Mama, Kok Ada Batik di Kamp Nazi? (Perbedaan Itu Kodrat Hidup)
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti
Catatan penulis: Tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan Jejak Tawanan di Kamp Nazi
Biasanya setiap tahun kami berkunjung ke Indonesia. Kesempatan ini sekaligus saya gunakan untuk melakukan wisata budaya dan sejarah di daerah-daerah di Indonesia. Dengan mengapresiasi ragam budaya itu, saya berharap anak lebih bisa menghargai perbedaan, dengan tidak melupakan akar budaya asal-nya.
Sambil menunggu jadwal ke Indonesia, kami menyempatkan menggunakan waktu luang bersama anak jalan-jalan ke sebuah tempat historis di sebuah desa di Belanda, yaitu di desa Hooghalen, propinsi Drenthe.
Foto: Kamp Westerbork di Hooghalen, Belanda
Dalam perjalanan, saya, suami, dan anak berbincang tentang perbedaan dan keragaman budaya. Saya berpendapat, manusia boleh tidak suka pada budaya tertentu. Namanya manusia, suka atau tidak suka, adalah manusiawi. Namun ketidak-sukaan tidak perlu berlebih-lebihan hingga menimbulkan kebencian. Dan akhirnya mengaburkan hati nurani dan akal sehat, dan contoh itu di antaranya terlihat jejaknya di kamp yang kami saksikan ini.
Perbedaan, tanpa bisa ditolak, adalah hal yang sudah dihadapi oleh manusia manapun sejak lahir lahir ke dunia. Perbedaan sudah menjadi bagian dari kodrat kehidupan. Jika ditanyakan kepada Sang Maha Kuasa, “Mengapa tidak menggunakan kuasa-NYA untuk menciptakan kehidupan di bumi ini agar seragam saja dalam segala-galanya, sehingga tak perlu ada konflik akibat perbedaan itu?” … sayangnya saya bukan Sang Maha Kuasa itu, sehingga tak kuasa menjawabnya. Atau mungkin ada yang bisa memberi jawaban tepat? Karena keterbatasan saya untuk mengetahui jawabnya, saya anggap keragaman dan perbedaan budaya itu tetap harus dilihat secara jernih, sebagai konsekuensi logis dan fair, bagi para sesama “penumpang” di bumi ini.
Kepada anak saya katakan bahwa tempat wisata yang akan kita tuju ini adalah salah satu jejak terburuk, tentang akibat dari tidak bisa menerima perbedaan.
Menerima perbedaan itu baik, tapi menjalani tanpa mengerti, belumlah cukup, tanpa melihat contoh nyata, apa akibatnya bagi umat manusia akibat tidak realistis dalam memandang perbedaan. Nyatanya, dari abad ke abad, se-super dan se-suci apapun manusia, tidak ada seorang pun manusia yang mampu memaksakan agar cara pikirnya, ideologi dan keyakinannya harus sama dengan seluruh manusia di muka bumi.
Apa akibatnya jika memaksa semua manusia harus diseragamkan dalam segala hal? Apa akibat dari kebencian, hanya karena kelompok lain itu tidak sama ras-nya dengan kita, atau tidak bersedia mengikuti kehendak kita, sehingga kelompok lain itu harus musnah dan dimusnahkan? Pertanyaan ini kadang melintas di kepala jika melihat contohnya dari sejarah masa lalu.
Kekejaman Nazi, salah satu contoh terkejam dari akibat tidak bisa menerima perbedaan. Kekejaman yang tumbuh dari kebencian, hanya karena manusia yang satu menganggap ras-nya lebih agung, dan ras yang lain dianggap lebih hina. Dan salah satu jejak kekejaman Nazi itulah yang akan kami tuju di hari yang cerah itu. Akhirnya mobil kami berhenti di depan Kamp Westerbork.
“Mama, jadi tempat ini adalah kamp Nazi?”, tanya anak saya.
Kamp ini pernah digunakan oleh Nazi Jerman sebagai kamp deportasi. Artinya orang-orang Yahudi di Belanda yang ditawan Nazi, ditempatkan di kamp ini selama beberapa waktu, untuk kemudian dikirim ke kamp lain di luar Belanda.
Kamp ini bernama Kamp Westerbork, terletak di Hooghalen di Propinsi Drenthe, Belanda. Sekitar tahun 1942-1945, ketika Belanda diduduki oleh Jerman, kamp ini diambil-alih oleh Nazi. Kemudian digunakan sebagai kamp tawanan bagi orang-orang Yahudi yang ada di Belanda. Terhitung lebih dari 100.000 orang Yahudi sempat ditawan di tempat ini, untuk kemudian dideportasi ke kamp konsentrasi lain, seperti Auschwitz, Sobibor, Bergen-Belsen, dan kamp Nazi lainnya di Eropa.
Foto: Salah satu sudut kamp dengan batu-batu kecil terhampar sebagai simbol jumlah korban yang meninggal yang pernah menghuni kamp ini.
Sebelum Nazi mem-fungsi-kan kamp ini sebagai kamp tawanan, pemerintah Belanda mendirikan kamp ini di tahun 1939, untuk menampung pengungsi Yahudi yang lari dari Jerman, untuk menyelamatkan diri dari kejaran Nazi. Namun setelah Jeman berhasil menginvasi negara-negara Eropa lainnya termasuk Belanda, kamp Westerbork ini akhirnya jatuh ke tangan Nazi.
Setelah Jerman kalah perang dan tidak lagi menduduki Belanda, kamp ini kembali berubah fungsinya. Yaitu menjadi tempat penampungan orang Maluku dan orang keturunan Indonesia-Belanda (Indo) yang mengungsi dari Indonesia, pasca kemerdekaan 1945.
Kami menyusuri kamp Westerbork ini untuk melihat benda-benda dan jejak peninggalan eks penghuni kamp ini di masa lalu. Berbagai benda tawanan Nazi terpajang di lemari kaca. Bekas ranjang tawanan, kopor berisi baju, jam, sabun antiseptic, dan berbagai benda lain.
Foto: Kopor tawanan yang berisi pakaian, sabun, wekker, dan keperluan lainnya. Barang-barang yang boleh dibawa dan tak boleh dibawa, ditentukan oleh pihak Nazi.
Anne Frank yang legendaris itu pernah juga ditempatkan di kamp ini bersama ayah, ibu, dan saudaranya, sebelum akhirnya dideportasi ke kamp Auschwitz Polandia, dan akhirnya ke kamp Bergen-Belsen di Jerman. Kami menyaksikan benda-benda tawanan Nazi yang terpajang. Ada kopor mereka yang berisi antara lain baju, sabun anti-septic, arloji, peralatan makan, dan lain-lain. Perlengkapan di dalam kopor itu, memang sudah ditentukan oleh Nazi, tentang apa saja yang harus dibawa oleh tawanan, tampak terbaca daftarnya di dalam surat panggilan kepada tawanan.
Saat kami sedang menyusuri museum ini, tiba-tiba anak saya memanggil, “Mama! Lihat di lemari ini! Di sini ada batik! Kok ada batik? Apa hubungannya dengan Nazi?”
Tampak di sebuah lemari tersimpan barang-barang peninggalan orang-orang Maluku dan Indo yang mengungsi dari Indonesia. Di masa itu memang umumnya wanita Maluku dari Indonesia masih banyak yang memakai kebaya Maluku dan sarung batik.
Foto: Sarung batik dan kartu pos dari Indonesia di museum, untuk mengenang bahwa kamp ini pernah dihuni oleh orang-orang Maluku dan Indo (mix Indonesia-Belanda), yang mengungsi ke Belanda, pasca kemerdekaan 1945.
Pertanyaannya anak saya mengapa ada batik di kamp Nazi ini, tidak perlu saya jawab. Karena ia bisa membaca sendiri jawabannya dari deskripsi tulisan yang terpampang di lemari itu. Di situ tertulis, bahwa kamp ini pernah dihuni oleh orang-orang Maluku dan Indo. Mereka tinggal di kamp ini untuk sementara, sebelum mendapatkan rumah tinggal permanen yang ditentukan lokasinya oleh pemerintah Belanda. Ketika itu mereka meninggalkan Indonesia, karena pasca kemerdekaan, pemerintahan Soekarno mengharuskan mereka yang berkewarga-negaraan Belanda meninggalkan Indonesia.
Sehelai batik yang dipajang di lemari melambangkan “Indonesia” yang pernah tertoreh jejaknya di kamp ini. (Untungnya Belanda adalah saksi sejarah bahwa batik adalah warisan tradisi asli ndonesia, dan bukan Malaysia, saya pernah saksikan Belanda memamerkan cara orang-orang Jawa di masa lalu membuat batik tradisional, di Tropenmuseum).
Dan batik di dalam lemari di kamp Westerbork ini, seakan berbicara tentang kisah historis antara Belanda dan Indonesia, pasca kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya batik itu. Di sekitarnya terpajang juga beberapa pernak-pernik khas Indonesia yang dibawa oleh pengungsi dari Indonesia. Misalnya rantang aluminium, wajan, ulek, kartu pos dari Indonesia, tikar, dan pernak-pernik Indonesia lainnya.
Foto: Benda-benda yang berhubungan dengan pengungsi asal Indonesia di Belanda yang pernah tinggal di kamp Westerbork.
Selain benda-benda eks penghuni kamp, di kamp ini juga didirikan monumen dengan 102.000 batu, untuk mengenang para korban kekejaman Nazi.
Di sudut lain, ada ruang khusus untuk menyaksikan film tentang fasisme Jerman. Juga ada sudut tentang fasisme Jepang di Indonesia, dengan foto-foto para pekerja orang Indonesia dan orang Belanda yang dipekerjakan sebagai jugun ianfu (budak seks) dan sebagai romusha. Tampak romusha seperti tengkorak hidup saat dikerahkan sebagai pekerja paksa membangun rel kereta sepanjang 415 km di Birma-Thailand.
Di kamp ini, saya sudah melihat jejak dari pemaksaan yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah; Nazi Jerman yang tidak realistis dalam melihat perbedaan; politik fasisme Jerman dan fasisme Jepang yang kejam seperti juga semua bentuk penjajahan lain di muka bumi, orang-orang Maluku dan Indo yang terusir yang merupakan bagian dari kisah penjajahan Belanda.…
Tentu tak ada yang menginginkan terulangnya kisah pahit di atas. Kini pemerintahan negara-negara tersebut di atas telah memasuki zaman kekinian, menjalankan hubungan diplomatik tanpa dendam kesumat masa lalu. Bagaimana hidup damai berdampingan dalam perbedaan, dengan membangun masa depan yang lebih baik, menjadi impian dan prioritas bersama.
Kami sudah lelah mengelilingi kamp. Sekarang saatnya ke cafe yang ada kamp ini. Mata saya tertumbuk pada sesuatu. Wah, apa itu? Di meja cafe bertaplak batik, tampak penganan kecil ala Indonesia. Kue pandan dan spekuk. Nah, ini baru enaaak….!!!!
Baca juga artikel terkait, silakan klik:
Wanita Penyelamat Buku Harian Anne Frank
Mengunjungi Makam Anne Frank di Jerman (Foto-foto Mencekam)
Mengerikan! Rumah Jagal Pemusnah Manusia
Penulis dan foto: Walentina Waluyanti
{backbutton}