Atlet11 06

Foto: Duka atlet Israel pada Olimpiade Munchen kembali ke negaranya. (Sumber: CNN)

Jerman, seperti juga negara Eropa lainnya ketika itu, tidak siap dan belum berpengalaman dalam menumpas terorisme internasional. Mereka bahkan belum punya pasukan khusus anti teror. Yang diturunkan untuk menangani teror ini adalah polisi biasa di Munchen yang tidak punya pengalaman dalam pertempuran ataupun penyelamatan sandera.

Tentara tidak diturunkan dalam penumpasan teroris ini, karena alasan konstitusional. Ketika itu di Jerman berlaku aturan bahwa pasca perang, angkatan bersenjata tidak  diizinkan beroperasi dalam masa damai.

Penumpasan teroris ini bahkan tidak menggunakan penembak jitu. Polisi yang ditugaskan untuk menembak adalah polisi yang biasa ikut kegiatan kompetisi menembak pada akhir pekan. Padahal kehadiran penembak jitu adalah prinsip mendasar dalam penumpasan terorisme.

Ketidaksiapan lainnya adalah para penembak tidak menggunakan kontak radio untuk mengkoordinasikan tembakan mereka dengan penembak lainnya. Senapan yang digunakan pun tidak memadai, tidak dilengkapi dengan telescopic atau inframerah. Para penembak bahkan tidak menggunakan helm lapis baja atau rompi anti peluru.

Karena penyanderaan ini disiarkan live, para penyandera juga bisa melihat apa yang terjadi di luar melalui televisi. Ini yang tidak diperhitungkan oleh polisi.

Saat polisi mengendap-ngendap di atap ingin menembak teroris, sambil menunggu kata sandi, aksinya itu disiarkan langsung oleh televisi. Sehingga ketika polisi diam-diam bersembunyi di atap, penyandera  bisa melihat langsung taktik polisi ini di televisi. Polisi itu pergi setelah diancam oleh penyandera.

Atlet11 07

Foto: Polisi mencoba menembak teroris di hunian atlit. (Sumber: AP)

Sekarang ini tak mungkin terjadi pada saat penanganan terorisme, masyarakat bisa berbondong-bondong ke lokasi untuk menyaksikan bagaimana operasi penumpasan itu dilakukan. Tetapi ketika itu, di luar pagar kompleks hunian atlit banyak massa yang berkumpul, menyaksikan dari dekat ketegangan ini.

Bahkan ketika teroris akhirnya mendapatkan mobil dan mengangkut para sandera ke airport, massa mengikuti sampai ke airport. Banyak orang bahkan bawa kursi lipat, juga berkumpul di airport untuk menyaksikan bagaimana operasi penyelamatan ini berjalan. Bagi massa, ini seolah pertunjukan penuh aksi.

Sebelum Olimpiade Munchen 1972, negara-negara di Eropa Barat belum memiliki pasukan khusus anti teror. Tapi setelah Olimpiade berdarah ini, negara-negara di Eropa Barat mendirikan pasukan khusus anti teror.

Jerman yang tak siap menghadapi serangan di Olimpiade Munchen ini, setelah persitiwa ini akhirnya mendirikan pasukan anti terorisme, disebut GSG-9 (Grenzschutzgruppe-9). Demikian pula Belanda, lalu mendirikan pasukan anti teror yang disebut BBE (Bijzondere Bijstands Eenheid).

Bisa dikatakan, Olimpiade berdarah di Munchen memicu dunia untuk meningkatkan sistem pertahanan keamanan dalam memerangi terorisme internasional.

Selain itu, sejak peristiwa Olimpiade Munchen ini, isu-isu seputar Palestina menjadi sorotan utama dalam hubungan antara negara-negara Barat dan negara-negara Arab. Hal ini tetap tidak berubah hingga kini.***

(Penulis: Walentina Waluyanti)

Sumber:

Buku: Peter Furtado, 1001 Dagen Die Onze Wereld Veranderd Hebben, Librero, 2009