Pemimpin Berpoligami dan Nikah Siri?
Inilah Tipe yang Berpotensi Menjadi Pemimpin di Indonesia
Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge -Nederland
Anggapan umum mengatakan orang rupawan dan berasal dari keluarga terpandang, cocok menjadi pemimpin. Tetapi tampilnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemimpin, mematahkan anggapan tadi. Meskipun tidak jelek, tetapi Jokowi tidak tergolong ganteng-ganteng amat. Selain itu, ia berasal dari wong cilik, yang kemudian sukses mengangkat nasibnya.
Foto: Jokowi dielu-elukan ribuan rakyat dalam pesta rakyat di Bundaran Hotel Indonesia, setelah pelantikannya sebagai Presiden RI, 20 April 2014. (Foto: AP)
Bagaimana dengan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama? Akibat G30S, pemerintah Orba memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC. Dampaknya juga terasa terhadap kehidupan orang Tionghoa di. Indonesia. Pada masa Orba, nyaris tak mungkin ada orang Tionghoa yang boleh menjadi pegawai negeri, anggota militer/polisi, apalagi menjadi pemimpin. Namun berkat reformasi, kemunculan Ahok mematahkan tradisi yang telah berlangsung sejak berdirinya Orba. Ia menjadi bupati lalu menjadi gubernur. Padahal ia “Cina” dan non-muslim. Atau menurut istilah Ahok, ia bermuka “minyak babi” (mukanya mengkilat). Maksud Ahok, ia ingin memberi perumpamaan, mana ada seorang Tionghoa (apalagi Kristen), seperti Ahok bisa menjadi Pejabat Negara/Gubernur? Tetapi sesuatu yang dahulu mustahil itu, nyatanya mampu dicapainya.
Sebelum Ahok mendekam di penjara, pernah ada wacana yang menginginkan Ahok jadi Presiden. Andai kemudian "lahir Ahok-Ahok" lain, pertanyaannya adalah, mungkinkah hal itu terjadi? Bukankah Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim yang tentulah mengharapkan pemimpinnya juga adalah muslim?
Foto: Joko Widodo, Iriana, Veronica Tan dan Basuki Tjahaja Purnama.
Kenyataannya, salah satu pemimpin kelompok muslim, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, "Siapa saja yang mampu dan dipercaya rakyat, pemimpin yang adil meski itu non-Muslim tapi jujur, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim. Di mana saja dan siapa saja." Lanjut Said Aqil Siradj, "Pemimpin yang zalim dan tak adil, masyarakat akan merasakan kezalimannya. Kayak Muammar Khadafi, dia Muslim itu. Tapi apa? Rakyatnya sengsara." Demikian pernyataan Ketua Umum PBNU di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta (Sabtu, 16/4-2016) .
Pernyataan Said Aqil Siradj di atas tentu menuai pro kontra di kalangan umat muslim. Tetapi paling tidak menunjukkan ada golongan muslim yang lebih mengedepankan karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, tanpa memandang latar belakang etnis dan agama.
Kemunculan Jokowi dan Ahok, menampakkan terjadinya pergeseran tentang gambaran tipe ideal seorang pemimpin di Indonesia. Pemimpin tidak perlu rupawan, tidak perlu dari kalangan atas, tidak perlu dari golongan mayoritas, asal saja memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Setia pada satu istri
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dan poligami dibolehkan di dalam Islam, tetapi secara kultural, ada juga penolakan terhadap poligami. Atau paling tidak, umumnya perempuan mengatakan, “Poligami? Boleh saja, asal jangan suami saya!” Nah lo! Ujung-ujungnya menolak juga kan? Masih banyak suara protes terhadap pemimpin yang mengambil istri lebih dari satu. Nabi memang berpoligami tetapi Nabi berlaku adil dan tidak dilakukan karena syahwat. Mampukah manusia biasa berbuat seperti Nabi? Ini pertanyaan yang dilontarkan umumnya kaum perempuan yang menolak poligami.
Ingat! Jumlah penduduk di Indonesia masih didominasi oleh perempuan. Oleh karenanya, calon pemimpin yang tidak setia pada istri, siap-siap saja menerima penolakan dari jumlah terbesar penduduk Indonesia, yaitu kaum perempuan. Bahkan tak sedikit kaum pria yang juga tidak setuju dengan praktik poligami.
Foto: Soekarno dan Fatmawati bersama si kecil Guntur dan Megawati.
Ada yang mengatakan, Sukarno berpoligami, tetapi bukankah ia tetap dipuja? Jangan lupa, Sukarno tetap setia pada satu istri selama puluhan tahun (setia kepada Inggit), meski akhirnya pisah karena tidak memiliki anak. Ia lalu menikahi Fatmawati tetapi Sukarno kemudian didemonstrasi ketika berpoligami, ingin menikahi Hartini. (Saya tulis tentang ini di buku karya saya berjudul “Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan”).
Pemimpin yang tidak setia pada sumpah pernikahan, menimbulkan keraguan, "Akankah ia setia memegang sumpah pengabdian kepada rakyat?" Pemimpin yang mengkhianati kesetiaan pasangannya, maka akan sulit memperoleh kepercayaan dari rakyat.
2. Menikah resmi (tidak nikah siri)
Okelah kalau rakyat biasa yang nikah siri, siapa yang peduli? Tetapi lain cerita kalau yang nikah siri adalah seorang yang akan menjadi pemimpin. “Siri” artinya rahasia (tidak tercatat menurut hukum negara). Kalau pernikahan itu berdasarkan itikad baik dan tidak bermasalah, bukankah tidak perlu dirahasiakan? Toh pencatatan nikah menurut hukum negara juga tidak melanggar aturan agama.
Dhani Ahmad, pentolan band Dewa 19, pernah menyatakan siap maju dalam bursa Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun kemudian batal, dan tampil sebagai cawabup Bekasi. Dhani pernah mengomentari Farhat Abbas yang hartanya “habis-habisan” setelah menikahi (siri) Regina. Hal ini dikomentari Dhani Ahmad, “Baru nikah siri sudah abis beneran, apalagi nikah beneran!” Secara tersirat, pernyataan Dhani tadi merupakan pengakuan bahwa pernikahannya sendiri (nikah siri) dengan Mulan Jameela, bukanlah nikah beneran. Dalam konteks tentang pemimpin ideal, tentu pemimpin diharapkan dapat menghormati pernikahan, yang sadar bahwa kalau ia menikah maka pernikahannya itu adalah nikah beneran (menurut istilah Dhani).
Apapun alasannya, terlebih bila nikah siri dilakukan demi agar hartanya tidak “abis beneran”, terkesan mau enaknya, tapi enggan memikul tanggung jawab (dalam pernikahan siri, tanggung jawab suami tidak diikat oleh hukum negara, sehingga secara hukum formal, perempuan tidak bisa menuntut hak-nya/nafkah/hak waris untuk istri dan anak).
Foto: Mulan Jameela, Dhani Ahmad, Titiek Soeharto, Tommy Soeharto pada perayaan ulang tahun Titiek Suharto di Jalan Cendana, 14/4-2016. (Sumber foto: Kapanlagi).
Nikah siri membuat anak dan istri tidak memperoleh hak-hak hukum yang diakui negara seperti dalam pernikahan resmi. Bagaimana mungkin seorang suami/ayah tega melakukan ini kepada istri dan anaknya? Ini baru memimpin rumah tangga. Belum memimpin negara/daerah.
Kalau dalam lingkup kecil saja (hidup berumah tangga)— seseorang ogah berkomitmen, bagaimana dalam lingkup besar (sebagai pemimpin daerah/negara)? Jika seseorang bisa mematuhi prosedur hukum negara demi ambisi menjadi pemimpin, apa sulitnya menikah menurut hukum negara yang juga sah menurut hukum agama?
3. Berani menempuh risiko karena jujur dan adil
Maksud dari jujur dan adil di sini, bukan supaya bisa masuk surga. Tetapi jujur dan adil memang menjadi syarat mutlak untuk menjaga harmoni antara yang memimpin dan yang dipimpin, agar bisa menata segala sesuatu. Tanpa harmoni, bagaimana seorang pemimpin bisa menata daerah/negara yang dipimpinnya? Bahkan sebaiknya seorang pemimpin tidak berdusta dengan alasan “bohong untuk menjaga perasaan orang”. Karena ini hanya menunjukkan pengecutnya seorang pemimpin. Selain itu jujur adalah senjata kehormatan satu-satunya bagi seorang pemimpin.
Foto: Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. *Sumber: polri.go.id)
Kalaupun harus kehilangan jabatan karena jujur dan adil, ini masih lebih baik dibanding kehilangan jabatan karena kelakuan tercela. Bandingkan mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso yang kehilangan jabatan karena kejujurannya (namun namanya harum dikenang hingga kini), dengan seorang Hakim Agung yang kini meringkuk di penjara dengan vonis seumur hidup (nama buruknya tidak akan pernah bisa terhapus).
4. Disiplin, tekun, ulet untuk terus berkarya
Ada yang mengatakan, zaman sekarang untuk menjadi pemimpin, seseorang juga harus berduit. Bagaimana dengan mereka yang tak berduit? Praktik "bayar mahar", harus menyetor uang untuk jadi pemimpin, jelas praktik berbau korup. Lebih masuk akal jika menilai sejauh mana daya banting seseorang, kerja keras mulai dari bawah hingga akhirnya mampu meningkatkan taraf hidupnya. Contohnya, Presiden Joko Widodo sejak muda tekun membangun karirnya mulai dari bawah hingga akhirnya menjadi pengusaha sukses. Jokowi memberi contoh bahwa nasib bisa saja berubah, selama mau bekerja keras dengan cara halal. Ini semua membutuhkan kedisiplinan, ketekunan, dan keuletan. Mental untuk maju memang merupakan modal utama untuk menjadi pemimpin.
Umumnya seseorang yang menjadi pemimpin (bukan pemimpin instant), adalah seorang yang sudah teruji keuletannya dalam memperjuangkan sesuatu yang ingin diwujudkannya. Berkarya tidak perlu melalui hal muluk-muluk. Misalnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang sejak sebelum berusia 25 tahun berusaha mandiri memulai usaha katering, sebelum ayahnya menjadi Presiden. Padahal sebagai anak Walikota ketika itu, kalau mau, ia bisa saja "potong kompas" memilih pekerjaan enak. Setelah kini sukses dengan kateringnya, ia juga membuka kursus-kursus gratis bagi anak-anak kurang mampu.
Foto: Putra sulung Jokowi (Gibran Rakabuming Raka (Sumber: Chili Pari)
Apabila seseorang sejak awal telah menunjukkan tanda-tanda keuletan dalam mewujudkan mimpi-mimpinya, ini telah menunjukkan indikasi positif. Yaitu kelak apabila menjadi pemimpin, dapat diharapkan ia pun gigih dalam mewujudkan program-program untuk kemajuan rakyat.
5. Punya kredibiltas moral
Jika Anda mengatakan setiap orang dewasa bisa membedakan baik dan buruk, kenyataannya tidak selamanya begitu. Bukankah banyak orang yang tahu korupsi itu jelek, tapi tetap melakukannya? Jika seorang pemimpin teguh mematuhi prinsip-prinsip moral, tidak mengejar kepentingan pribadi tapi mendahulukan kepentingan rakyat, tidak sok kuasa dan bersikap mentang-mentang, maka ini sudah merupakan watak dasar yang baik untuk menjadi pemimpin .
6. Arif, berwawasan, visioner, dan terampil berorganisasi
Pendidikan (formal maupun non-formal) yang memadai, kemampuan berorganisasi adalah salah satu modal dasar untuk menjadi pemimpin. Hampir semua tokoh pemimpin memiliki latar belakang aktif dalam organisasi. Jangan sia-siakan masa muda untuk bergaul dengan orang-orang yang salah. Ada banyak organisasi, pusat kegiatan bermanfaat yang bisa diikuti untuk menggali potensi diri. Namun pendidikan dan kemampuan berorganisasi saja tidak cukup tanpa disertai kearifan, wawasan, dan pandangan yang visioner.
7. Satunya kata dan perbuatan
Tidak perlu jadi pemimpin pun, manusia itu yang dipegang adalah kata-katanya. Apalagi kalau jadi pemimpin. Harus konsisten antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Bukan melarang menteri aktif dalam partai politik.... ehhh tau-taunya pemimpin ini sendiri yang menunjuk menterinya sebagai pengurus partai. Kemampuan membangun kepercayaan rakyat, mampu menjadi teladan karena satunya kata dan perbuatan adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar dari seorang pemimpin.
8. Tegas dan berwibawa
Ganteng dan cantik tetapi tanpa wibawa dan ketegasan, maka kepemimpinan itu menjadi tak berarti. Ada orang yang berpostur tinggi besar, bersuara bariton tapi tidak punya wibawa. Atau ada pemimpin yang terlihat gagah, tetapi sulit mengambil keputusan tegas. Sebaliknya ada pria yang bertubuh kecil, suara dan senyumnya lembut, namun wibawanya kuat, ketegasannya membuat orang segan padanya. Misalnya Mohammad Hatta atau Bung Hatta yang disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Foto: Bung Hatta mendampingi Bung Karno.
Wibawa tidak harus dibangun melalui kemarahan, kata-kata keras sampai memukul meja. Ada tipe pemimpin tenang yang wibawanya memang sudah terpancar dari batinnya. Kalau ia marah, cukup menyindir halus, atau hanya dengan lirikan, ini pun sudah cukup membuat bawahannya takut dan langsung memperbaiki kesalahannya.
Kewibawaan terpancar bukan melalui hal-hal lahiriah, seperti jas yang ditempeli berbagai bintang dan menenteng tongkat komando. Pemimpin yang berwibawa memiiki kekuatan batin yang membuat ia sanggup menguasai rakyat yang dipimpinnya, dipercaya rakyat, dan mampu membuat orang patuh terhadap kepemimpinannya.*** (Penulis: Copyright @ Walentina Waluyanti de Jonge, penulis buku “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen”)
Baca juga, klik:
Siapa Bilang Sri Sultan, Suami Ratu Hemas Tidak Berpoligami?
Aneh Tapi Nyata, Misteri Angka Kramat Antar Mereka Jadi Presiden RI
Walentina Waluyanti de Jonge
{backbutton}