Di Balik Matinya Hitler
Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Dor! Terdengar suara tembakan. Mendengar suara tembakan, ajudan bergegas masuk ke ruangan Hitler. Ia mendapati bosnya mati dengan posisi duduk hampir tegak. Terlihat lubang di kepala Hitler yang berlumur darah. Eva Braun terbaring tak bernyawa di sisinya dengan kaki terjulur di sofa panjang itu. Sebelumnya Hitler memerintahkan kepada pasukannya agar bunker itu bersama mayatnya segera dibakar jika ia mati. Tetapi pasukan Rusia sempat datang ke bunker dan memotret mayat Hitler, sebelum bunker itu dibakar pasukan Jerman. Begitulah yang sudah diketahui dunia tentang kematian Hitler.
Pernah ada media di Indonesia yang menghembuskan desas-desus tentang kuburan Hitler di Jawa Timur. Tak saya sangka ada juga yang menanggapi serius berita itu dan menelannya bulat-bulat tanpa filter. Tentu lain cerita kalau kebetulan ada orang tinggal di Jawa bernama "Mas Hitler" dan kuburannya ada di Jawa Timur. "Mas Hitler" dikubur di Surabaya? Okelah. Tapi sang Führer yang bernama Adolf Hitler, bukan Hitler made in Java... dan jelas bukan "Mas Hitler"!
Memang, banyak juga hal sensasional yang terjadi di dalam peristiwa bersejarah. Tetapi jangan sampai dibalik. Yaitu kisah sensasi diangkat ke permukaan, untuk diklaim sebagai kisah sejarah. Jika hal ini terjadi, maka kisah entertaint dikemas sebagai kisah sejarah — kisah hiburan dengan mengenyampingkan unsur ilimiah. Hitler bunuh diri di bunker bawah tanah di Berlin, bukan kisah dibuat-buat tanpa melalui proses penelusuran dan pengujian sederet fakta dan bukti.
Foto: Pintu masuk menuju bunker bawah tanah tempat persembunyian Hitler di Berlin.
Jangan lupa, peristiwa bersejarah sebagai bagian dari Ilmu Sejarah, adalah juga cabang dari ilmu pengetahuan. Dan semua cabang ilmu pengetahuan, termasuk Ilmu Sejarah harus bisa dilegitimasikan secara ilmiah dan rasional. Metodologi ilmiah yang digunakan dalam ilmu pengetahuan juga berlaku untuk menganalisis Ilmu Sejarah.
Penulis yang kreatif, bisa menyajikan kisah sejarah secara menarik. Tidak kering dan kaku. Tetapi ini tidak berarti bahwa kreativitas penulis itu membolehkannya mengabaikan fakta, bukti-bukti, dan metodologi ilmiah dalam menganalisis. Jika ada berita bahwa Hitler mati di Surabaya, mungkin berita itu bisa mendongkrak jumlah klik. Tetapi dapatkah berita itu dipertanggungjawabkan?
Penulis sejarah jangan membiarkan diri terseret oleh “jaman rating”. Mengutamakan sensasi, demi mendongkrak klik dan rating. Berapa friend kamu di FB? Berapa follower kamu d Twitter? Berapa jumlah klik tulisan kamu di blog anu? Begitulah era sekarang. Nyaris semua diukur dengan angka-angka.
Penulis sejarah sepatutnya tetap setia berada di koridor ilmiah. Meskipun kisahnya ia tulis dengan bahasa sederhana yang gayanya tidak ilmiah-ilmiah amat, namun kontennya tetaplah subjek ilmiah yang serius. Gaya penulisan hanyalah sekadar gaya, ciri khas penulisnya.
"Gaya" adalah satu hal yang berbeda dengan "konten" tulisan. Gaya apapun yang digunakan penulis sejarah, namun penulis harus tetap bisa mempertanggungjawabkan konten secara ilmiah.
Pertanggungjawaban kepada publik harus tetap dikedepankan dalam menyajikan fakta-fakta. Jika pun ada sesuatu yang sensasional yang harus disampaikan di dalam kisah sejarah, alasannya bukan karena kisah sensasional itu menarik perhatian. Tetapi memang kisah itu punya nilai historis. Kalaupun ada unsur sensasionalnya, ya karena memang begitulah faktanya. Dan fakta itu harus ditunjang oeh sumber-sumber terpercaya yang bisa dipertanggungjawabkan.
Saya pernah membaca ulasan yang tadinya saya pikir pasti menarik. Ehhh... tahu-tahu isinya membahas konon Bung Karno bisa menghilang; konon Bung Karno sebetulnya masih hidup; konon Bung Karno punya kaca mata tembus pandang yang bisa melihat perempuan berbaju lengkap sehingga terlihat telanjang…. Bagaimana reaksi Anda jika membaca ulasan semacam ini? Jika Anda orang sibuk dan punya akal sehat, maka Anda akan kesal. Anda kesal karena telah membuang-buang waktu untuk menyerap informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan sisi ilmiahnya.
Foto: Hitler dan Eva Braun
Jika sejarawan mengatakan Hitler bunuh diri bersama Eva Braun yang baru saja beberapa jam sebelumnya dinikahinya di bunker di Berlin — ini bukan hanya berdasarkan kesaksian atau penglihatan kasat mata saja. Bunker tempat Hitler bunuh diri, dalamnya 5 meter di bawah tanah, dilapisi beton dengan 30 ruangan. Sejarawan punya metodologi yang digunakan, sebelum menyimpulkan demikian.
Para sejarawan menggunakan metodologi, antara lain penggunaan berbagai sumber secara kritis, pengamatan dan deskripsi kemudian merumuskan dan menguji hipotesis. Bahkan setelah menggunakan metodologi ilmiah pun, para sejarawan tetap merasa tidak harus berada dalam batasan teori tersebut. Jika ada teori, fakta, dan variabel lain yang bisa memperlemah teori sebelumnya, maka teori sebelumnya akan gugur.
Ilmuwan sejati selalu membuka diri terhadap fakta-fakta baru…. namun harus kembali diuji lagi. Betulkah? Jadi jika ada yang menyatakan Hitler mati di Jawa Timur, belum ada satu pun metodologi ilmiah yang bisa membuktikannya.
Ketika pasukan Rusia menyerbu Berlin, Hitler sudah merasa bahwa detik-detik kekalahannya sudah dekat. Pasukan Rusia adalah pasukan yang sangat ditakuti Hitler. Maka ia memutuskan lebih baik mati daripada jatuh ke tangan Rusia. Hitler tahu bagaimana membaranya dendam kesumat Rusia terhadap dirinya. Ini membuat Hitler sadar dirinya akan "tercincang" habis jika sampai diserahkan ke Stalin.
Foto: Mayat Hitler ditemukan di bunker bawah tanah di Berlin.
Sebelum bunuh diri, Hitler menikahi Eva Braun yang sudah bertahun-tahun menjadi kekasihnya. Keduanya hanya sempat hidup sebagai suami istri sah selama kurang dari 40 jam di bunker itu. Penasihat Hitler sempat mengusulkan untuk melarikan diri. Tapi Hitler menolak. Ia tahu, tak ada jalan untuk lolos. Lalu ia pun membubuhi racun cyanide di gelasnya. Selanjutnya ia menembak kepalanya dengan pistol miliknya. Pistol itu jatuh di dekat kaki Hitler. Darah mengucur hingga membasahi karpet. Istrinya mengikuti cara Hitler. Meski tidak menembak kepalanya seperti Hitler, namun ia juga ikut minum racun cyanide. Keduanya tewas tanggal 30 April 1945.
Jelasnya, sampai detik ini penelitian ilmiah memang membuktikan Hitler mati bunuh diri di bunker di Berlin, bukan di Surabaya!***(Penulis Walentina Waluyanti de Jonge adalah anggota kelompok kerja sejarawan di KITLV/Indisch Letteren di Leiden, yang berfokus pada kajian sejarah Indonesia-Belanda pada masa kolonialisme).
Walentina Waluyanti, penulis buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"
{backbutton}