Episentrum Korupsi
Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Siang itu saya berjalan di daerah Rasuna Said, Kuningan Jakarta. Saya melewati sebuah gedung tinggi megah. Tulisan besar ‘Bakrie Tower’ di depan gedung, tampak mencolok. Refleks, kamera saya bidikkan ke gedung megah milik konglomerat, mantan menteri, dan kandidat capres 2014, Aburizal Bakrie. Tiba-tiba seorang petugas berseragam mendatangi saya.
Petugas itu menegur, ‘Kenapa bikin foto di sini? Punya ijin, nggak? Tujuannya apa? Mbak tahu nggak, di sekitar sini dilarang memotret tanpa ijin!’
Saya baru tahu kalau foto-foto di pinggir jalan saja dilarang. Harus pakai ijin segala. Apakah harus dijawab saya sudah minta ijin pada Tuhan? Saya jelaskan, saya bukan penduduk Jakarta. Karenanya, foto ini cuma untuk kenang-kenangan. Petugas itu maklum. Untung saja tidak pakai acara sita kamera.
Dari Bakrie Tower, saya memasuki gedung di sebelahnya. Namanya gedung Epicentrum. Di dalamnya ada sentra bisnis, ada bermacam kantor, bank, cafe/restaurant, dan tempat perbelanjaan.
Gedung Epicentrum di Kuningan ini memang mewah. Tapi masih kalah wibawa dengan epicentrum satu lagi. Letaknya juga di Kuningan. Dan lebih menarik untuk dibicarakan.
Siapa tak kenal episentrum anti korupsi di Indonesia? Yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Kuningan.
KPK sebagai episentrum anti korupsi, salah satu tugasnya adalah mengidentifikasi di manakah sebetulnya epicentrum korupsi. Di manakah sebetulnya titik-titik fokus terjadinya korupsi di Indonesia?
Foto: Penulis di depan Bakrie Tower
Pernyataan Bambang Widjojanto di ILC tentang episentrum korupsi di Indonesia, relevan dengan rumor keterlibatan putra presiden dalam skandal Hambalang. Dugaan bahwa putra SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) ikut kecipratan dana Hambalang, masih harus dibuktikan kebenarannya. Meski belum terbukti, tuduhan terhadap Ibas yang nota bene inner circle kekuasaan, makin menguatkan keraguan tentang bersihnya level teratas republik. Ibas sendiri membantah bahwa ia menerima duit dari proyek Hambalang. Katanya, 'Itu tidak benar 1000%.' Mertua Ibas, Menko Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa ikut membela, katanya, 'Fitnah terhadap Ibas, sangat kejam.'
Tentang keterlibatan penguasa sendiri dalam beberapa skandal korupsi, belum ada yang terang-terangan memaparkan bukti. Kalaupun ada bukti, penyidikan hanya terfokus pada pelaku di lapangan. Namun tidak membidik langsung ke pembuat kebijakan koruptif, sampai pada level tertinggi. Masih sulit menepis kecurigaan publik tentang keterlibatan kekuasaan dalam beberapa kasus korupsi. Menuduh terkontaminasinya kekuasaan tanpa bukti valid, adalah delik yang bisa dipidana. Publik hanya bisa mereka-reka mencari jawabnya.
Foto: Menuju gedung Epicentrum, Kuningan
Karenanya, menarik menyimak ucapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Walau tidak secara langsung menuding, namun Bambang Widjojanto menggambarkan letak episentrum korupsi. Di celah manakah sebetulnya kekuasaan itu ‘bermain’? Menurutnya, episentrum korupsi sebetulnya terletak di semua titik yang memiliki ‘power’. Akibat biaya politik yang tinggi, kekuasaan cenderung menggunakan kekuatan yang dimilikinya, yang tujuannya antara lain untuk menghidupi partainya. Demi menghidupi partai, diperlukan ‘high cost’, dan dari mana uang itu diperoleh? Untuk menutupi tingginya biaya politik inilah terjadi ‘abuse of power’. Si pemegang kekuasaan menyalahgunakan kekuasaannya demi memperoleh kucuran uang.
Yang dikatakan Bambang Widjojanto itu identik dengan hampir semua modus dalam kasus korupsi yang diduga melibatkan penguasa. Beberapa korupsi di level atas mengindikasikan adanya kebijakan koruptif yang didisain sedemikian rupa sehingga tampak rapi berbungkus hukum. Ini tentu sulit untuk dibuktikan.
Kalau pun korupsi di level atas itu bisa dibuktikan, pertanyaannya adalah, beranikah KPK menyeret pelakunya? Jika ada bukti yang mengarah pada keterlibatan Ibas, beranikah KPK bertindak? Bukti permulaan bisa ditelusuri melalui pernyataan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat.
Anas Urbaningrum & Ibas Yudhoyono (Foto: Tempo)
Anas Urbaningrum yang merasa SBY memperlakukannya bak ‘habis manis sepah dibuang’, mulai membuka ‘buku’-nya, seperti yang dijanjikannya. Anas seakan tak menerima kesetiaannya pada partai telah dilecehkan, kini meraung seperti singa terluka.
Dalam wawancara, Anas bercerita terkait rumor yang mengaitkan Ibas dengan kasus Hambalang. Kata Anas, 'Kalau itu tanya Pak Amir Syamsuddin. Karena waktu itu saya hanya ikut rapat, mendengarkan. Pak Amir pertama kali meminta keterangan atau informasi dari Nazaruddin tentang aliran-aliran uang salah satunya ya, dan memang jawaban Nazaruddin mengejutkan, dia menyebut beberapa orang yang menerima uang itu.' Amir Syamsuddin (kini Menteri Hukum dan HAM), ketika itu menginterogasi Nazaruddin dalam kapasitas sebagai Sekretaris Dewan Kehormatan partai. Lalu Anas mengisyaratkan siap buka-bukaan, katanya, 'Kalau nanti Pak Amir tidak bersedia menjawab, saya yang menjadi cadangannya.'
Anas mengungkapkan, pengakuan Nazaruddin itu disampaikan ke Majelis Tinggi partai, termasuk dirinya, Amir Syarifuddin, dan SBY, di rumah SBY di Cikeas. Pengakuan Nazaruddin ini sebetulnya sudah pernah diberitakan media di tahun 2011. Itu sebabnya Ibas menyebut tudingan Anas terhadapnya sebagai, 'Lagu lama yang diulang-ulang.'
Beberapa media menulis, SBY sangat marah ketika Nazaruddin menyebut Ibas ikut menerima dana Hambalang. Saking marahnya, SBY menggebrak meja hingga dua kali. Gebrakan kedua sampai membuat meja terpelanting.
Foto: kabarnet.wordpress
Setelah satu setengah tahun berlalu, rumor tentang Ibas tak kunjung padam, malah semakin terang. Entah akan seperti apa amukan SBY atas dokumen yang baru saja beredar di media. Tak pelak lagi, dokumen ini mempermalukan dan mencoreng citra pemerintahan SBY, yang selama ini dikenal dengan politik pencitraan-nya. Dokumen ini diklaim sebagai aliran dana Hambalang, mengindikasikan dugaan keterlibatan Ibas. Transaksi dalam dokumen itu mencatat rincian, bahwa Ibas menerima US$ 900 ribu, yang diberikan dalam dua tahap oleh staf Nazaruddin bernama Amin R dan Bahri. (Tempo, 27/2/2013).
Buah simalakama seolah dilemparkan oleh Anas buat KPK. Bernyalikah KPK mendekati episentrum korupsi? Jajaran pimpinan KPK, Abraham Samad cs, diangkat oleh presiden. Dan presiden juga berwenang memberhentikan mereka. Walau KPK katanya independen, tapi independensi KPK masih kabur untuk dimaknai dengan jelas. Membidik Ibas, rasanya membuat para pimpinan KPK dalam posisi maju kena, mundur kena. Betapa ruwet urusan bersih-bersih di episentrum korupsi ini.
Walentina Waluyanti
{backbutton}