Dilarang plagiat! Artikel ini telah dimuat di Kompas.com dan Kompasiana.com

Mengapa Harmoko Begitu Istimewa bagi Soeharto

Harmoko01

Foto: Harmoko dan Soeharto. (Sumber: cnnindonesia)

Berijazah SMA, mendirikan koran kuning, masih muda, namun ia punya potensi yang membuatnya dilirik oleh Soeharto. Apa yang membuat Harmoko begitu istimewa bagi Soeharto?

Meskipun bukan sarjana, Harmoko pernah menduduki sejumlah jabatan penting, sebagai Ketua PWI, Ketua DPP Golkar, Menteri Penerangan dan Ketua DPR/MPR.

Khusus untuk jabatan menteri, prestasi Harmoko adalah ia menduduki jabatan Menteri Penerangan ini selama tiga kali berturut-turut dalam kabinet pemerintahan Soeharto.

Dengan sederet jabatan penting yang dipegangnya meskipun berbekal ijazah SMA, tentu Harmoko bukan orang sembarangan, setidaknya di mata Soeharto.

Harmoko juga dikenal sebagai salah satu orang kepercayaan Soeharto. Di dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", Harmoko menceritakan kedekatannya dengan Pak Harto.

Di luar kegiatan formal, Pak Harto biasa mengajaknya bepergian, misalnya memancing ikan. Bahkan Harmoko menceritakan ia melihat sendiri bagaimana Ibu Tien mengulek sambal di cobek yang lebar, saat makan bersama. 

Dari segi personaliti, Harmoko sendiri mempunyai pembawaan supel dan menyenangkan. Orang Jawa bilang ia "semanak", ramah dan mudah akrab pada orang lain, murah senyum.

Saat berbicara, ia pandai mengolah kata-kata. Sebagai wartawan, ia memang mudah bergaul dengan segala kalangan.

Harmoko bukan hanya wartawan. Ia juga adalah seniman. Pada awal karirnya tahun 1960, ia juga bekerja sebagai kartunis, di samping wartawan. Kartunis adalah seorang seniman yang dituntut untuk selalu berpikir kreatif dan kritis.

Harmoko kritis? Begitu kata Anda meragukan. Bagaimana mungkin Harmoko yang begitu rapat hubungannya dengan Soeharto bisa bersikap kritis terhadap pemerintah?

Bukankah jurnalisme itu harus netral? Untuk menjaga netralitasnya, bukankah jurnalisme itu tidak semestinya menjilat ke atas? Lalu di mana peran social control dari jurnalis, kalau ia menjadi lumpuh, tak kuasa untuk mengkritik pemerintah?

Nah, inilah paradoksal yang menarik. Ada beberapa catatan menarik tentang Harmoko yang membuat Soeharto mendapuknya dengan peran penting di panggung politik Indonesia, di antara jajaran teknokrat di rezim Orde Baru.

Harmoko Memulai Karir sebagai Wartawan Kritis pada Era Orde Lama

Pada masa Orde Baru, posisi Harmoko mungkin saja membuatnya sulit untuk mengkritik Soeharto. Tetapi pada era Orde Lama, Harmoko justru memulai karirnya sebagai wartawan yang berani mengkritik, tapi bukan mengkritik Soeharto, melainkan mengkritik musuh Soeharto.

Siapa lagi musuh Soeharto kalau bukan rezim Orde Lama? Orang-orang yang berani menghantam Sukarno inilah yang dibutuhkan oleh Soeharto.

Di dalam buku "Sejarah Pers Indonesia" ditulis oleh H. Soebagjo I.N. (Dewan Pers, 1977) ditulis bahwa sesudah peristiwa G30S, saat Sukarno masih memegang kekuasaan di Jakarta, telah terbit harian API, Kami dan Trisakti. Harmoko ketika itu bekerja sebagai wartawan API. Menurut H. Soebagjo I.N., koran-koran tadi berani mengupas kebejatan dan kebobrokan Orde Lama dengan segala aspek dan seginya.

Karena keberanian mengkritik, Harian API pernah didatangi pasukan Cakrabirawa dan memaksa penghentian penerbitannya.

Pada masa Soeharto, organisasi vital seperti PWI, dipastikan dipimpin oleh orang yang loyalitasnya kepada pemerintah tidak diragukan. Maklum, Orde Baru dimulai dengan pembersihan terhadap unsur-unsur komunisme dan propaganda bahaya laten komunisme. Sehingga loyalitas terhadap kebijakan Orde Baru sangat dibutuhkan. Dari segi loyalitas, ditambah lagi anti komunis, Harmoko memenuhi kriteria ini.

Harmoko adalah Wartawan Sekaligus Organisatoris

Tidak banyak wartawan yang mempunyai dua keterampilan sekaligus. Yaitu keterampilan manajerial dalam mengelola organisasi sekaligus keterampilan menulis. Keistimewaan Harmoko adalah ia dapat menggabungkan kedua keterampilan ini secara optimal.

Dengan latar belakang sebagai pengkritik rezim Orde Lama, Harmoko kemudian masuk ke dalam partai politik. Dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", ada biodata Harmoko yang ditulis, yaitu sejak tahun 1960-an, Harmoko adalah anggota Tim Media Massa DPP Golkar.

Jauh sebelum menjadi Ketua PWI, Harmoko adalah Sekretaris PWI Jaya pada akhir tahun 1960-an. Ketika itu Ketua PWI masih dijabat oleh Mahbub Djunaedi, dan Ketua PWI Jaya dijabat oleh Zulharmans.

Ketika duduk sebagai pengurus PWI Jaya tahun 1960-an, Harmoko telah menjadi anggota Golkar. Pada Pemilu pertama yang diadakan pada masa Orde Baru, bisa ditebak, pemenangnya adalah Golkar. Sebagai anggota Tim Media Massa DPP Golkar, sejak itulah karir Harmoko perlahan-lahan mulai menanjak.

Bisa dikatakan, keterampilan Harmoko dalam berorganisasi sekaligus wartawan, yang sudah dimulainya sebelum ia berusia 30 tahun, menjadi penentu masa depannya di kemudian hari.

Harmoko dan Strategi Pendirian Koran Kuning 

Harmoko tadinya adalah wartawan kritis pada masa Orde Lama. Korannya berani menelanjangi Orde Lama, hingga diberangus oleh Orde Lama. Karena itu, Harmoko tentu tahu betul alasan mengapa dari koran kritis ia beralih mendirikan "koran kuning".

Pada tahun 1970, Harmoko dan kawan-kawannya mendirikan koran Pos Kota. Target pasar dari korannya adalah kalangan menengah ke bawah.

Pos Kota mempunyai ciri pemberitaan yang khas. Belum membaca isi beritanya, judulnya saja sudah sensasional. Saat tukang koran yang berdiri di pinggir jalan menawarkan koran, si tukang koran bukan berteriak "Koran..!!! Koran...!!!"

Tukang koran cukup meneriakkan judul-judul dari koran Pos Kota itu. Misalnya, "Mayat Dikarungi! Kepala Dipenggal! Tangan Kaki Putus!" Atau tukang koran berteriak "Taksi Dirampok! Kepala Sopir Dimartil!" 

Mendengar teriakan ini saja, pembeli berdatangan. Pos kota pun menjadi koran yang sangat laris, dengan tiras surat kabar harian tertinggi di Indonesia.

Selain berita kriminal, Pos Kota juga menampilkan berita-berita gosip selebriti pada masa itu dengan foto-foto yang seronok. Pada awal tahun 1970-an, berita-berita sensasional seperti ini adalah sesuatu yang baru di Indonesia. Sehingga tentu saja sangat menarik perhatian masyarakat.

Target pembaca dari kalangan menengah ke bawah ketika itu jauh lebih besar jumlahnya dibanding jumlah kalangan atas. Dan kalangan menengah ke bawah inilah, dari segi jumlahnya saja sudah bisa membawa profit. 

Untuk menarik perhatian, koran ini dibuat mencolok dari segala segi. Judul mencolok, isinya kisah sensasi. Tata letaknya juga mencolok, sengaja dibuat tak beraturan. Pajangan foto-foto menarik perhatian dengan judul yang menggunakan huruf-huruf berukuran besar.

Keberanian Pos Kota tampil seronok ketika itu, disinggung di dalam buku "Sejarah Pers Indonesia" ditulis oleh H. Soebagjo I.N. (Dewan Pers, 1977). Buku ini menyentil tentang iklan koran ini ketika itu, yang dinilai menampilkan gambar porno. Yaitu iklan Metropolitan Night Club tentang Miss Belanda dan Miss Josephine yang hampir telanjang. 

Dengan tampilannya itu, maka Pos Kota pada masanya pernah dijuluki sebagai koran kuning. Koran kuning menurut KBBI adalah surat kabar yang sering kali membuat berita sensasi. Koran kuning dikenal juga dengan istilah jurnalisme kuning (yellow journalism). Ini adalah jenis jurnalisme yang menggunakan teknik melebih-lebihkan peristiwa atau berita, berisi scandal-mongering (gosip dan rumor) atau sensasionalisme.

Perlu diingat, "koran kuning" ini didirikan oleh Harmoko saat ia telah menjadi tim media massa dari sebuah partai politik, yaitu Golongan Karya.

Dalam dunia politik, jurnalisme yang berisi sensasi ini biasa digunakan sebagai alat "pengalihan isu".

Taktik pengalihan isu dalam dunia politik, sudah dikenal sejak zaman Romawi kuno. Penyair Romawi, bernama Juvenal menyebut taktik ini dengan istilah "panem et circenses".

Arti "panem et circenses" adalah "roti dan permainan". Roti dan permainan ini adalah simbolisasi dari "kesenangan, hiburan, entertainment".

Taktik berikanlah "roti dan hiburan" (kesenangan) pada rakyat, diterapkan oleh Julius Caesar dalam pemerintahannya. Jika rakyat memperoleh hiburan, diharapkan rakyat bisa menjadi senang dan tenang. 

Perhatian mereka dialihkan pada hiburan itu, sementara diam-diam pemerintah terus menancapkan kekuasaannya agar semakin kuat. Ini sekaligus untuk meredam gejolak yang mungkin timbul akibat kebijakan politik. 

Dengan melahap berita-berita sensasi setiap hari, rakyat melupakan isu-isu substantif dalam kehidupan bernegara. Orang hanya melihat masalah-masalah yang dangkal, masalah di permukaan saja. Ini membuat rakyat terbiasa untuk kurang kritis dalam menilai isu nasional yang lebih mendalam dan krusial.

Bagaimanapun, harus diakui, Harmoko juga menggagas kegiatan yang tetap dikenang dan banyak dipuji, yaitu terbentuknya Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa).

Tentu saja jurnalisme tidak berarti harus berkaitan dengan hal-hal yang mengernyitkan dahi. Fungsi pers selain sebagai sarana edukasi, juga sebagai sarana menghibur, tanpa perlu menimbulkan dampak kedangkalan berpikir bagi pembacanya.***

(Penulis: Walentina Waluyanti)

Add comment