Emansipasi Rasa Terasi
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Catatan pembuka:
Lukisan di bawah ini adalah lukisan karya penulis Walentina Waluyanti, yang dipersembahkan untuk memperingati Hari Kartini, hari emansipasi wanita Indonesia, sekaligus sebagai ilustrasi artikel saya berikut ini.
Lukisan karya Walentina Waluyanti, Painting "Indonesian Woman" by Walentina Waluyanti
Seorang wanita Indonesia yang bekerja sebagai pilot pernah ditanya seputar profesinya. Menurut pengalamannya, apa kesulitannya kalau wanita jadi pilot? Jawabnya, biasanya dia lebih suka para penumpang tidak tahu kalau pesawat itu dipiloti oleh seorang wanita. Kuatirnya kalau itu malah bikin cemas para penumpang. Reaksi penumpang bisa macam-macam. "Hah! Cilaka dua belas! Sudah jadi perempuan, jadi pilot pula bah! Yang bener aja, perempuan kok nyetir pesawat, lha wong parkir mobil aja ndak bisa!?".
Joke semacam ini bukan cuma di Indonesia saja. Senada dengan itu, candaan semacam ini juga ada di Belanda. Di sebuah toko di Amsterdam mata saya tertumbuk pada tulisan yang terpampang di selembar poster: “Perempuan sudah tidak bisa ngomong apa-apa lagi tentang emansipasi kalau mereka disuruh parkir mobil”. Tentu bukan soal parkir mobil-nya yang mau digarisbawahi. Dan tentu saja soal emansipasi tidak bisa disederhanakan dengan ironi apakah wanita mahir atau tidak mahir memarkir mobil.
Lelucon di atas seakan refleksi, bagaimana pria melihat ketidakberdayaan wanita, yang ingin memperjuangkan sesuatu yang kontradiktif dengan kodrat kewanitaannya. Tidak peduli apakah bagi pria barat, pria timur, anggapan bahwa wanita itu makhluk lemah, adalah anggapan universal. Di mana-mana ya sami mawon alias podo wae. Emansipasi dan gerakan feminisme ini memang punya dua sisi. Di satu pihak intinya perjuangan wanita untuk memperoleh kesetaraan hak dengan pria. Di lain pihak, topik emansipasi ini sering menjadi bahan olok-olok sebagian pria.
Saya terhenyak ketika seorang pria Belanda mengatakan (bukan bertanya) dengan sok tahu bahwa di Indonesia belum ada emansipasi. Bagaimanapun dangkalnya, alasan bahwa pria asing mencari wanita Indonesia karena kecantikannya yang eksotis, adalah alasan yang masih lebih baik. Ini lebih baik daripada daripada alasan yang bikin hati pedih. Yaitu alasan mereka mencari wanita Indonesia, karena mengira wanita Indonesia belum mengenal apa itu emansipasi. Sebagai wanita Indonesia, rasanya sedih melihat bagaimana wanita dan nilai emansipasi diukur dengan begitu dangkal.
Bukan sekali dua kali, di Belanda sini saya sering ditanya apakah wanita Indonesia tahu apa itu emansipasi? Ah, saya geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan itu. Begitu primitifkah negeriku di mata mereka?
Mereka tidak tahu. Di dunia barat sampai sekarang para wanita masih berkoar-koar dengan gerakan feminisme. Padahal jauh sebelumnya sejak abad 19 emansipasi di Indonesia sudah diperjuangkan oleh seorang wanita lemah lembut, manis dan kecil mungil. Semua itu diperjuangkannya dalam diam dengan penuh kelembutan, namun menyimpan kekuatan tersembunyi disertai kedalaman berpikir.
Mereka masih ribut dengan issue soal layak tidaknya seorang wanita jadi pemimpin negara, sementara Indonesia sudah pernah dipimpin oleh perempuan. Jauh sebelum itu kita juga mengenal Tjoet Nyak Dien wanita perkasa yang memimpin langsung sebuah pertempuran di Aceh di tengah para lelaki.
Ada anggapan umum bahwa emansipasi di Indonesia belum semaju emansipasi di barat. Betulkah begitu? Saya melihatnya dari sudut lain. Ini bukan soal maju atau belum maju. Menurut saya emansipasi di Indonesia memang lain “rasanya”. Tetapi tidak relevan kalau dikatakan emansipasi di Indonesia tidak semaju di negara barat. Keduanya tidak bisa dibandingkan begitu saja secara “tumpek blek”. Emansipasi bagi wanita Indonesia memang “lain”. Itu betul. Emansipasi wanita Indonesia yang dibesarkan dengan nasi, lalapan dan sambel terasi, tetap lain dengan emansipasi wanita barat yang dibesarkan dengan roti, keju dan kentang.
Sejak kecil, tumbuh dan mulai mengerti apa itu emansipasi, di benak wanita Indonesia ada visualisasi khusus yang melekat kalau berbicara tentang emansipasi.
Ekspresi Kartini yang lembut, gelungan sanggul sederhana, senyum yang sejuk, raut yang menguatkan sosok keibuan, tatapan mata yang teduh, penuh kasih sekaligus cerdas.
Itu belum ditambah cara bertutur RA Kartini dalam surat-suratnya yang puitis, indah namun penuh kedalaman, bisa keras tapi tetap santun, serta mampu menunjukkan harga dirinya sebagai wanita dari bangsa yang terjajah.
Hebatnya lagi surat-surat yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), ditulis Kartini dalam bahasa Belanda yang fasih, walaupun tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Wanita lembut yang cerdas, santun, punya harga diri dan berkemauan keras ini, tak bisa dielakkan adalah visualisasi yang mengilhami dan membayang-bayangi emansipasi wanita di Indonesia.
Semua visualisasi ini bagaikan mengindoktrinasi wanita Indonesia sejak kanak-kanak sampai mengerti dan tahu apa itu emansipasi. Ini seolah menjadi bayang-bayang sekaligus mengimbangi segala macam doktrin modern tentang emansipasi.
Visualisasi ini ditambah tradisi, budaya dan adat istiadat kemudian menciptakan ramuan emansipasi ala wanita Indonesia. Sehingga ramuan emansipasi ala wanita Indonesia adalah ramuan antara kelembutan dan kekuatan yang tersembunyi, emansipasi khas Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan emansipasi ala barat.
Bagaimanapun modern dan tingginya karir wanita Indonesia, tapi secara sadar mereka melakoni emansipasi dengan gaya khas Indonesia. Tahu apa itu emansipasi tapi juga menerima (baca: bukan “nrimo”) kodratnya sebagai wanita.
Emansipasi khas Indonesia tadi membuat mereka punya rambu-rambu dan alarm. Ini membuat mereka memahami emansipasi secara tidak kebablasan, seperti yang banyak saya lihat di Belanda.
Secara kasat mata emansipasi di Belanda berjalan begitu radikal. Sebegitu radikalnya sampai kadang kebablasan. Wanita ingin melakukan apa saja yang mereka mau dengan sebebas-bebasnya. Kebebasan itu hampir tanpa takaran seakan ingin melawan hakikat kodrati wanita. Begitu kebablasannya, sehingga esensi emansipasi yang mestinya menghormati hak yang sama antara pria dan wanita, sering terkesan “tidak menghormati hak sesama manusia”.
Semaju-majunya emansipasi, namun di mana-mana baik di negara maju maupun di negara dunia ketiga, masalah hak wanita selalu saja punya sisi yang belum tertangani.
Misalnya di Belanda masih diributkan tentang penghasilan wanita yang lebih rendah daripada pria untuk posisi yang sama. Para wanita Belanda juga masih memprotes soal promosi karir yang diskriminatif. Yaitu lebih memprioritaskan karyawan pria daripada karyawan wanita yang hamil atau wanita yang punya anak kecil. Juga masalah allochtonen vrouwen (wanita keturunan asing) yang dianggap sering kurang diperhitungkan di dunia lapangan kerja.
Dan masih sederet masalah lain, yang membuat geram Saskia Wierenga, ketua salah satu organisasi gerakan wanita, dan akhirnya teriak, “Belanda harus punya kementerian urusan emansipasi!”. Lho, kok baru sekarang teriaknya?
Kementerian urusan wanita di Indonesia sudah berapa kali ganti menteri, sementara Belanda yang semaju itu baru mau teriak-teriaksoal kementerian emansipasi? Itu yang bikin saya mesem-mesem kalau ditanya orang Belanda, “apakah wanita Indonesia mengenal emansipasi?”.
Biarpun begitu,harus diakui Indonesia sama repotnya. Berapa banyak wanita Indonesia yang haknya masih terampas, tertindas dan terpinggirkan? Emansipasi yang sebetulnya sudah hadir di Indonesia, mestinya hasilnya bisa dicicipi secara merata. Namun seperti juga di negara maju, problem yang berkaitan dengan hak-hak wanita di Indonesia, masih tetap jadi pekerjaan rumah yang rumit.
Para wanita yang punya “posisi kunci” di atas sana diharapkan punya kepedulian lebih terhadap nasib sesama wanita. Tolong ribut-ribut soal “bikini ratu kecantikan” disingkirkan dulu. Kaum Mak Pariyem, mBok Tukiyem, serta “kaum Marsinah” dari Sabang sampai Merauke...duh! Lihat! Kemarin mereka terseok-seok. Hari ini juga terseok. Kalau esok masih terseok juga...yang melihat saja pegal, apalagi yang melakoni. Tolong madu emansipasi itu dioptimalkan sistem distribusinya.
Seorang Raden Ajeng Kartini, yang kecil mungil dan lemah lembut saja bisa mendobrak keangkuhan kebijakan politikkolonialisme. Padahal kondisi di jaman itu masih serba terbatas. Di jaman yang lebih modern ini, mestinya para wanita Indonesia di atas sana bisa berbuat sesuatu yang lebih baik dari itu. Semoga!
Walentina Waluyanti
Nederland, April 2009
{backbutton}