Neo-Liberalisme, Hantu Pengganti Komunisme
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Ketika komunisme dianggap sebagai ancaman, maka ideologi ini berusaha dimusnahkan. Misi ini berhasil. “Kekaisaran komunisme” di Rusia hancur berantakan. Namun ideologi baru yang memengaruhi kebijakan politik para pemimpin negara-negara di Eropa, yaitu neo-liberalisme, apakah lebih baik? Banyak yang meyakini neo-liberalisme sebagai penyebab terpuruknya beberapa negara di Eropa. Bahkan diramalkan, jika neo-liberalisme terus dipraktikkan, maka kehancuran akan melanda Uni Eropa.
Jika dahulu dunia internasional dihantui oleh ancaman komunisme, kini neoliberalism tampil sebagai ancaman baru. Tidak hanya di Indonesia saja neoliberalism ini menghantui. Di Eropa pun, neoliberalism bagaikan hantu yang siap menumbangkan negara satu per satu.
Dampak terburuk dari neo-liberalisme bisa terlihat pada krisis yang terjadi di Cyprus. Puncaknya Maret 2013 lalu, rakyat panik, dan secara massal menarik uangnya di ATM. Akibatnya semua bank di Cyprus ditutup selama hampir dua minggu. Ini belum pernah terjadi di negara mana pun sebelumnya.
Rakyat Cyprus menangis, tak bisa lagi menarik uangnya di bank (Foto: Guardian)
Krisis Cyprus sangat memukul rakyat. Banyak orang menyimpan deposito di bank dengan maksud sebagai jaminan hidup di hari tua, karena mereka tidak menerima pensiun. Namun akibat krisis, kini mereka harus merelakan deposito mereka dibekukan 40% untuk mengatasi krisis. Walau deposan dijanjikan memperoleh bunga dari dana yang dibekukan, namun bunga itu terlalu kecil dibanding kerugian besar para deposan. Tak ada yang bisa memastikan, apakah uang mereka akan kembali. Bahkan pemerintah juga tidak menjamin. Ini ibarat perampokan terang-terangan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Banyak orang jatuh miskin secara mendadak.
Cyprus senasib dengan beberapa negara di Eropa yang juga sudah mengalami keruntuhan ekonomi. Yunani, Portugal, Spanyol, Italia... namun Cyprus adalah korban terparah dari krisis ini. Dan siapakah yang paling disalahkan akibat krisis ini? Tak pelak lagi, publik Eropa menunjuk politik neo-liberalisme adalah biang keladi.
Neo-liberalisme yang dianggap sebagai biang kerok kirisis di Eropa, adalah ideologi politik yang berasal dari paham liberalisme klasik. Konsep dasar di dalam neo-lberalisme adalah deregulasi, privatisasi dan pembatasan subsidi sosial dari pemerintah. Falsafah dasarnya adalah libertarian, namun dalam bidang ekonomi. Yaitu pertumbuhan ekonomi dioptimalkan dengan cara memberi kebebasan pada sektor bisnis. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi, yang meminimalisasi atau meniadakan peraturan-peraturan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan deregulasi, maka tak diperlukan kontrol ketat dan pengaruh pemerintah, dengan maksud untuk mendorong terciptanya pasar bebas dan terbuka. Dengan demikian diharapkan para investor akan berdatangan. Sehingga tercipta pasar kompetitif yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Kebalikan dari nasionalisasi, kebijakan privatisasi/swastanisasi adalah salah satu kebijakan khas neo-liberalisme. Misalnya jika tadinya dana pensiun, kesehatan, dan pendidikan ditangani pemerintah, maka hal ini diserahkan pada badan privat/swasta sebagai pengelola.
Kebijakan privatisasi ini sangat ditentang oleh publik Eropa. Banyak menimbulkan protes dan demonstrasi rakyat. Bahkan privatisasi/swastanisasi ini juga diberlakukan bagi sumber daya alam (pertambangan, gas, dan air). Ini dirasa keterlaluan. Sehingga menuai kritik, bahwa tidak seharusnya sumber daya alam sebagai milik negara itu, diserahkan pengelolaannya ke swasta. Karena sumber daya alam yang nota bene milik negara akan sulit menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, jika dikelola oleh badan privat atau swasta.
Jelas kebijakan privatisasi ini hanya menguntungkan kepentingan sekelompok golongan saja. Kebijakan ini jelas tidak berpihak pada rakyat. Negara dipandang tidak seharusnya lepas tangan, dengan melepas beberapa sektor vital kepada swasta. Politik neo-liberalisme membuat kebijakan pro-rakyat terabaikan.
Publik menilai krisis di Eropa hanya bisa diatasi dengan cara melakukan perlawanan terhadap praktek neo-liberalisme. Say no to neoliberalism!
Protes menolak neo-lib (Foto: Gallo Getty)
Kebijakan neo-liberalisme yang mengusahakan pertumbuhan ekonomi dengan bergantung pada pasar yang mengatur dirinya sendiri, tanpa kontrol pemerintah, sama saja dengan mimpi di siang bolong. Tanpa kontrol pemerintah, ternyata sulit bagi sektor bisnis mengatur diri sendiri dengan cara menguntungkan seluruh masyarakat.
Sayangnya politik neo-liberlisme yang menghancurkan ini, justru dipakai sebagai solusi satu-satunya untuk mengatasi krisis di Eropa. Ibarat menyapu lantai dengan sapu kotor. Mengatasi masalah dengan menambah masalah. Langkah penghematan di hampir semua sektor, membuat negara semakin menindas rakyat.
Neo-liberalisme dinilai membawa kehancuran, karena hanya memberi keuntungan pada golongan kuat dan bermodal, namun membuat rakyat terutama golongan lemah menjadi semakin terpinggirkan. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin semakin miskin. Kebijakan neo-liberalisme menekankan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi, dengan melupakan aspek keberpihakan pada rakyat. Pada siapa lagi rakyat bisa berharap jika bukan pada pemerintahnya? Di manakah sebetulnya peran pemerintah dalam melindungi dan menyejahterakan rakyatnya? Inilah pertanyaan utama dari para penentang neo-liberalisme. Di Eropa, kini suara-suara menentang neo-liberalisme semakin bermunculan.
Bagaimana di Indonesia? Penjajahan ekonomi melalui neo-liberalisme tercermin antara lain dari kebijakan perekonomian misalnya perbankan, pangan, pengelolaan sumber daya alam yang dialihkan ke investor asing. Krisis pangan akibat kebijakan impor yang merugikan petani, ladang gas bumi Blok Mahakam Kaltim yang dikuasai asing; termasuk pro-kontra tentang peran Amerika dalam produksi emas, tembaga, perak di Papua; adalah contoh kecil saja.
Demonstrasi di Indonesia menentang Neo-Lib (Foto: Kaskus)
Perekonomian adalah urat nadi negara. Dan ketika negara menyerahkannya ke tangan cukong, disertai ketidak-acuhan (bahkan ketidak-berdayaan) pemerintah, maka sesungguhnya kedaulatan negara itu sudah nyaris hilang. Ambruknya negara akibat penjajahan ekonomi, akhirnya akan membuat negara terpaksa tunduk pada satu kekuatan. Dan kekuatan itu tak lain tak bukan adalah kekuatan pemilik modal. *** (Penulis @ Copyright: Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer)
Baca juga, klik:
Penyebab Mengapa Komunis Harus Atheis
Berkunjung ke Rumah Karl Marx di Jerman
Walentina Waluyanti de Jonge
Author of book Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}