Obama Pulang, Krupuk Ludes

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Ketika masih bersekolah di SDN Basuki Menteng Jakarta, Obama fasih membaca Pancasila di upacara bendera. Siapa sangka, bertahun-tahun setelah itu, Pancasila pula yang menjadi bumbu diplomasinya dengan Indonesia?  Presiden Amerika, Barack Obama telah pulang ke negaranya dan mengantongi sesuatu. Di kursi pesawat, Obama duduk lelah. Tapi jelas puas dengan kunjungan kenegaraannya ke Indonesia.

obama1-web

Rumah Obama ketika tinggal di Indonesia - Foto: Sam Yeh/ AFP

Sambutan begitu meriah. Bisa dimengerti. Nostalgia masa kecilnya ketika tinggal di Indonesia membangkitkan rasa emosional yang membuat rakyat Indonesia mengelu-elukannya. Obama tentu bahagia dengan semua itu.

Tetapi kunjungan ini tidak sekedar kunjungan nostalgia. Perasaan bahagia setelah kunjungan tadi, itu penting. Bagaimana tidak? Obama mulai ketar-ketir setelah pamornya di negara sendiri, mulai menurun terutama setelah pemilu sela. Ada begitu banyak yang harus dibenahi. Tapi yang terutama, adalah masalah kepercayaan dunia Islam yang mulai menurun padanya. Juga kepentingan untuk memulihkan  pudarnya peran Amerika di pasar dunia, yang kedudukannya mulai terancam oleh banyaknya pesaing.

Untuk sementara, Obama bisa mengantongi solusi untuk kedua masalah tadi. Buat Obama, sambutan hangat yang direguknya di Indonesia, ini bak peribahasa, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Yaitu pertama, “citra” keakraban Obama dengan Indonesia (nota bene negara dengan jumlah penduduk muslim yang terbesar di dunia), diharapkan memuluskan jalan Obama dalam lobby selanjutnya dengan dunia Islam. Foto Michelle berkerudung bersama Imam di Istiqlal, sudah mengirim sinyal, dan berbicara lebih banyak daripada foto itu sendiri.

obama2-web

Michelle dan Obama bersama Imam Ali Mustafa Yaqub (Foto: AP/Adek Berry)

Kedua, sejarah masa kecil Obama di Indonesia, diharapkan bisa  mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia. Obama tentu berharap kebijakan itu akan bisa memuluskan kepentingan perdagangan Amerika di Indonesia. Ini penting. Mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, maka jelas Indonesia adalah pasar strategis bagi Amerika. Memperjuangkan terbukanya pasar bagi Amerika di Indonesia, adalah mendesak. Dengan posisinya yang sedikit goyah, Obama mesti memenangkan hati para pelaku bisnis di Amerika.

Obama seperti juga semua presiden di seluruh dunia. Urusannya seabreg dan bikin pusing. Tapi yang signifikan bagi Obama untuk saat ini, adalah mengembalikan kepercayaan dunia Islam. Dan yang tak kalah pentingnya, melicinkan terbukanya pasar untuk produk Amerika. Kehilangan kepercayaan dunia Islam, akan membuat posisi seorang presiden Amerika, siapapun itu, bagai duduk di bara api. Kehilangan dukungan dari para pelaku bisnis di Amerika? Ini membuat presiden Amerika bak burung terbang dengan satu sayap. Bisa keok. Soalnya pelaku bisnis adalah kekuatan yang tak nampak, jika mereka dilancarkan urusannya, maka kursi presiden tidak perlu pakai bara api.

Obama adalah pemimpin muda yang mengatasi masalah-masalah kenegaraan yang membelit dengan cara khas orang muda. Gaul, santai. Padahal tekanan yang dihadapinya bukan urusan main-main.

Namun seperti orang muda umumnya, ia bisa menunjukkan kapan bisa main keras, kalau memang perlu. Tentu saja main keras bukan dengan cara primitif dan vulgar. Dia seperti tahu betul apa risiko yang harus dihadapinya, ketika berucap, “Banyak warga di Amerika, Indonesia dan belahan dunia lainnya masih menjadi target kaum ekstrimis. Saya tegaskan bahwa Amerika tidak ingin memerangi Islam. Namun kita semua harus menghancurkan Al-Qaeda dan antek-anteknya. Siapapun yang ingin membangun tak boleh bekerja sama dengan teroris.” (Pidato Obama di Universitas Indonesia, 10 November 2010).

Pencitraan, retorika, kemampuan berdiplomasi adalah “skill” yang harus bisa dimainkan secara cantik oleh seorang negarawan. Pencitraan over acting bisa menimbulkan kesan “jaim”. Pidato diplomatis yang mengawang-awang bisa terkesan “gombal”. Retorika yang berlebihan bisa terkesan “lebay”.

Obama tampaknya menyadari itu. Ia bukannya tidak menyadari kesalahannya yang membuat pamornya belakangan ini memudar. Atas kesalahannya ini, ia berkomentar kepada New York Times, “Saya pikir semua orang yang pernah menduduki jabatan ini, akan menyadari bahwa sukses ditentukan oleh kombinasi antara kebijakan dan politik, serta tidak mengabaikan arti pentingnya marketing, public relation dan opini publik”.

Dalam kunjungan kenegaraannya di Indonesia, terlihat bagaimana secara ciamik Obama mengolah unsur-unsur, seperti yang dikatakannya sendiri, “marketing, public relation, dan opini publik”. Ini tidak jauh beda dengan idiom-idiom yang akhir-akhir ini aktual di Indonesia, seperti istilah “pencitraan dan tebar pesona” demi memenangkan opini publik.

Obama telah berhasil “mepet” ke Indonesia untuk memperjuangkan sebuah kepentingan bagi negaranya. Ini sah-sah saja, selama itu masih dalam koridor kepantasan. Juga selama menguntungkan hubungan bilateral Indonesia – Amerika. Setiap pemimpin negara tentu ingin memperjuangkan target untuk negaranya. Pemimpin Indonesia tentu demikian pula. Pemerintah Indonesia tentu tidak bodoh, cuma puas dengan pujian “Nasi goreng, bakso, sate, emping, dan krupuknya enak”.

obama3-web

Foto: CTV News

Obama pulang, krupuk boleh ludes. Namun azas manfaat dari kunjungan Obama, tentu sayang kalau ludes begitu saja. Tentu orang menantikan realisasi dari kemanfaatan itu.

Semoga bola yang dilemparkan oleh Obama kepada pemerintah Indonesia, bisa dioptimalkan untuk kepentingan seluruh rakyat. Bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan saja.

Walentina Waluyanti

Nederland, 10 November 2010

{backbutton} 

Add comment