Ini Penyebab Mengapa Mereka Menggambar Nabi Muhammad

Copyright@Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Nabi Muhammad digambar dengan jelas di buku itu. Di Eropa saya pernah melihat sebuah buku tua, yang menampilkan ilustrasi sosok Nabi Muhammad. Uraian di dalam buku itu sama sekali tidak berisi hinaan. Melainkan hanya menguraikan sejarah Islam. Tetapi di dalam Islam, meskipun dengan maksud memuliakan sekalipun, membuat gambar sosok Nabi Muhammad, tetaplah diharamkan. Buku tua itu menampilkan gambar kuno abad lalu dari Persia, yang menggambarkan Nabi Muhammad memberkati Batu Hitam di Ka’bah. Buku-buku seperti ini di Eropa bukan satu dua saja. Saya tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika buku tersebut beredar di Indonesia. Di dunia Barat pun, umumnya mereka tahu, Nabi Muhammad tidak boleh divisualisasikan. Meskipun tahu, ada saja yang tetap menampilkan ilustrasi Nabi Muhammad. Mengapa dunia Barat terkesan sulit mengikuti larangan untuk tidak memvisualisasikan sosok Nabi Muhammad? Ini penyebabnya.

Yang membedakan non-Islam di Indonesia dan di Barat adalah, non-Islam di Indonesia adalah juga umat beragama. Oleh karenanya, sebagai sesama umat beragama, umat non-Islam di Indonesia tidak hanya sekadar tahu bahwa Nabi Muhammad tidak boleh digambar. Lebih dari itu, mereka juga bisa mengerti perasaan umat Islam bahwa Nabi adalah junjungan yang sangat dicintai dan dihormati. Oleh karenanya, menggambar Nabi sama saja dengan menyakiti perasaan umat Islam. Hal ini sepenuhnya dipahami oleh umat non-Islam di Indonesia. Tetapi pemahaman yang dimiliki oleh umat non-Islam di Indonesia ini, sulit dimiliki oleh non-Islam di dunia Barat. Mengapa? Ini bukannya tanpa sebab-musabab, sebagaimana akan dipaparkan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Bukannya kapok. Itulah yang dilakukan koran satir Perancis, Charlie Hebdo, pasca insiden 7 Januari 2015 yang menewaskan 12 orang. Charlie Hebdo malah kembali menampilkan karikatur Nabi Muhammad (AFP, 13/1). Wajah Nabi digambarkan sedih dengan tetesan air mata, sambil memegang tulisan Je Suis Charlie (Saya adalah Charlie). Kalimat ini kini populer sebagai slogan protes aksi kekerasan terhadap karya ilustrasi Charlie Hebdo.

charlie005

Foto: Staf redaksi Charlie Hebdo. Foto yang dilingkari adalah para korban tewas aksi penembakan 7/1-2015. (Sumber: Bauman/SIPA.REX)

Seperti menantang, itulah kesan bagi umat Islam tentang apa yang dilakukan oleh Redaksi Charlie Hebdo. Menantang? Sebetulnya belum tentu demikian bagi logika dunia Barat, yang terpantul di dalam sikap Charlie Hebdo. Ada dua titik yang saling bertolak belakang dalam konflik ini. Dan dua titik yang bertolak belakang itu bukanlah "Islam versus Kristen". Tidak demikian. Karena non-Islam di dunia Barat, umumnya bukan penganut agama. Kalau mau saling dihadap-hadapkan, maka konfliknya menjadi "keyakinan agama” versus “kultur Barat”. Dan seperti biasanya, ini ibarat air dan minyak. Sulit menyatu.

Keyakinan menurut Islam, Nabi Muhammad tidak boleh digambar. Sebaliknya menurut kultur Barat yang berdasarkan logika alam pikir ala Barat, larangan menggambar Nabi Muhammad hanya berlaku bagi umat muslim. Mengapa Charlie Hebdo dan umumnya masyarakat Barat terkesan “gagal paham” terhadap larangan menggambar Nabi Muhammad? Sebabnya, mereka tidak tumbuh di dalam sejarah panjang seperti Indonesia yang masyarakatnya hidup berdampingan dari abad ke abad dalam kemajemukan agama. Terlebih kultur masyarakat non-muslim Indonesia yang terbiasa hidup membaur bersama mayoritas masyarakat muslim, bukanlah kultur yang ada di dunia Barat. Sehingga sensitivitas masyarakat Barat terhadap perasaan umat muslim, tidak bisa diharapkan sama kadarnya dengan sensitivitas yang dipunyai umat non-Islam di Indonesia.

Karakter dan budaya masyarakat dipengaruhi oleh budaya mayoritas di mana ia tumbuh. Dan karena lingkungan masyarakat Barat bukanlah mayoritas muslim, sehingga nuansa Islam yang bisa dipahami oleh umat non-Islam Indonesia, tidak dimiliki oleh dunia Barat.

Orang Barat memang bisa paham bahwa orang Islam tidak akan boleh menggambar Nabi Muhammad. Okelah ini bisa mereka terima. Tetapi yang dipahami oleh orang Barat adalah, bukankah aturan tadi hanya berlaku bagi penganut Islam saja? Orang Barat sulit mengerti, mengapa mereka juga harus ikut dilarang menggambar Nabi Muhammad. Jika mereka dilarang menggambar Nabi, maka mereka bertanya, mengapa mereka harus mengikuti aturan agama, padahal mereka bukan penganut agama, dan negara mereka tidak menerapkan Hukum agama?

charlie001

Illustrasi: John D. Sutter, CNN

Itu sebabnya meski mereka diancam ditembak sekali pun, mereka tetap saja terus menggambar Nabi Muhammad. Bagi mereka, ini bukan menantang atau membangkang. Masalahnya, bagi dunia Barat, orang bebas meyakini apa saja. Orang Islam bebas meyakini aturan agama bahwa Nabi tidak boleh digambar karena melanggar Hukum Islam. Sebaliknya, bagi dunia Barat, juga merasa bebas meyakini bahwa mereka boleh menggambar siapa saja termasuk Nabi, karena mereka tidak diikat oleh Hukum Islam dan tidak melanggar Hukum Negara Perancis.

Persoalan intinya, yaitu bagi dunia Barat setiap orang bebas meyakini sesuatu. Dunia Barat bisa menerima bahwa umat beragama bebas meyakini kepercayaannya, termasuk tidak boleh menggambar Nabi. Begitupun dunia Barat berpendapat bahwa jika umat Islam dibebaskan meyakini Hukum Islam, maka mereka merasa punya hak yang sama untuk dibebaskan menganut Hukum Negara mereka sendiri. Yang satu mengatakan, "Jangan usik keyakinan kami!". Yang satu lagi tidak merasa mengusik, karena merasa yang dijalankannya tidak melanggar Hukum Negara-nya sendiri.

Hukum negara Perancis tak melarang warganya menggambar siapapun termasuk Nabi. Sehingga warganya yang tak merasa diikat Hukum agama, merasa hanya wajib mematuhi Hukum Negara dan bukan Hukum Islam. Dan inilah yang menjadi masalah. Umat Islam melihat hal ini sebagai penghinaan. Menggambar Nabi saja itu sudah merupakan penghinaan, apalagi kalau ada kesan mengolok-olok di dalam gambar itu. Sebaliknya Charlie Hebdo sulit dibuat paham bahwa yang mereka lakukan itu penghinaan, karena kultur tenggang rasa seperti yang dikenal dalam budaya Timur, bukanlah kultur Barat. Ukuran "menghina/mengolok-olok" menurut agama, belum tentu sama ukurannya dengan kategori "menghina/mengolok-olok" menurut kultur Barat.

charlie003wm

Foto: Pertemuan internasional antar agama di Chicago, untuk menghormati pluralitas dan toleransi, tahun 1893.

Pada mulanya agama diturunkan untuk menertibkan tatanan masyarakat yang dahulu masih chaos. Pluralitas dan toleransi bukan belakangan ini saja didengang-dengungkan. Pada abad ke-19, tahun 1893 agama-agama di dunia telah menyadari pentingnya menghormati pluralitas dan toleransi antar umat beragama, dalam pertemuan internasional antar agama di Chicago (foto di atas). Dan sekarang jika agama dijadikan alat untuk menyulut konflik, maka ini merupakan ironi dari maksud diturunkannya agama.

Konflik memang mudah tersulut, manakala satu persoalan dipandang dari dua sudut yang berbeda. Tanpa penerimaan terhadap pluralitas dan toleransi, konflik tak akan pernah berujung pada titik temu. Indonesia bisa memetik sesuatu dari insiden Charlie Hebdo. Yaitu pluralitas kultur/agama seperti yang telah dilalui Indonesia selama ratusan tahun, adalah sebuah kekayaan. Dan kekayaan yang bernama "Bhinneka Tunggal Ika" ini tidak dimiliki oleh banyak negara lain di dunia. Jika kemajemukan ini dikelola sebagai "kekayaan bangsa", maka hal ini dapat mendewasakan masyarakat dalam menyikapi perbedaan keyakinan.*** (Copyright@Penulis: Walentina Waluyanti, historical book writer)

Baca Juga:

Satu Ayah Lain Ibu, Asal Mula Konflik Palestina-Israel

Hantu Pengganti Komunisme

Penyebab Mengapa Komunis Harus Atheis

fr wwWalentina Waluyanti de Jonge

Penulis buku “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan”

About Me

{backbutton}

Add comment