Bertemu Tuan Anwar di Tropenmuseum
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Saya mendongak, menatap ke atas gedung tua itu. Di tembok atasnya tampak relief ukiran keluarga petani. Tampak khas Indonesia. Gedung tua di Amsterdam yang tembok luarnya berhiaskan relief suasana Indonesia, bukanlah hal biasa. Ya, dulunya di gedung ini memang banyak tersimpan koleksi budaya Indonesia.
Relief khas Indonesia di gedung luar Tropenmuseum Amsterdam (foto: Walentina Waluyanti)
Namun beberapa tahun belakangan ini, gedung ini juga mulai menampilkan koleksi dari beberapa belahan dunia lain (Afrika, Suriname, Maroko, Turki, India, Thailand, Jepang, dll).
Hari itu sedang cerah sekali. Karena itu saya dan keluarga memanfaatkan hari yang cerah itu untuk berjalan-jalan ke museum, yang menyimpan berbagai koleksi budaya sebagai jejak sejarah. Koleksi museum ini terdiri dari 175.000 obyek dan 80.000 foto bersejarah. Museum ini bernama Tropenmuseum, terletak di sebelah timur kota Amsterdam.
Sebelum mencapai Tropenmuseum, kami berjalan kaki menyusuri sebuah taman kota. Taman ini bernama Oosterpark. Taman yang cukup besar, luas, dan resik. Ini adalah salah satu dari sekian banyak taman di kota Amsterdam.
Monumen perbudakan di Oosterpark, Amsterdam (sumber: buiteninbeeld.nl)
Di taman ini sejak tahun 2002, telah dibangun monumen karya Erwin de Vries, disebut Slavernij Monument (monumen perbudakan). Monumen ini adalah simbol untuk memperingati hari dihapusnya perbudakan, di Belanda diperingati setiap tanggal 1 Juli. Sejak 1 Juli 1863, secara sah perbudakan memang sudah dihapuskan di Belanda.
Sambil berjalan di taman kota, saya melihat banyak warga yang memanfaatkan keasrian taman ini. Ada yang berbaring di rumput sambil membaca. Ada sekelompok orang yang sedang jogging. Beberapa lansia berkursi roda turut menghirup hangatnya udara. Ada yang dengan beberapa anggota keluarganya, sibuk membuka bekal makanan. Kelihatannya mereka siap-siap bikin acara BBQ bersama.
Warga di sekitar taman ini banyak yang tinggal di flat kecil tanpa kebun. Di hari yang cerah, bisa dimengerti jika warga keluar rumah, dan memanfaatkan taman kota untuk sekedar bersantai. Di Belanda yang lebih sering dingin ini, hari bermandi sinar matahari seperti hari itu, terlalu berharga untuk dilewatkan. Tampak anak-anak kecil berlari-lari, melompat-lompat, berteriak riang...ataupun dengan antusias memberi remah-remah roti pada angsa-angsa liar di danau di taman ini. Ya, jika mereka tinggal di flat sempit tanpa halaman, anak-anak tidak bisa bermain sebebas itu.
Masih di taman Oosterpark, langkah kami melewati lapangan rumput tempat sekelompok remaja bermain sepak bola. Walau anak-anak itu cuma iseng bermain, namun lapangan bermain ini dikenal menjadi embrio lahirnya beberapa pesepak bola berbakat.
Di taman Oosterpark ini para pencari bakat kadang diam-diam mengamati para pesepak bola cilik itu dari kejauhan. Ini salah satu cara mereka menjaring bibit terbaik untuk dibina sebagai pemain sepak bola profesional. Di tempat ini pula, tak jarang ditemukan bibit berbakat alam, yang kelak menjadi pemain handal football club ternama di Belanda.
Bermain sepak bola di Oosterpark, Amsterdam (foto: Walentina Waluyanti)
Akhirnya langkah kaki sampai juga di jalan Mauritskade Oost, tempat Tropenmuseum berdiri. Sebelum melihat koleksi museum, pengunjung membayar 9 euro (tarif dewasa). Barang-barang bawaan seperti tas, jaket dll dititipkan di lemari khusus. Wah, rupanya hari itu di museum sedang ada pameran lukisan dan benda-benda seni dengan tema “rood” (merah). Tropenmuseum memang sering menyajikan tema dan event yang bervariasi.
Tropenmuseum di Amsterdam (foto: Wikipedia)
Selanjutnya saya menyusuri ruangan koleksi Afrika, Filipina....dan aha! Akhirnya tiba di ruangan koleksi dari Indonesia di jaman kolonialisme. Menarik juga melihat beberapa koleksi sehubungan dengan R.A. Kartini. Juga ada foto dan buku tulisan tangannya (?). Sebagaimana Kartini dideskripsikan di Indonesia, di museum ini juga ada deskripsi tentang siapa Kartini, dan bagaimana perannya terhadap emansipasi di Indonesia.
Koleksi Tropenmuseum (foto: Walentina Waluyanti)
Setelah wafatnya Kartini, anak-anak perempuan bersekolah tidak lagi tabu. Rasanya lucu melihat sebuah foto, anak-anak kecil berkebaya belajar membaca...dan tulisan yang dibaca di papan tulis itu, berbahasa Belanda. Kontras dengan ibu guru Belanda yang berpakaian ala barat. Wah, ibu guru di foto itu tentu tidak menyangka, anak cucu para muridnya itu di kemudian hari tidak lagi wajib belajar bahasa Belanda di sekolah. Bahasa Belanda sudah lama tergusur, Dan kini di Indonesia, bahasa Inggris sudah menjadi pelajaran bahasa asing yang wajib.
Koleksi di Tropenmuseum (foto: Walentina Waluyanti)
Banyak sekali foto yang menggambarkan berbagai situasi sosial dan bagaimana kehidupan masyarakat di Indonesia di jaman kolonialisme. Termasuk foto-foto yang menggambarkan sekolah, pelajar, dan pendidikan di masa itu. Juga ada film dokumenter yang diputar non-stop. Saya tidak bosan-bosannya mengamati film dokumenter tentang para pelajar pribumi yang siswanya berbusana baju tradisional maupun barat, dan siswinya berkebaya dan berkain batik.
Ada kesan tersendiri melihat bagaimana di film itu para pelajar pribumi itu mengikuti pelajaran di sekolah. Mereka belajar mengenal not balok dan dan nada-nada musik, do remi fa sol la si do. Mereka belajar menggambar dengan teknik perspektif yang mendetail. Belajar mengalikan dan membagi bilangan. Mereka juga belajar di laboratorium. Juga tampak suasana pelajaran biologi, lengkap dengan alat peraganya, di antaranya tengkorak tiruan. Walaupun gadis-gadis remaja pelajar itu berkebaya dan rambutnya di gelung, tapi saat keluar bermain, mereka juga bisa jahil seperti remaja masa kini. Walau berkain batik, tak menghalangi remaja-remaja putri itu lincah berlarian dan saling main dorong-dorongan dengan ceria.
Koleksi di Tropenmuseum (foto: Walentina Waluyanti)
Banyak lagi koleksi patung, lukisan, senjata tradisional, pakaian/batik/tekstil/tenun tradisional, dll yang tidak cukup untuk diuraikan di sini. Dua tahun lalu ketika saya berkunjung ke museum ini, saya masih melihat ruang khusus yang memamerkan aneka batik di Indonesia, sejarahnya, penjelasan tentang aneka motifnya, serta cara pembuatan batik. Saya bingung dan berputar-putar mencari di semua sudut...di mana ya ruang batik itu sekarang? Ketika saya bertanya ke petugas, ternyata ruang khusus tentang batik yang saya maksud itu, sudah ditiadakan. Maklumlah, sekarang ini di Belanda, hampir semua sektor terkena imbas kebijakan penghematan dari pemerintah. Museum pun ikut terkena imbasnya. Rupanya ruang batik di museum ini menyedot biaya perawatan yang tidak sedikit. Karena alasan penghematan ini juga, tidak seperti dulu lagi, setiap hari senin, museum ini juga ditutup untuk umum.
Tentu saya juga tidak melewatkan melihat benda-benda budaya bernilai sejarah dari negara-negara lain. Namun akan terlalu panjang jika harus saya tuliskan semuanya di sini.
Ada yang menarik perhatian. Yaitu ada sejumlah kecil (tidak sampai 10) patung lilin beberapa figur yang tampaknya hanya ada di ruang koleksi Indonesia. Sedangkan di ruang khusus negara-negara lain, tak satu pun patung lilin yang saya temukan. Dan anehnya, patung lilin yang ada di ruang Indonesia, tak ada sosok populer. Baik sosok Belanda maupun pribumi yang ditampilkan sebagai patung lilin, tidak begitu dikenal di Indonesia, dan mungkin juga tidak di Belanda.
Misalnya patung lilin di bawah ini. Wanita Belanda berkebaya putih ini disebut putri seorang pendeta, bernama Margaretha Engelen-Koets (1870-1957). Pernah mengikuti suaminya, Kapten CH Engelen yang bertugas di Jawa dan Bone di Sulawesi Selatan.
Patung lilin Margaretha Engelen-Koets (foto: Walentina Waluyanti)
Satu-satunya patung lilin dari figur pribumi di Tropenmuseum ini, adalah pria asal Sulawesi Selatan, yang digambarkan sebagai pria yang dihormati. Saya mengamati sosoknya yang berkulit coklat...wuih, hebat banget si pembuat patung. Saya seakan benar-benar bertemu langsung dengan orangnya, yang hanya disebut dengan nama “Toean Anwar” (1880-1940).
Setiap helai rambutnya, bahkan pori-porinya benar-benar seperti orang hidup. Toean Anwar dideskripsikan sebagai anak Karaeng (anak bangsawan di Sulawesi Selatan), pernah hidup di Pangkajene dan Sungguminasa Sulawesi Selatan. Dalam deskripsi tertulis, ayah Anwar pernah meminta penguasa Belanda di masa itu untuk membimbing anaknya, yaitu Anwar. Toean Anwar kemudian bekerja sebagai pejabat ambtenaar untuk pemerintah kolonial. Anwar juga disebut cekatan dan terampil mengerjakan banyak hal.
Mungkin lebih akurat lagi jika patung lilin Toean Anwar yang disebut bangsawan Sulawesi ini, ditampilkan dengan busana khas Sulawesi Selatan sebagaimana lazimnya para bangsawan Sulawesi di jaman itu berbusana.
Patung lilin “Toean Anwar” (foto: Walentina Waluyanti)
Oh ya, tak lupa saya juga melihat-lihat toko di dalam museum. Selain menjual buku-buku budaya, biografi, sejarah, dll juga menjual aneka foto tempo dulu tentang Indonesia. Pengunjung juga bisa membeli batik, keris, wayang, kartu pos, benda seni, dan aneka kerajinan tangan dari Indonesia dan negara lain. Selain toko, museum ini juga dilengkapi perpustakaan, dan....terpaksa saya nyelonong ke cafe museum. Maklum, perut sudah memperdengarkan dentang laparnya.
Saya sudah puas melihat berbagai koleksi dari Irian, Sumatera, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, dan berbagai daerah di Indonesia, juga beberapa negara. Nah, sekarang pesanan saya, penganan khas Belanda saucijse broodje hangat berisi daging cincang berbumbu, sudah tersaji di meja. Cafe ini juga menyediakan teras di udara terbuka, dikitari kembang, tanaman, pepohonan rimbun. Suasananya enak dan nyaman.
saucijse broodje ala Holland di cafe Tropenmuseum (foto: Walentina Waluyanti)
Oh ya, sampai di mana cerita saya tadi? Sampai di Toean Anwar? Cuma segitu cerita tentang Toean Anwar? Begitu tanya Anda. Apa boleh buat. Cuma itu saja yang saya ketahui tentang Toean Anwar. Sambil mengunyah saucijse broodje, saya masih penasaran. Yaitu, mengapa sosok Toean Anwar begitu pentingnya, sehingga dibuatkan patung lilinnya sebagai satu-satunya figur pribumi di Tropenmuseum?
Walentina Waluyanti
Nederland, 13 September 2011
{backbutton}