Negara Gombal
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Negara gombal. Begitulah namanya. Jangan memintaku menunjuk di peta di mana letak negara ini. Karena saya lebih bisa menjelaskan falsafah dasar dan situasi negara ini. Di negara ini, siapa saja yang melanggar prinsip-prinsip dasar falsafah gombal, maka akan kena sanksi.
Di negara gombal situasinya mesti dan harus ideal dengan slogan: adem ayem, tentrem, kerto raharjo. Situasi adem ayem ini disukai bukan karena mesti begitulah situasi ideal sebuah negara. Tetapi yang disukai sebetulnya hanyalah slogan-nya saja. Karena slogan itu dianggap slogan gombal terbaik yang pernah ada.
Namanya saja negara gombal. Jadi yang menjadi falsafah dasar negara ini yaitu asas-asas pergombalan.
Pokoknya semua harus setia pada prinsip dasar gombal. Tak ada hari tanpa gombal. Segala urat nadi kehidupan berdenyut dengan detak yang berbunyi: gom....bal......gom......bal.....gom....bal. Begitulah bunyinya.
Karena namanya negara gombal, maka tak ada tempat bagi ketulusan dan kejujuran. Siapa yang coba-coba berlaku tulus dan jujur maka akan di-cap sok tulus dan sok jujur.
Jangan coba-coba bilang "ai lap yu" dengan getaran mesra dan sinar mata yang tulus apalagi pakai tambahan kata "pull". Selain itu bisa membuat rese lingkungan, juga bisa menimbulkan kemuakan penduduknya. Katakanlah itu segombal mungkin dengan wajah yang memble dan blo'on kalau perlu sambil nge-lap sepatu butut.
Penduduk negara gombal mulai muak dan merasa geli dengan ungkapan cinta verbal yang dianggap garing itu. Segala yang garing tidak punya hak hidup di negara gombal, selain buat yang "melempem". Orang mudah merasa pengap dengan yang garing. Kepengapan itu perlu dihilangkan dengan sesuatu yang berkesan "non hipokrit". Orang ingin pengakuan dari lingkungannya bahwa dirinya "tidak hipokrit". Sebagai kompensasinya, orang menjadi gemar pada pengungkapan serba vulgar.
Anda tidak perlu berkilah dengan mengatakan, "lho bukannya hipokrit atau tidak hipokrit itu ditentukan oleh jujur tidaknya kita mengungkapkan ekspresi kita yang sebenarnya? Tidak perduli apakah itu vulgar atau non vulgar - bukan karena sekedar ikut arus?
Di negara gombal, terjadi degradasi makna.
Makna lugas, tegas, tangguh menjadi kabur maknanya. Penduduk negara gombal menginterpretasikannya menjadi vulgar, kasar, tajam dan sarkastis dalam mengungkapkan sesuatu. Di negara gombal, konon itulah yang dinamakan jujur dan terus terang.
Pengungkapan yang sopan, halus, tenggang rasa disertai tata krama justru diragukan kejujurannya. Dianggap membelenggu kebebasan. Menggelikan. Dicurigai. Mungkin ada udang di balik bakwan. Kelemah-lembutan identik dengan kelemahan. Walaupun kelemah-lembutan sering justru menyimpan kelugasan, ketegasan dan ketangguhan yang terkendali.
Pengungkapan sederhana seperti ucapan "love" dianggap terlalu suci untuk level kejujuran manusia biasa. Mana ada sih manusia jujur? Begitu kata penduduk negara gombal. Sehingga ucapan "love" yang kedengaran culun itu, bisa bermakna "gombal".
Mungkin penduduknya bukannya muak terhadap cinta tulus. Tapi di negara gombal, ketulusan dan kejujuran sudah nyaris punah eksistensinya.
Jangan coba-coba serius memuji seseorang bahwa dia manis dan cantik. Pujilah sesorang dengan kata "kamu cantik deh.....tapi sorry lho ini cuma gombal. Sebetulnya aku ingin bilang cakepan Tukul daripada kamu". Di negara gombal, mungkin lebih baik memuji seseorang sebagai "ketukul-tukulan" daripada "ketulus-tulusan".
Kalau coba secara tulus memuji seseorang, maka akan kena tuduhan subversif yaitu "penganut isme tulus". Tulus. Paham ini dianggap bahaya laten di negara gombal.
Jangan coba-coba menyebut kata "persahabatan yang tulus". Ditanggung itu bisa mengundang senyuman sinis sebagaimana layaknya senyuman terhadap seorang pembohong.
Mungkin orang-orang lebih percaya kalau anda mengatakan "kukirimkan padamu setumpuk rayuan gombal sebagai tanda permusuhan kita".
Dengan demikian, tanpa mengirim setumpuk euro-pun, anda akan mendapat pujian dengan tepukan di bahu. Ini kalau anda haus pujian lho!
Namanya saja negara gombal. Maka perilaku yang dipuja adalah sinisme, saling curiga-mencurigai, sindiran, pura-pura dan basa-basi.
Anda akan melihat betapa ke-sinis-an menjadi budaya. Anda akan melihat betapa orang-orang mencoba tersenyum sesinis mungkin. Karena itulah senyum yang dianggap senyum termanis. Tidak perlu pakai lesung pipit. Cukup dengan sejumput sinisme, senyuman anda sudah kelihatan menggemaskan.
Anda tidak perlu menyusun kata-kata semanis mungkin. Karena itu akan sia-sia saja. Soalnya setiap kalimat anda akan diselidiki maknanya dengan penuh kecurigaan. Jadi buat apa capek-capek berkata dengan manis? Toh, kalau anda berkata dengan manis dan tulus tetap saja dicurigai.
Hampir tak ada tempat bagi makna eksplisit. Setiap kalimat akan diterjemahkan secara implisit plus bumbu curiga.
Di negara gombal, orang takut bersikap jujur dan tulus. Orang lebih suka berkata gombal, karena kalau anda berkata tulus dan jujur maka anda akan mendapat hukuman. Sanksi itu bisa berupa cemoohan maupun ditertawai bareng-bareng oleh penduduk seisi negeri. Bising kan?
Di negara gombal, orang lebih percaya pada kesimpulannya sendiri. Orang lebih percaya pada prasangka dan kecurigaannya sendiri.
Akibatnya penduduk negara gombal kehilangan spontanitas-nya untuk bisa bereaksi secara tulus. Mereka takut ditertawakan. Mereka takut dijadikan obyek bulan-bulanan dan ejekan. Mereka takut menyampaikan pujian secara jujur. Nanti bisa dituduh cari muka.
Mereka takut menyatakan dan menerima cinta secara tulus. Karena ketulusan dan kejujuran cinta mungkin terlalu sakral untuk bisa dipercaya. Orang lebih percaya pada ungkapan kebencian dan ungkapan tidak suka.
Orang menjadi takut untuk menyampaikan persahabatan secara tulus. Orang lebih suka menjalin persahabatan basa-basi. Buat apa menyampaikan persahabatan secara tulus? Tidak ada gunanya. Mau jungkir balik setulus apapun, persahabatan anda tetap saja dituduh persahabatan basa-basi.
Dimana-mana hanya terdengar lenguhan pesimisme, apatisme, curiga, keluhan ketus, sindiran dan sinisme gombal.
Di negara gombal, orang tidak lagi percaya pada harapan-harapan indah dan segala hal yang baik dan positif. Karena orang lebih percaya pada pretensi dan pamrih di balik segalanya.
Jangan salah!
Penduduk negara gombal tidak sedang menderita penyakit apatisme stadium akut.
Bagi penduduk negara gombal, apatisme bukanlah penyakit. Karena sesungguhnya penduduk negara gombal adalah penganut paham apatisme sejati!
Mungkinkah karena sudah muak dan bosan, akibat terlalu banyak disuguhi (mungkin juga menyuguhi) kemunafikan, kebohongan, pura-pura dan basa-basi?
Tak heran, akibat dari semua akumulasi itu, sehingga kejujuran dan ketulusan menjadi tak bermakna dan malah dicurigai.
Di negara gombal, Pak Jujur dan Bu Tulus harus menjadi makhluk konyol dan gombal!
"So what?", begitu komentar Pak Jujur. Dan diimbuhi oleh Bu Tulus, "gitchu lhooo!".
Walentina Waluyanti
Nederland, awal tahun ajaran baru 2009
********
Sapaan-ku terkirim buat teman-teman: AB, Anoew, Ariana, Arita, Bagong, Bejan, Bernadette, Burpit, Butet, Caridaki, Cranery, Datuk M, Daveena, Dch, Dewi Aichi, Dewi Meong, Des, Dj Mas, Elnino, ET, Eve SG, Fabiola, Farvel, Fatso, Fire, Grace, Handuk, Hatchi, Iif, Ilhampst, Iwan Satyanegara Kamah, Jhony Lubis, Juwita, Kaykay, Kembang Nanas, Kinanthi, La, Lasary, Lielie, Lilin, Linda, Little Wiltshire, LRD, Luien, Malces, Mama Rama, Margaritha, Minten, Natya, Nieky, Night, Nonsy, Nuchan, Nuni B, Ocha, Paspampres, PDD, Penthil, Piper, Plux, Ratih, Reef, RF, Rosda, Ryan Tho, Ryu, Saras, Shila, Sierli, Sirpa Bang, Srikandi, SU, Sri Rum, Suika, Sumonggo, Sunny, Sun Rise, Tania, T. Moken, Topan, Twinsmom, Tya S, Vera, Viena, Wahnam, Wati-Jerman, Wyd, Yuka, Yunisa, tak lupa Cy-Z en Tejo-Surti.
Selamat berkarya!