‘Ilmu Tahu Diri’ Romo Magnis
Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Keberanian seorang Romo Katolik, Franz Magnis-Suseno banyak diberitakan beberapa hari ini. Tetapi ada yang belum banyak diungkap media. Yaitu prinsip apa sebetulnya yang melatar-belakangi keberanian Romo Magnis? Setiap keberanian tentu didasari prinsip. Apa yang melandasi Romo Magnis berani menunjukkan perlawanan kepada penguasa tertinggi Republik Indonesia?
Romo Magnis (Foto: misacorindo)
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, tak ada salahnya melihat kilas balik protes Romo Magnis atas rencana pemberian award kepada SBY. Rencana penghargaan kepada SBY itu, karena SBY dinilai berjasa menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Pengakuan atas keberhasilan SBY dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia, rupanya mencabik-cabik nurani Romo Magnis, dalam kapasitasnya sebagai tokoh agama.
Lembaga yang berencana memberi award kepada SBY itu bernama Appeal of Conscience Foundation (ACF). Lembaga ini berkedudukan di Amerika Serikat, dan mengklaim sebagai lembaga yang berazas moralitas.
Atas rencana penghargaan kepada SBY, Romo Magnis mengirim surat protes kepada ACF. Katanya kepada ACF, “Rencana itu sangat memalukan, dan mempermalukan Anda sendiri. Itu dapat mendiskreditkan klaim apapun yang Anda buat sebagai sebuah institusi berlandaskan moralitas.”
Di dalam suratnya Romo Magnis menggambarkan intoleransi di Indonesia. Yaitu bertambah sulitnya umat Kristiani mendapatkan izin dan membangun gereja, termasuk penutupan paksa sejumlah gereja. Selain itu bertambahnya regulasi yang mempersulit kaum minoritas untuk beribadah. Ini berujung pada intoleransi. Bahkan sampai terjadi pembunuhan terhadap golongan Ahmadiyah dan kaum Syiah.
Romo Magnis menyebut SBY tidak mengatakan apa-apa untuk semua kejadian intoleransi beragama, tidak mengeluarkan pernyataan tegas bahwa kaum mayoritas harus melindungi minoritas, juga tidak menjalankan tanggung-jawabnya untuk melindungi minoritas.
Surat Romo Magnis itu ditulis dalam bahasa Inggris, merefleksikan kekecewaannya terhadap presiden SBY yang tidak melakukan sesuatu, sementara hingga kini golongan minoritas terusir dari rumahnya sendiri, terpaksa tinggal di tempat lain, di antaranya di gedung olahraga:
And particularly, have you never heard about the shameful and quite dangerous attitudes of hardline religious groups towards so called deviant teachings, meaning members of the Achmadiyah and the Shia communities, and the government of Susilo Bambang Yudhoyono just doing nothing and saying nothing to protect them? Hundreds of their people have under Susilo Bambang Yudhoyono’s presidentship been driven out of their houses, they still live miserably in places like sports halls, there have allready Achmadis and Shia people been killed (so that the question arises whether Indonesia will deteriorate to conditions like Pakistan dan Iran [favor of President G. W. Bush] where every months hundreds of Shia people are being killed because of religious motivations)?
Pernyataan Romo Magnis yang lebih keras ditandaskannya dalam kalimat di bawah ini, bahwa SBY telah mempermalukan diri sendiri dengan menghindari tanggung jawab atas kekerasan yang menimpa penganut Ahmadiyah dan Syiah:
Do you not know that President Susilo Bambang Yudhoyono during his up to now 8 1/2 years in office has not a single time said something to the Indonesian people, that they should respect their minorities? That he has shamefully avoided responsibility regarding growing violence towards Achmadiyah and Shia people?
Saya tertarik pada tulisan-tulisan Romo Magnis. Uraiannya tentang politik yang beretika, menurut saya tidak berlebihan jika disebut kontribusi penting untuk Indonesia.
Saya setuju pada pendapat yang menyatakan tidak perlu terpancing melayani orang-orang yang membuka front, mempertentangkan ajaran antar agama. Kalaupun terpaksa, tergantung di forum apa, dengan orang bagaimana, dan apa urgensinya. Walau debat selalu merupakan tantangan menarik buat saya, namun debat membanding-bandingkan keyakinan orang, bukanlah hal yang etis untuk diperdebatkan. Mana lebih benar? Agama A atau agama B? Mana lebih berakal? Atheis atau theis? Di mana letak etis-nya perdebatan semacam ini? Menafikan etika, sama saja mengingkari kodrat manusia yang memang butuh etika dalam hidup bermasyarakat.
Foto: cabiklunik
Walau katakan saja, dalam ajaran keyakinan itu ada hal yang tidak saya setujui, apakah itu persoalan besar? Sehingga setiap orang harus mendengarkan perdebatan tentang ketidak-setujuan saya? Memperdebatkan ilmu pengetahuan (tidak bersandar pada keimanan), adalah tantangan debat mengasyikkan, oke-oke saja. Tapi debat agama? Walau setiap penganut agama mengklaim bahwa ajaran agamanya adalah benar karena dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, namun tetap saja urusan agama berada di area "keimanan". Dan urusan keimanan adalah soal percaya atau tidak percaya. Orang mau percaya, atau tidak percaya sesuatu, adalah hak azasi manusia. Ini hal sederhana, yang malah dibikin rumit jika diperdebatkan.
Di lemari buku saya, ada buku Romo Magnis yang juga guru besar filsafat ini, berjudul “Kuasa dan Moral”. Jika membaca buku itu, maka saya bisa memahami keberanian Romo Magnis melayangkan protes, tak setuju jika SBY diberi penghargaan oleh AFC.
Romo Magnis adalah imam yang berusaha konsisten atas tanggung-jawab dan perannya sebagai pelayan umat. Sebagai imam, ia berpijak pada keyakinan seperti yang ditulisnya dalam kalimatnya, “Agama dapat mempertajam kesadaran, bahwa semua manusia sama-sama ciptaan Tuhan dan oleh karena itu sama derajatnya.”
Berdasarkan kesamaan derajat itu, Romo Magnis berpendapat, “Bahwa manusia lain adalah saudara kita dan karena itu perlu kita bantu dan kita bela kalau ditindas dan disiksa. Agama dapat memberi semangat untuk menghadapi semua kekuasaan di dunia dengan berani karena orang beragama tidak takut mati.”
Soal tanggung jawab, menurut Romo Magnis bahwa pihak-pihak agama bertanggung-jawab untuk menciptakan suasana yang baik. Untuk itu dituntut ada sikap “tahu diri”, atau orang Jawa menyebutnya “eling”.
Profesor Franz Magnis-Suseno, atau Romo Magnis (Foto: Kompas.com)
“Eling” yang dikutip Romo Magnis di atas, adalah salah satu tuntunan sikap sopan santun dalam kultur Jawa. Profesor Franz Magnis-Suseno SJ (1936) juga dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya, memang dikenal ‘njawani", walau bukan orang Jawa. Meski keturunan Jerman dan lahir di Jerman, namun Romo Magnis sudah seperti orang Jawa. Sebagai ilmuwan dan budayawan, ia memang tekun mendalami budaya Jawa, sejak hijrah ke Indonesia dan tinggal di Yogya, 1961. Ia menambah nama Jawa, yaitu Suseno di belakang namanya, setelah memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1977.
Menurut Romo Magnis, sikap “eling” juga merupakan tanda kesungguhan keyakinan beragama. "Eling" atau "tahu diri" adalah sikap toleran yang sebenarnya. Artinya bahwa walau kita meyakini kebenaran ajaran agama kita, namun bukan urusan kita mencampuri ajaran agama yang tidak sepaham dengan kita.
"Tahu diri" berarti menyadari keterbatasan sebagai manusia. Juga menyadari bahwa setingi-tingginya pengetahuan manusia namun tetap saja terbatas, karenanya jangan mencampuri urusan keyakinan orang lain.
Menjadi tanggung jawab pihak agama, untuk mengembangkan sikap “eling” atau tahu diri. Orang yang tidak tahu diri adalah orang-orang fanatik yang menyejajarkan dirinya setara dengan Tuhan, sehingga seenaknya sendiri mengutuk dan mengganggu keyakinan orang lain.
Berdasarkan prinsip yang diyakininya di atas, tampak bahwa Romo Magnis tidak bisa lagi berdiam diri terhadap masalah-masalah intoleransi di Indonesia. Di tengah pro kontra atas protes Romo Magnis, bagaimanapun masalah intoleransi beragama di Indonesia, sudah tergolong akut dan perlu disikapi dengan serius. Alasan bahwa di negara manapun di dunia juga terjadi intoleransi, tidak bisa dijadikan alasan pembenaran atas perlakuan tak adil terhadap kaum minoritas.
Walentima Waluyanti
Nederland, 20 Mei 2013
{backbutton}