FPI dan Puritanisasi Agama, Haruskah Berpotensi Anarkis?

Penulis: Walentina Waluyanti

Aksi FPI kembali ramai diberitakan. Yang baru diberitakan adalah bentrok warga Kendal dengan FPI (Kompas, 19 Juli 2013). Gerakan FPI didirikan 17 Agustus 1998, dalam menjalankan aksinya dikenal kerap bernuansa kekerasan.

Terlepas dari paradoksal-nya FPI  -  di satu pihak ingin menegakkan ajaran agama, di lain pihak FPI sulit menghapus citra anarkis yang telah telanjur melekat   -  namun FPI jelas mengklaim tujuannya. Yaitu ingin menegakkan hukum Islam. Tujuan FPI ini mengingatkan pada gerakan puritanisasi agama.

Puritanisasi agama berarti usaha untuk membersihkan kehidupan beragama dari semua unsur yang tidak berasal dari asaliah agama itu sendiri. Puritanisasi tidak perlu selalu berkonotasi negatif. Puritanisasi dapat berkembang dari usaha yang wajar dan hakiki dari setiap agama wahyu. Ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa segala bidang kehidupan, sesuai dengan ajaran-NYA.

betulkahweb1

Namun puritanisasi agama tanpa disertai “renungan kembali”, bisa berpotensi anarkis. Ada perbedaan antara “renungan kembali” dan “puritanisasi agama” . Yang pertama membatasi diri untuk menjaga, jangan sampai unsur-unsur manusiawi memalsukan pesan Ilahi. Sedangkan yang kedua mau menghapuskan unsur-unsur manusiawi itu.

Puritanisasi agama yang dilakukan dengan melepaskan dan mengingkari semua unsur kebudayaan, adat, tradisi dalam suatu masyarakat, maka ini artinya kelompok puritan itu juga melepaskan dirinya sendiri dari masyarakat. Maka terjadilah kelompok-kelompok puritan yang eksklusif, yang menempatkan puritanisasi agama adalah di atas segala-galanya. Dampaknya jelas. Bibit-bibit ini memupuk suburnya disintegrasi bangsa.

Dampak disintegrasi bangsa ini pun disadari sendiri oleh FPI sendiri, yang pernah membawa spanduk ke MPR, bertuliskan, “Syariat Islam atau disintegrasi bangsa”.

Maka di sini dituntut peran negara untuk menempatkan legitimasinya sebagai lembaga yang bertanggung-jawab untuk menanamkan sebuah kesadaran. Yaitu kesadaran bahwa negara adalah alat untuk menuju tujuan dan cita-cita. Dan hanya negara dengan ketahanan nasional yang kuat yang bisa meraih cita-citanya.

Disintegrasi bangsa melemahkan ketahanan nasional, yang semakin mempersulit suatu bangsa meraih cita-citanya. Karena itu tak ada alasan bagi orang beragama untuk tidak mencintai negaranya.

Penulis: Walentina Waluyanti

Referensi: Buku “Kuasa dan Moral”, Frans Magnis-Suseno; http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam.

Sumber illustrasi: www.islam-watch.org

{backbutton}

Add comment