Margareth Tatcher, Diorbitkan Musuh Bebuyutan
Penulis: Walentina Waluyanti - Nederland
Banyak yang menyangka julukan Wanita Besi itu karena suksesnya menjadi Perdana Menteri. PM wanita pertama di Inggris. Padahal 3 tahun sebelum menjabat PM, gelar The Iron Lady telah melekat pada Margareth Tatcher di tahun 1976.
Dalam politik, imej bisa menjadi senjata tangguh. Terlebih jika imej itu positif, dan tepat menggambarkan politisi yang bersangkutan. Garis politik Maggie yang konsisten, kuat, tak ragu-ragu, membuatnya cocok menyandang gelar Iron Lady. Dan karakter ini pula yang membuatnya cocok dan kompak dengan Ronald Reagan. Keduanya hampir selalu sejalan dalam segala hal, terutama dalam hal tekad meruntuhkan “kekaisaran jahat” (istilah Reagan), yaitu komunisme Rusia.
Ronald Reagan & Margareth Tatcher (Foto: ANP)
Margareth Tatcher masih menjabat sebagai Ketua Partai Konservatif Inggris, ketika sebuah gebrakan tiba-tiba muncul, yang kemudian menentukan eksistensinya di percaturan politik dunia.
Gebrakan yang menentukan jalan hidup politiknya ini datangnya justru dari pihak yang selama ini dikecamnya. Kecamannya terhadap komunisme yang ingin mendominasi dunia, membuatnya menjadi sorotan pers Rusia
Wartawan Tentara Merah, Yuri Gagrilov, adalah orang yang pertama kali memberi gelar “wanita besi” pada Margareth Tatcher. Gelar itu ditulisnya di reportasenya tentang pidato Margareth Tatcher di koran Uni Sovyet, Red Star. Wartawan Rusia itu menggambarkan Mrs. Tatcher sebagai Iron Lady, karena pidatonya yang kerap mengecam sosialisme Rusia dan mengkritik kelemahan pertahanan NATO.
Margareth Tatcher jeli menangkap tulisan wartawan itu. Gelar Iron Lady itu tak dibiarkannya berlalu begitu saja untuk kemudian dilupakan. Di tahun 1976 itu juga, ia menanggapi gelar “Wanita Besi” itu. Dalam sebuah debat politik, ia mengatakan, “Saya berdiri di hadapan Anda dalam gaun Tentara Merah. Wajah saya dirias tipis, rambut saya berombak lembut, inilah “Wanita Besi” dari dunia barat.”
Seakan ingin menegaskan kekuatannya, ia melanjutkan kalimatnya dan menggambarkan dirinya, “…seorang pejuang Cold War, seorang seorang gerilyawan Amazon, bahkan saya juga seorang pembuat plot Peking. Apakah saya termasuk di antara semua sebutan tadi? Ya, ya...! Saya seorang Wanita Besi! Bagaimanapun, tidak begitu buruk menjadi Iron Duke, selama itu dimaksudkan sebagai penghargaan untuk klaim pembelaan saya atas nilai-nilai dan elemen kebebasan, sebagai pendekatan terhadap kehidupan.” Demikian Maggie akhirnya mengukuhkan sebutan itu, seolah memang setuju atas baptis dirinya sebagai “Wanita Besi”.
Secara tak langsung, gelar Iron Lady dari wartawan Tentara Merah itu telah mengorbitkan dirinya dalam posisi diperhitungkan. Tiga tahun setelahnya partainya menang, yang mengantarnya ke puncak sebagai Perdana Menteri.
Salah satu yang dikenang dunia barat dari Maggie adalah andilnya bersama Ronald Reagan saat mengakhiri Perang Dingin dengan Rusia. Tentang Presiden Rusia Mikhail Gorbachev saat itu, dikatakannya “I like Mr. Gorbachev, we can do business together.”
Mikhail Gorbachev & Margareth Tatcher (Foto: economist)
Ironis, predikat Iron Lady diorbitkan oleh musuh di lain negara, dan di negara sendiri kematiannya justru dirayakan oleh mayoritas rakyatnya yang selama ini memusuhinya.
Media memberitakan bahwa rakyat Inggris berpesta merayakan kematian Iron Lady. Ia dibenci karena dianggap telah menggoyahkan persatuan Inggris. Politiknya, neo-liberalisme dianggap merusak tatanan, dan mempengaruhi perjalanan politik Inggris hingga kini. Publik Inggris belum bisa melupakan tindakannya memprivatisasi perusahaan pertambangan nasional. Beberapa kebijakan ekonominya dinilai membawa dampak jangka panjang. Sehingga Maggie dianggap paling bertanggung-jawab atas kemunduran Inggris sekarang. Masa pemerintahannya diwarnai dengan masalah pengangguran yang tak terpecahkan, lebarnya jurang antara si kaya dan si miskin, yang hingga sekarang terasa dampaknya. Yang kaya bertambah kaya, dan yang miskin bertambah miskin.
Walau dibenci, namun tak sedikit juga yang mengaguminya. Dibenci, tapi ia adalah PM Inggris dengan masa jabatan terlama. Ini saja sudah merupakan prestasi tersendiri. Wanita bisa bertahan begitu lama di dunia politik yang nota bene dianggap hegemoni kaum lelaki? Kemampuannya mempertahankan jabatan selama 3 kali berturut-turut, di tengah suhu politik yang tak mudah, memperlihatkan dua sisi Maggie. Dibenci sekaligus dicintai. Maka gelar The Iron Lady memang layak untuknya.
Walentina Waluyanti
Nederland, 8 April 2013
{backbutton}