Tulisan ini telah dibukukan

Dari Gus Dur, Khadafy, Sampai Imelda

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Catatan penulis: Tulisan ini adalah rangkaian dari tulisan saya berjudul , klik:   RMS Tembak, Suharto Datang

Sebelum menjadi presiden, sebetulnya Abdurrahman Wahid, dikenal dengan nama Gus Dur, sudah sering ke Belanda. Di luar itu, kedatangan kepala negara dalam kapasitas sebagai pribadi, tentulah tidak terhitung sebagai kunjungan kepala negara.

Muhibah Gus Dur (sebagai presiden)darigusimelda1 web ke Belanda di tahun 2000, memang tidak tergolong kunjungan kenegaraan. Secara protokoler, kunjungan kepala negara ke luar negeri tidak semua bisa dipukul rata sebagai kunjungan kenegaraan. Kunjungan kenegaraan adalah kunjungan diplomatik seremonial ke negara sahabat yang dilakukan oleh kepala negara atas undangan pemimpin negara (sumber: Wikipedia dan MP-Bundels Ministerie van Defensie).

Ketika Gus Dur berkunjung ke Belanda tahun 2000, beritanya tidak begitu mencolok. Ada satu dua media yang memberitakan Gus Dur diterima Beatrix, anehnya di Google sulit untuk menemukan foto Gus Dur dan Beatrix. Bahkan sulit menemukan foto kunjungan Gus Dur di Belanda. Ini memberi kesan bahwa kunjungan Gus Dur ketika itu tidak seheboh berita kunjungan Suharto atau rencana kunjungan SBY ke Belanda. Padahal muhibah Gus Dur itu adalah muhibah presiden Indonesia setelah 30 tahun sebelumnya Belanda menerima kunjungan kenegaraan Suharto.

Kunjungan Gus Dur tahun 2000 dalam kapasitas sebagaidarigusimelda2 web presiden, tergolong “kunjungan kerja”, sedangkan rencana kunjungan SBY tergolong “kunjungan kenegaraan”. Dan mungkin itu pula yang membedakan “nilai berita”-nya. Kunjungan Gus Dur terkesan sepi berita (walau juga diwarnai unjuk rasa RMS/Republik Maluku Selatan), bukan saja karena tidak diwarnai berita sensasional, tapi karena kunjungan Gus Dur itu bukan “kunjungan kenegaraan”.

“Kunjungan kenegaraan” memang beda dengan “kunjungan kerja”. Kunjungan kerja (misalnya kunjungan Gus Dur ke Belanda di tahun 2000), adalah kunjungan yang dilakukan atas undangan kabinet c.q. perdana menteri, bukan atas undangan pemimpin kerajaan. Sedangkan rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bulan Oktober lalu, tergolong “kunjungan kenegaraan”, karena kedatangannya atas undangan ratu sebagai pemimpin kerajaan Belanda.

Pada kunjungan kerja, kepala negara menemui sang pengundang (kabinet) di kantor parlemen. Kepala negara bisa saja diterima ratu, tapi ini tidak wajib. Sedangkan kunjungan kenegaraan, secara protokoler otomatis ada penyambutan resmi oleh ratu/kepala kerajaan, ada acara khusus bertemu anggota keluarga ratu di istana (misalnya Ratu Juliana mengundang Ibu Tien ke kediamannya di istana Soestdijk).

Kunjungan kerja tidak disertai upacara-upacara protokoler yang njelimet, seperti pada kunjungan kenegaraan Suharto (Baca: “RMS Tembak, Suharto Datang”). Ketika Gus Dur datang ke Belanda dalam kunjungan kerjanya, Gus Dur tidak harus melakukan hal-hal protokoler yang sudah menjadi tradisi standar dalam “kunjungan kenegaraan”. Yaitu Gus Dur tidak perlu bersama ratu menginspeksi pasukan; tidak ada penyambutan militer dengan tembakan salvo, korps musik dan lagu kebangsaan; tidak ada hamparan karpet merah;  tidak menaruh karangan bunga di monumen nasional di Amsterdam; tidak saling memberi cindera mata; tidak  ada  perjamuan kenegaraan resmi dengan ratu; tidak ada acara pertemuan dengan anggota keluarga ratu; tidak diundang ke istana kediaman ratu...dan sederet seremoni lain yang memang lazim dalam aturan protokoler negara. Penyebutan istilah kepada kepala negara seperti “Paduka, Yang Mulia, Paduka Yang Mulia, Sri Paduka, Sri Baginda Raja/Ratu” adalah termasuk penyebutan standar dalam aturan protokoler kenegaraan.

Aturan protokoler kunjungan kenegaraaan yang dikenal sekarang ini adalah peninggalan tradisi abad 19 yang dimulai di Eropa. Aturan protokoler kunjungan kenegaraan, tercatat dimulai dalam kunjungan Ratu Victoria dan Pangeran Albert ke Paris di tahun 1840. Juga kunjungan Kaisar Napoleon III ke London. Ketika itu kunjungan tadi sudah memakai tradisi parade militer, perjamuan kenegaraan, tukar menukar cindera mata. Sejak itu tradisi diplomatik ini berkembang menjadi aturan protokoler kunjungan kenegaraan, yang sekarang berlaku secara internasional.

Kunjungan kenegaraan ini tentu saja tidak hanya melulu menjalankan hal-hal protokoler bak sandiwara diplomatik kosmetis. Di baliknya ada juga agenda dan misi politik yang berusaha “digolkan”. Misalnya persoalan hak-hak asasi manusia, masalah bantuan finansial, dan agenda politik lainnya.

Contoh kunjungan kenegaraan darigusimelda3 webyang fenomenal, karena berhasil menggolkan agenda politik, adalah kunjungan Imelda Marcos ke Libya, bertemu Moammar Khadafi.

Foto: Pertemuan Imelda dan Khadafi di Libya (Foto: Ramon Lopez)

Kunjungan ini termasuk unik, karena Ferdinand Marcos sebagai kepala negara mendelegasikan tugasnya bukan kepada menteri terkait, tapi pada sang istri. Terdengar kasak-kusuk, Ferdinand Marcos sering “memanfaatkan” kecantikan istrinya sebagai senjata pamungkas untuk memuluskan beberapa lobby politik yang alot. Betulkah?

Di luar itu, Imelda yang ambisius, memang dikenal ahli dalam me-lobby, lebih piawai daripada suaminya. Bong Bong, putra Marcos pun mengakui, ayahnya sering mengutus Imelda untuk mengatasi masalah diplomatik sulit, karena keluwesan ibunya itu. (Salah satu kisah tentang Imelda Marcos, Sukarno dan The Beatles, saya tulis di buku karya saya, "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen")

Moammar Khadafi dikenal sebagai pemimpin eksentrik. Imelda mantan ratu kecantikan yang dijuluki “kupu-kupu besi”, terkenal kejelitaannya. Pemimpin eksentrik ketemu wanita besi cantik jelita. Wah, bagaimana kira-kira isi percakapan antara keduanya?

Imelda dalam banyak wawancara selalu menuturkan ulang pertemuannya dengan Khadafi. Pemimpin Libya itu berkata pada Imelda, “Mrs. Imelda, I like you. Anda wanita hebat. Kenapa Anda tidak masuk Islam?”. Tampaknya itu gaya humor Khadafi yang tentu saja tahu Imelda berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Katolik turun temurun. Imelda senyum-senyum menjawab, “Wah, saya tidak tahu baca Al Qur'an”. Khadafi menjawab santai, “Saya akan mengajarkan Anda. Islam is peace. Islam is kind”.

Pertemuan antara Imelda dan Khadafidarigusimelda4 web itu akhirnya tiba pada saat negosiasi gencatan senjata. Imelda tentu tidak boleh lupa, ia datang ke Libya bukan untuk jalan-jalan. Ada agenda politik Filipina yang harus diperjuangkannya. Pokoknya bujuklah Khadafi itu, supaya menghentikan dukungannya dalam bentuk apapun, termasuk bantuan senjata buat kaum separatis di Filipina. Begitu kira-kira pesan Marcos yang dibebankan pada utusannya yang cantik itu. Lalu ketika negosiasi gencatan senjata antara pihak Filipina dan Libya menemui jalan buntu, akhirnya Imelda berkata, “Tapi Yang Mulia...Islam is peace. Islam is kind." Akhirnya Khadafi menyetujui dan menandatangani negosiasi gencatan senjata.

Itu tadi agenda politik Filipina yang dimuluskan melalui kunjungan Imelda. Kembali ke Gus Dur. Walaupun muhibah Gus Dur ke Belanda tidak tergolong “kunjungan kenegaraan”, dan “hanya” kunjungan kerja biasa, tapi tercatat menghasilkan sesuatu. Ketika itu Belanda mengucurkan bantuan dana sebesar 100 juta gulden kepada Indonesia. Selain itu Indonesia juga diberi keringanan hutang 100 juta gulden untuk tahun 2000, dan 100 juta gulden di tahun berikutnya. (Berita Radio Nederland, 4/2-2000)

Wah, memang berat jadi negarawan. Mau bertamu saja, mesti ada target diplomatik yang harus dicapai. Kalau tidak, bisa dituduh membuang-buang uang rakyat untuk sekedar jalan-jalan ke luar negeri. Jika kunjungan kepala negara tidak membawa hasil apa-apa, bisa jadi sebuah kunjungan kenegaraan hanyalah seremoni diplomatik mubazir.***(Penulis Walentina Waluyanti, historical book writer, anggota Indische Letteren/KITLV di Leiden yang berfokus pada kajian studi sejarah).

fr wwWalentina Waluyanti, penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"Sen"

About Me

{backbutton}

Add comment