Hitler Baik, Paus Jahat
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Sejarah masa kini mencatat bagaimana kejahatan Hitler. Tapi di masa kekuasaan Hitler, rakyat Jerman memuja Hitler sebagai pahlawan mereka. Dan yang namanya pahlawan, secara simpel disimpulkan pastilah baik. Begitu juga Paus. Sebagai pemimpin agama, mestilah dia orang baik. Tapi tidak demikian bagi orang-orang yang anti Paus. Mereka mengatakan “Paus itu orang jahat. Orang disarankan pakai kondom supaya tidak tertular AIDS....eehhh Paus malah mengeluarkan larangan pakai kondom!”.
Kita sering memvonis orang secara hitam putih. Dia orang baik, atau dia orang jahat. Sekali seseorang dipuja, maka orang itu seakan tak tercela. Dan sekali kita tidak menyukai seseorang, maka kebaikan apapun yang dilakukannya, tetap saja orang itu salah.
Hitam putihnya jahat atau baik biasanya terwakili dengan kata “pokoknya”. Pokoknya dia orang baik, nggak tahu kenapa, pokoknya saya suka dia. Atau, pokoknya dia salah. Pokoknya dia jahat. Pokoknya saya tidak suka dia....titik.
Wah, kalau sudah pakai kata “pokoknya” maka palu vonis pun sudah diketuk. Kita tak sudi lagi melihat nuansa sisi kemanusiaan lain di luar garis “pokoknya baik” atau “pokoknya jahat”.
Karena itu menarik membaca pernyataan sutradara dan penulis skenario film Oliver Stone dalam menilai tentang baik dan jahat. Komentarnya tentang Hitler, “Kita tidak bisa menilai orang hanya jahat atau baik. Hitler adalah produk dari serangkaian tindakan, ia merupakan bagian dari sebab-akibat”. Oliver Stone tidak bermaksud memberi citra positif pada Hitler. Pernyataannya itu ditekankan dalam konteks perlunya obyektivitas dalam menilai sesuatu.
Dalam posisinya sebagai sutradara dan penulis skenario film, obyektivitas itu penting. Terlebih dalam pembuatan film sejarah. Peraih 3 Academy Awards yang pernah menelurkan antara lain film JFK, Nixon, George W Bush dan Fidel Castro ini, kembali membuat film sejarah bertitel “The Secret History of America” tentang Hitler, Mao Zedong, Stalin dan Harry Truman.
Menurut Oliver Stone, pendekatan sejarah (untuk membuat film) tidak bisa dilakukan, tanpa adanya empati terhadap orang yang dibenci. Ia, kita semua, siapapun tentu saja membenci perbuatan Hitler dan tidak perlu berempati pada perilaku psikopat. Namun dalam posisinya sebagai penulis skenario film, Oliver Stone dituntut untuk 'dingin dan berjarak' dengan perasaan benci itu. Tanpa empati kepada obyek yang ditulisnya, maka penulis skenario akan kehilangan netralitas yang diperlukan dalam menyusun cerita.
Sejarah akan menjadi berat sebelah jika diceritakan secara subyektif oleh si pencerita. Maka obyektivitas menjadi syarat mutlak. Yaitu kemampuan menilai sesuatu secara jernih, rasional dan proporsional, tanpa disertai sentimen maupun interest pribadi.
Dan kisah sejarah seorang tokoh akan menjadi kisah kosong kering kerontang, tanpa disertai empati yaitu kemampuan menyelami perasaan seseorang.
Film, tulisan, karya esek-esek dan perselingkuhan dianggap negatif oleh sebagian orang. Bisa ya. Tapi bisa juga tidak, misalnya dengan penyajian sisi “human interest” di baliknya. Anti dan simpati akan muncul. Itu biasa. Namun suka atau tidak suka, diakui atau tidak, disadari atau tidak, karya yang baik (baik karya mahalan maupun murahan) akan selalu mampu mencuatkan sisi “human-interest” tanpa kesan dipaksakan. Dan itulah point utamanya.
Jika sisi “human interest” ini terasah baik, maka rasa empati dan obyektivitas juga semakin terasah – dan itu tidak selalu harus diperoleh melalui kajian berat njlimet, atau kisah tentang keluhuran budi.
Pengkhotbah agama eks penjahat yang telah bertobat, tahu betul setiap kata yang ia ucapkan tentang “kejahatan” dan “pertobatan”. Itu bukan kata-kata kosong. Karena dirinya sendirilah si pelaku langsung. Dan karena khotbahnya bukan kata-kata kosong, maka khotbahnya mampu meresapi umat. Bandingkan dengan pengkhotbah yang hanya sekedar menyampaikan pesan retorik keteladanan semu, klise dan kosong tanpa penghayatan.
Obyektivitas dan empati....dua kata yang nyaris terkikis pengejawantahannya di jaman ini. Pendapat Oliver Stone itu sungguh berharga untuk direnungkan.
Sisi ego manusia yang sering ingin merasa benar sendiri, tak mau kalah, seringkali mengabaikan obyektivitas dan empati dalam bersosialisasi dengan sesama.*** (Penulis: Walentina Waluyanti)
Artikel terkait:
Mengerikan! Rumah Jagal Pemusnah Manusia!
Walentina Waluyanti
Nederland, 11 Januari 2010
{backbutton}