Borgol Bambang Widjojanto

Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Catatan penulis: Artikel ini dibuat ketika belum ada keputusan pra peradilan terkait kasus KPK vs BG, yang kemudian akhirnya membuat status Komjen Pol. Budi Gunawan yang tadinya "Tersangka" menjadi bukan lagi "Tersangka".

Bung Karno sangat tersinggung ketika ia merasa ditangkap secara tidak pantas oleh Belanda. Ia memang tak diborgol. Tetapi tentara Belanda yang memberi instruksi padanya dengan mengokang senjata, dirasanya berlebihan. Dalam penangkapan itu juga ia diperintah agar memberi instruksi kepada Tentara Indonesia untuk segera menyerah. Maka Bung Karno berkata, “Apakah Anda menangkap saya sebagai Presiden Indonesia? Jika ya, maka perlakukan saya sebagai Presiden. Jika tidak, maka saya tidak bersedia melakukan perundingan apapun dengan Anda!” (Tentang hal ini saya tulis lebih lengkap di dalam buku karya saya “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan”.)

Pesan yang bisa ditangkap dari penangkapan Sukarno di atas, adalah ada perbedaan antara masalah etik (cara menangkap) dengan masalah hukum (dasar penangkapan).

Nah, sekarang kita tinggalkan era Sukarno, dan memasuki tahun 2015. Kasus yang mengemuka ketika Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW) ditangkap Bareskrim Polri (23/1-2015). Polisi dinilai lebay karena memborgol tangan BW dalam penangkapan itu. Tak pelak, aroma “balas dendam” dalam penangkapan BW, semakin menguat. Tindakan polisi memborgol Bambang Widjojanto, menuai banyak kritik.

handboei

Penangkapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri, 23/1-2015. (Sumber foto: articlewn.com)

Penangkapan BW memang tidak bisa disamakan dan sangat jauh berbeda dengan penangkapan Sukarno di atas. Namun ada titik persesuaian yang bisa diambil dari kedua kasus tersebut.

Titik persesuaian dari dua contoh kasus penangkapan di atas, adalah tentang perbedaan penangkapan terhadap seseorang sebagai pribadi dan penangkapan terhadap seseorang sebagai pejabat negara. Ketika polisi memborgol seorang pembunuh/teroris berbahaya dan memborgolnya, maka polisi melakukan hal yang benar. Karena si penjahat terindikasi telah melakukan penyerangan fisik berbahaya. Demi menghindarkan kejadian tak terduga dan demi keselamatan polisi sendiri, maka penjahat itu harus diborgol.

Penjahat tadi boleh diborgol bukanlah karena ia bukan pejabat negara, tetapi karena ia memang terindikasi bisa menimbulkan bahaya fisik bagi lingkungannya. Begitu pula, meskipun pejabat negara sekalipun, tetapi jika ia terindikasi bisa melakukan penyerangan fisik yang membahayakan; maka tak ada pilihan lain, pejabat ini pun memang harus diborgol. Tetapi jika seorang pejabat negara tak menunjukkan indikasi berbahaya, maka tak ada alasan bagi polisi untuk memborgolnya. Itu sebabnya pemborgolan yang dilakukan oleh polisi terhadap BW sebagai pejabat negara, dinilai oleh publik sebagai hal yang tidak etis.

Ketika polisi menangkap seseorang dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, walaupun “Tersangka”, tetapi bagaimanapun juga ia masih tetap menyandang status sebagai pejabat negara. Maka dalam kasus ini, terlepas dari apakah ia bersalah atau tidak, tetapi polisi harus tetap memperlakukannya sebagai pejabat negara. Pejabat negara artinya seseorang yang sedang menyandang status yang berhubungan dengan lembaga kenegaraan.

Etika ini juga berlaku bagi (mantan) kandidat Kapolri, Budi Gunawan. Jika kita andaikan saja KPK menangkap Budi Gunawan, maka KPK tetap tidak boleh memborgolnya. Karena simbol kelembagaan negara, yaitu POLRI masih melekat pada Budi Gunawan dalam kedudukannya sebagai Komisaris Jenderal Polisi. (Tentu lain cerita kalau "Tersangka" melakukan perlawanan fisik). Meskipun "Tersangka", tetapi prosedur penangkapan terhadap Budi Gunawan, harus tidak mengabaikan etika terhadap pejabat negara. Budi Gunawan tidak bisa diborgol (kecuali kalau melawan) karena kedudukannya sebagai pejabat pada lembaga negara yang harus dihormati, yaitu POLRI. Artinya, Budi Gunawan bisa saja ditangkap, tetapi secara etika, ia tak perlu diborgol.

Fokus yang harus dihormati dalam penangkapan pejabat negara, adalah penghormatan terhadap lembaga negara yang masih identik dengan jabatan yang sedang disandang. Fokusnya bukan kepada pejabat tersebut sebagai pribadi. Tetapi pada simbol lembaga negara yang masih melekat pada jabatannya. Lembaga negara adalah institusi yang harus dihormati oleh setiap warga negara, terlepas dari siapa pejabatnya. Mungkin saja  tindakan seorang pejabat mencoreng lembaga negara. Namun selama belum ada keputusan hukum tetap apakah “Tersangka” itu bersalah, maka simbol-simbol kelembagaan negara yang masih melekat pada jabatannya, haruslah tetap dihormati oleh polisi/penegak hukum yang menangkapnya.

BW1

Bambang Widjojanto memperagakan ketika ia diborgol saat ditangkap Bareskrim Polri. Widjojanto mendatangi Ombudsman di Jakarta, Kamis (29/1/2015), untuk melaporkan perkara penangkapannya. (Sumber foto: suarasulteng.com)

Ketika BW ditangkap, ia tidak sedang ditangkap sebagai Pak Bambang Widjojanto pribadi, tetapi sebagai seorang pejabat negara (komisioner KPK). Artinya yang sedang melekat pada pejabat tersebut adalah simbol-simbol kenegaraan. Dan inilah yang harus dihormati. Etika seperti ini masuk dalam ranah etik, bukan ranah hukum. Meskipun demikian, penegak hukum bukannya boleh begitu saja mengabaikan etika dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Berada di koridor etika dalam menjalankan tugas, adalah juga bagian dari sikap ksatria yang seharusnya dimiliki oleh penegak hukum mana pun.

Seorang pejabat negara seharusnya tidak diborgol saat ditangkap, tidak diatur secara eksplisit di dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi secara etis ini seharusnya dipahami. Oleh karenanya jika ada protes tentang pemborgolan terhadap BW, adalah tidak relevan jika ngeles dengan alasan, “Semua orang harus sama di mata hukum”.

Sayangnya pada beberapa kalangan sarjana  hukum sendiri, masih terjadi kerancuan pemahaman terkait hal ini. Ini terlihat pada acara ILC TV One yang dimoderatori oleh Karni Ilyas. Prof. JE Sahetapy dengan keras menegur polisi yang telah memborgol BW. “Itu tidak boleh!”, tegas Sahetapy ke arah polisi yang hadir di hadapannya. Kemudian ada seorang sarjana hukum yang membantah pendapat Prof. JE Sahetapy, “Lho, kan semua harus sama di depan hukum”. Nah, komentar sarjana hukum ini menunjukkan bahwa ia tidak bisa membedakan masalah etika dan perkara hukum.***(Penulis: Walentina Waluyanti)

Artikel terkait:

Bertemu KPK di Den Haag:Bambang Widjojanto Tak Boleh Bawa Istri

Episentrum Korupsi

fr wwWalentina Waluyanti, penulis buku  “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan”

About Me

{backbutton}

Add comment