Fantasi dan Rahasia Kemenangan di Perang Dunia II (Mengulas “Bikin Roket, Jangan Bikin Puisi” Pepih Nugraha)
Penulis: copyright @ Walentina Waluyanti de Jonge – Nederland
Wartawan Kompas, Pepih Nugraha menulis artikel berjudul “Bikin Roket, Jangan Bikin Puisi”. Judul ini dijelaskannya terinspirasi dari judul berita Eramuslim.com berjudul “Wahai Muslim, Buatlah Roket, Nuklir, Bom, dan Jangan Buat Puisi!”
Saya percaya tulisan di atas tidak bermaksud mengecilkan arti puisi. Seperti yang dikatakan Pepih Nugraha, tulisan di atas adalah ekspresi dari “pemberontakan” pemikiran terhadap keadaan dunia Arab yang terlena, yang kalah dalam perlombaan teknologi dibanding dunia Barat. Uraian tentang ini dipaparkan dengan jelas oleh Pepih Nugraha di dalam tulisannya.
Bahasan Pepih Nugraha itu juga memunculkan wacana lain. Ingin memenangkan persaingan global? Kuncinya adalah membudayakan penguasaan teknologi. Teknologi adalah pengejawantahan akal dan logika. Paradoks dengan sifat teknologi, puisi diidentikkan dengan sifat yang khayal, dunia fantasi, hal-hal yang sentimental emosional. Sehingga efeknya memang menjadi paradoksal, jika keduanya disandingkan “bikin roket, jangan bikin puisi”. Timbul kesan adanya disharmoni antara dunia fantasi dan dunia logika. Namun betulkah demikian? Apakah fantasi, dunia khayal yang identik dengan puisi, adalah tidak sepenting teknologi?
Pengaruh puisi dalam peradaban
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, puisi adalah hasil jiwa penyair. Dan seperti sifat jiwa seorang anak yang ditentukan oleh sifat orangtuanya dan sifat pergaulan sekelilingnya, demikian pula jiwa penyair dibentuk oleh masyarakat di tempat dan di zamannya.
Masyarakat yang dibesarkan di dalam budaya puisi lama, di antaranya pantun, terlihat jejaknya pada masyarakat Minangkabau. Di dalam masyarakat tradisional Minangkabau, secara turun-temurun generasinya terbiasa menyimak petuah-petuah keagamaan dan adat melalui pantun.
Petuah-petuah melalui pantun ini, langsung atau tidak langsung, akhirnya membentuk watak suatu masyarakat. Salah satu hasil dari tempaan kultur Minangkabau, tercermin pada figur yang terkenal dengan integritasnya dan ‘politik putih’-nya, yaitu Bung Hatta.
Dari hal di atas bisa terlihat bahwa peran penyair di dalam kultur Minangkabau, sadar atau tidak, bisa menentukan arah peradaban.
Hal di atas membuktikan kehandalan masyarakat Melayu dalam mengokohkan peradaban linguistik mereka. Bahasa Melayu di masa lalu kemudian tersebar pemakaiannya di antara suku-suku lain di Indonesia. Tidak hanya di kalangan orang Melayu. Sehingga bahasa Melayu kemudian diakui sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini.
Puisi sebagai hasil jiwa penyair adalah salah satu bentuk komunikasi yang mengandung unsur-unsur kualitas estetika di dalam berbahasa, disampaikan secara simbolik dan mempunyai makna.
Unsur-unsur estetika dalam puisi, rupanya tak hanya menjadi bagian dalam seni berbahasa saja. Ilmuwan Albert Einstein mengatakan, matematika sebagai landasan Ilmu Teknologi, juga bisa disebut puisi.
Kata Albert Einstein, “Matematika murni, di dalam caranya, adalah PUISI dari ide-ide logika.” Dan ‘puisi matematika’ ini adalah pancaran jiwa Einstein yang langsung atau tidak langsung, terbentuk dari hasil peradaban masyarakat dan tempat di mana ia hidup.
“Fantasi” sebagai senjata puisi dan teknologi
Peradaban masyarakat bisa terbentuk dari tradisi mengapresiasi pantun (bentuk puisi lama), seperti pada masyarakat Melayu. Sebaliknya perkembangan peradaban masyarakat juga ditentukan oleh sejauh mana masyarakat itu berani mendobrak “puisi konvensional”. Dalam arti tidak begitu saja terus mau “dinina-bobokan” oleh adat lama, dan enggan menerima perubahan zaman. Contohnya, Einstein dengan gagah mendobrak teori-teori lama melalui revolusi pikirnya. Yaitu melalui penemuan-penemuan teorinya.
Keberanian mendobrak kemapanan budaya, kuncinya awalnya adalah keberanian melakukan revolusi pikir, yang dimulai dari hal sederhana yaitu FANTASI, yang juga merupakan senjata seorang penyair. Fantasi itu akan lebih berhasil-guna, jika disertai kemampuan mewujudkan konsep yang ada di pikiran, menjadi hadir di alam nyata. Dan akhirnya bisa didaya-gunakan secara bermanfaat untuk hidup dan kehidupan. Contohnya, fantasi yang dikembangkan hingga melahirkan penciptaan teknologi.
Yang menarik, “fantasi” ternyata bukan hanya senjata para penyair. Sejarah mencatat, “fantasi:” juga adalah adalah salah satu kunci yang membuat sekutu berhasil memenangkan Perang Dunia II (1939-1945). Hingga akhirnya membuat Jerman bertekuk-lutut.
Ada kisah tercecer di balik Perang Dunia II yang dirahasiakan sekian lama. Sejak PD II berakhir di tahun 1945, tak banyak diketahui bagaimana pasukan Jerman dipecundangi oleh pasukan Inggris, salah satunya oleh senjata rahasia yang bernama FANTASI!
Bagaimana pasukan Inggris menaklukkan pasukan Jerman? Jawabnya adalah: “Senjata mereka bukanlah bom atau torpedo, tapi fantasi, logika, dan pengetahuan matematika.” (dari buku Feiten Die De Geschiedenis Veranderen).
Penguasaan teknologi memang penting. Tetapi senjata pamungkas itu akhirnya terletak di dalam manusia itu sendiri. Logika dan matematika sebagai senjata untuk memenangkan perang… okelah. Tapi fantasi? Bagaimana sekutu memenangkan PD II dengan bersenjatakan ‘fantasi’? Berikut ini flash back dari kisah historis itu.
Membobol kode mesin enigma
Pasca Perang Dunia II, terkuak skenario, ternyata Amerika pernah merencanakan ingin memborbardir Berlin, kalau Jerman tetap tidak mau menyerah. Namun skenario membom Berlin tak berlanjut, karena Jerman keburu takluk. Dan akhirnya perang bisa diperpendek, sekian banyak nyawa manusia tak perlu lagi berjatuhan. Ini semua karena peran orang-orang non-militer yang sukses memecahkan kode dari mesin enigma.
Mesin Enigma (Foto: Wikipedia)
Apa itu mesin enigma? Mesin enigma adalah mesin sistem kode elektronik dari tipe rotor machine. Bentuknya seperti mesin tik, tapi bedanya, mesin ini bisa menghasilkan lebih dari 10 milyar kombinasi. Mesin ini meng-kode-kan berita-berita dalam kombinasi huruf-huruf yang berbeda dari aslinya, yang kemudian diterjemahkan kembali. Prinsip kerja mesin ini ditemukan oleh seorang Belanda bernama Hugo Alexander Koch.
Mesin ini digunakan oleh militer Jerman dalam perang untuk mengirimkan kode-kode rahasianya. Rahasia di balik kode ini kemudian berhasil dibobol oleh pasukan Inggris. Sebetulnya Inggris bukanlah pembobol pertama. Di tahun 1930-an, tiga ilmuwan muda dari Polandia pernah juga berhasil membobol kode enigma dari Jerman, tanpa pernah diketahui oleh Jerman! Selanjutnya di tahun 1939, Polandia memberi cara kerja dari model Enigma mereka kepada Inggris dan Perancis. Inggris kemudian menemukan metodenya sendiri, dalam hal pemecahan kode enigma.
Dari kode-kode rahasia yang dikirim oleh Jerman, bisa diketahui strategi dan posisi mereka. Dan tim yang ditugaskan untuk memecahkan kode-kode rahasia Jerman itu, bertugas bukan di markas militer. Tapi hanya di sebuah rumah kecil di Bletchley Park di Buckinghamshire. Tim ini dipimpin oleh Profesor Alan Turing.
Di rumah kecil inilah tim ini secara rahasia membobol pesan-pesan yang dikirim oleh Jerman kepada pasukannya melalui mesin enigma. Pesan-pesan itu kemudian berusaha diutak-atik oleh tim, kemudian diuraikan. Dengan fantasi, mereka berusaha menebak arti deretan kode-kode itu. Untuk akhirnya diterjemahkan lalu disimpulkan.
Senjata tim Bletchley ini bukan torpedo dan bukan bom. Tapi hanya fantasi, logika, dan matematika.
Siapa sangka orang-orang yang bekerja sebagai “hacker” di balik mesin ini adalah orang-orang non-militer, tak mengenal disiplin militer, tak berpakaian militer, tak peduli pada struktur komando, bahkan cenderung suka mengejek militer?
Dan siapa sangka, justru dari orang-orang non-militer yang tak bersenjata ini, malah berhasil membuat Jerman bertekuk-lutut, dan mempersingkat berlangsungnya PD II?
Pemecahan kode-kode militer Jerman oleh Inggris, yang mencatat sukses paling esensial adalah di zona Laut Tengah dan di Lautan Utara Atlantik. Di zona ini kapal-kapal Jerman yang menyuplai bahan bakar dan bahan-bahan kebutuhan pokok untuk keperluan pasukan perangnya, satu per satu ditenggelamkan oleh pasukan Inggris. Keberhasilan pasukan Inggris menghabisi satu per satu konvoi kapal selam/kapal tempur Jerman, karena dari kode mesin enigma yang dibobol, pasukan Inggris bisa ‘mengintip’ rahasia pasukan Jerman. Misalnya berapa jumlah kekuatan kapal Jerman yang akan lewat di suatu zona, dan rute mana saja yang akan dilewati.
Operasi pemecahan kode oleh tim yang bekerja di rumah kecil di Bletchley, tentu saja dirahasiakan. Kelemahan Jerman adalah mereka percaya penuh kepada sistem kerja mesin enigma. Bahkan sampai kapal penyuplai bahan bakar untuk pasukannya dihabisi satu per satu, Jerman masih juga belum sadar, sudah dikerjai oleh Inggris melalui pemecahan kode enigma.
Sebagai kamuflase agar kerja tim di Bletchley tak terendus, Inggris mengeluarkan pernyataan palsu untuk mengelabui musuh. Inggris berbohong dengan menyatakan bahwa mereka telah mengembangkan cara baru, yaitu sistem radar yang bekerja di bawah air. Ini membuat Jerman jadi ciut. Jerman percaya bahwa kekuatan mereka melemah, dan konvoinya tumbang satu per satu dihantam Inggris, akibat sistem radar di bawah laut yang baru dikembangkan Inggris. Sehingga akhirnya Jerman menyerah. Jerman tak pernah tahu, semua kode rahasia mereka berhasil dibobol oleh tim di sebuah rumah kecil di Inggris. Churchil memerintahkan siapapun tak boleh membocorkan rahasia operasi tim Bletchley. Barulah di tahun 1975, pembobolan rahasia kode enigma ini dipublikasikan.
Ini adalah contoh bagaimana tidak sepele-nya hasil kerja dari ‘fantasi’ oleh tim di Bletchley. Jerman akhirnya takluk oleh hasil fantasi orang-orang non-militer. Penyair-penyair Melayu mengembangkan fantasi melalui pantun dan menyelipkan pesan moral di baliknya, yang akhirnya memengaruhi peradaban, bahkan melahirkan bahasa nasional. Rendra harus kerap berurusan dengan pihak yang berwajib di masa Orde Baru, akibat imajinasi kata-kata puitisnya yang bersandar pada realitas sosial.
Foto: Penyair W.S. Rendra
Dan dengan fantasi pula Einstein melahirkan teori-teorinya. Berdasarkan teorinya, penemuan bom-atom dikembangkan, meski kemudian disesalinya, karena disalah-gunakan untuk menghancurkan sesama.
Bikin roket, bikin puisi juga
Fantasi bisa menstimulir daya kreasi, dari puisi sampai teknologi. Sehingga jika berkenan, maka perkenankanlah saya memplesetkan judul tulisan Pepih Nugraha, “Bikinlah roket, dan bikinlah juga puisi… jika itu bisa mengasah kearifan.”
Penguasaan teknologi (wujud kecerdasan intelektual) tanpa disertai kecerdasan emosi, bisa membawa kepada kesesatan. Kombinasi antara kualitas budi pekerti dan kecerdasan pikir? Ini seperti kedengaran begitu utopis dan surgawi. Tapi figur-figur semacam ini bukannya tidak nyata. Dan watak seperti inilah yang diharapkan dari para generasi pembangun.
Penajaman kemampuan Ilmu Pasti untuk penguasaan teknologi memang penting. Dan ilmu eksakta yang dikombinasikan dengan kehalusan budi penyair melalui puisi: media tempat penyair mengenali jati diri manusia, mengasah rasa kemanusiaan… mengapa tidak?
Orang boleh apatis terhadap nilai-nilai hukum dan norma, dan ingin mengubahnya. Orang boleh meragukan penegakan hukum buatan manusia, namun tetap tak bisa menafikan hukum alam. Namun tetap saja ada hukum yang tak bisa diragukan, pasti berlaku. Yaitu setiap pelaku kebaikan maupun kebatilan, cepat atau lambat, akan menerima ganjaran sesuai perbuatan masing-masing. Ini memang sudah menjadi ‘rumus hukum alam’. Dan rumus ini sudah menjadi kodrat alam yang mustahil untuk ditiadakan.
Soal penguasaan teknologi seperti roket, nuklir, pesawat nirawak, hanyalah hasil kepandaian otak manusia. Namun faktor penentu kemenangan (atau kehancuran) dalam kancah persaingan dunia, akhirnya terletak di dalam diri manusia itu sendiri. Tanpa manusia yang tabah dan tekun berkomitmen pada nilai-nilai kebaikan, maka semua perangkat canggih tadi akan melenceng fungsinya, dari manfaat menjadi mudarat.
Dunia boleh jungkir balik dengan segala tipu-muslihat dan kelicikan. Namun, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih berbahagia orang yang ingat dan waspada. Ini kata Ranggawarsita, pujangga abad ke-19, yang tanpa perlu dibuktikan pun, namun saya percaya akan kebenarannya.
Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Artikel terkait:
Mengerikan! Rumah Jagal Pemusnah Manusia!
Kota yang Menelan Nyawa 19.000 Serdadu Amerika
Penulis: Walentina Waluyanti
Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"
{backbutton}