Bangsa Kelt, Cikal Bakal Orang Eropa
Penulis: Copyright @ Walentina Waluyanti de Jonge - Nederland
Terdengar tiupan terompet sangat nyaring. Sungguh memekakkan kuping. Suara itu terdengar dekat sekali, dari arah belakang. Saya menoleh. Tepat di balik punggung saya, berdiri seorang pria Eropa. Ia berpakaian tradisional ala Celtic. Penampilannya bagai figur antik di dalam komik Asterix.
Topi perunggu bertengger di kepalanya. Terompet yang diusungnya tampak berat, bergagang besi cukup panjang. Di ujung gagang terompet, terpancang hiasan dekoratif berbentuk kepala hewan seperti kuda. Saya tertarik dengan instrumen tradisional yang dibawa pria itu. Ini alat tiup primitif bangsa Eropa. Berabad-abad lalu, fungsinya sebagai ‘alarm’. Misalnya memberi peringatan tanda bahaya akan datangnya musuh. Jika terompet berkumandang, warga bisa mengantisipasi, menjaga benteng pertahanan dari serangan musuh.
Foto: Alat tiup carnyx.
Saya bertanya pada pria itu tentang instrumen tiup kuno ini. Ia menerangkan dengan ramah. Replika alat tiup ini namanya carnyx, terbuat dari tembaga. Karena tertarik, saya meminta pria itu meniup terompet panjang itu sekali lagi. Pria itu berkata, “Siap Madame!” Dengan sigap ia meniup terompetnya. Toeeeettt…!!! Bergema keras dan nyaring. Gemanya mirip pluit kapal laut yang memberi tanda kapal akan berangkat.
Foto: Penulis Walentina Waluyanti di Pesta Kelt. (Foto: J. de Jonge)
Suasana di atas adalah suasana di sebuah pesta budaya yang saya hadiri di kota Dordrecht, Belanda. Pesta ini diadakan setahun sekali secara berkala, setiap Mei. Orang Belanda menyebut pesta ini Keltfeest atau Pesta Kelt.Secara internasional, Kelt lebih dikenal dengan sebutan Celtic atau Celts. Napak tilas nenek moyang Eropa Apa itu Kelt(Celtic)? Kelt adalah nama suku yang juga berbahasa Kelt. Penggalian sejarah menemukan jejak bahwa suku Kelt pernah hidup di Jerman, Swiss, Austria dan Perancis Timur.
Pada abad ke-6 SM suku ini menyebar ke arah Barat Laut di Eropa. Hingga abad 400 SM sebagian besar suku Kelt menempati Eropa Barat termasuk Britania. Berdasarkan catatan ini, suku Kelt dipercaya sebagai nenek moyang orang Eropa Barat. Kultur suku Kelt ini juga disebut menjadi akar peradaban Eropa Barat. Kaisar Romawi, Julius Caesar, pernah menulis tentang suku Kelt di dalam catatannya. Julius Caesar mencatat sebagai berikut “Kami menamakan mereka orang Galia. Tapi mereka menamakan diri dalam bahasa mereka, yaitu orang Kelt.”
Foto: Seorang ayah membawa anaknya di gerobak di Pesta Kelt.
Foto: Anak-anak berpakaian ala orang Kelt, bermain perang-perangan menirukan orang Kelt masa lampau.
Pesta budaya ini adalah pesta unik, digelar di alam terbuka. Yang hadir juga berpakaian unik, disesuaikan dengan tema pesta. Pesta ini merupakan napak tilas bagi orang Eropa Barat untuk mengenang kebudayaan nenek moyang mereka. Bagi beberapa kalangan di Indonesia, citra orang barat kadang dipersepsikan sebagai bangsa yang telah meninggalkan budayanya. Namun di pesta ini tampak kepedulian pengunjung pada asal-usul dan nenek moyang mereka, hingga melahirkan peradaban Eropa. Terdengar candaan di antara mereka, “Kita datang untuk mengenang nenek moyang.” Lalu disahut dengan jahil oleh yang lain, “Lho, kamu punya nenek moyang juga, ya!?”
Pesta ini diorganisir oleh beberapa negara di Eropa Barat. Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, Belgia. Lokasinya sangat sejuk, di sebuah lapangan berumput, dikitari rerimbunan tanaman dan pepohonan. Mengapa Belanda secara berkala mengadakan Pesta Kelt ini setiap tahun? Maksudnya adalah agar generasi kini di Eropa, tak melupakan asal-muasal akar budaya dan nenek moyang mereka.
Pesta yang meriah ini tidak hanya dihadiri orang Belanda saja. Tapi juga dipadati pengunjung lain dari negara-negara di Eropa. Mereka khusus datang jauh-jauh dari negaranya, untuk meramaikan pesta ini. Hampir semua pengunjung pesta ini memang sengaja datang dengan berkostum tradisional Eropa. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hampir setiap orang tampil unik. Orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian ala Eropa abad lampau. Rasanya seakan melihat orang-orang dari masa silam bangkit kembali. Tidak hanya kostum pengunjung. Bahkan semua peralatan dan dekorasi yang terpajang, mengingatkan akan peradaban Eropa di masa lampau.
Foto: Memasak dengan peralatan kuno di Pesta Kelt
Pengunjung juga dihibur dengan pertunjukan di panggung musik. Ada band dan beberapa penyanyi bergantian membawakan lagu-lagu. Banyak pengunjung mengikuti irama musik dengan berdansa di depan panggung. Di sudut lain, tampak beberapa gerai menjual baju, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik kultur Kelt. Gerai makanan dan minuman tak ketinggalan menyajikan makanan dengan cara tradisional ala Kelt.
Beberapa kios minuman menyajikan minuman bukan di gelas biasa, melainkan di tanduk bison. Wajah anak-anak terlihat takjub dan riang, ikut mencoba minum dari tanduk hewan. Kios-kios makanan mendemonstrasikan cara memasak jaman kuno dengan cara unik. Peralatan masak yang digunakan, bukan peralatan masak modern.
Pengunjung tampak antusias melihat alat masak yang dahulu digunakan nenek moyang mereka di jaman besi. Misalnya alat pemanggang kuno seperti yang digunakan di abad lalu. Pengunjung boleh memilih jenis daging yang diinginkan. Lalu juru masak siap memanggang daging itu. Menyaksikan bagaimana juru masak mengolah makanan dengan alat-alat kuno, merupakan tontonan unik. Masakan diolah, dipanggang, dilumuri bumbu, menyebarkan aroma sedap. Dari kepulan asap daging panggang, tercium wangi gurih.
Foto: Memanggang daging dengan menggunakan alat panggang kuno.
Pengunjung tak henti-hentinya antri memesan daging panggang. Juru masaknya seorang pria, menjejerkan daging satu per satu di permukaan piringan besi pemanggang. Alat kuno ini adalah tiruan alat pemanggang yang digunakan orang Kelt, nenek moyang orang Eropa. Sebelum memanggang, pria itu memantikkan api. Setelah beberapa saat, kayu arang di bawah pemanggang terlihat merah membara.
Alat panggang antik itu berbentuk lempengan besi lebar, besar, bundar, dan pipih. Digantung dengan rantai besi kuat, ditopang dengan tiang kayu kokoh. Hanya dari jarak beberapa meter, sudah terasa hawa yang sangat panas dari pemanggang itu. Setelah hidangan siap, daging disajikan di meja dengan cara tradisional. Piringnya bukan piring keramik modern, melainkan piring yang terbuat dari bahan gerabah (tanah liat).
Foto: Ayam panggang disajikan di piring gerabah
Selain gerai makanan, pengunjung juga bisa mengunjungi berbagai sudut lain, dengan berbagai tema. Misalnya ada sudut yang memperlihatkan beberapa ekor burung pemangsa yang telah terlatih. Ini adalah salah satu spesies burung purba. Jenis burung pemangsa ini di jaman dahulu memang dilatih untuk menangkap hewan. Hewan hasil tangkapan burung pemangsa ini, misalnya kelinci, menjadi bahan konsumsi orang Kelt. Pengunjung juga bisa menyaksikan, bahkan ikut mencoba keterampilan memanah seperti yang dahulu dilakukan nenek moyang mereka.
Tampak juga berbagai peralatan berburu di jaman dahulu. Ada tenda-tenda, memperlihatkan bagaimana pemukiman orang Kelt di abad lampau. Juga diperlihatkan perkampungan mini tentang kehidupan pertanian dan peternakan. Orang-orang di “perkampungan tiruan” itu sengaja berkostum seperti petani dan peternak di masa lalu. Di sudut lain diperagakan bagaimana orang Kelt dahulu terampil sebagai pandai besi. Tampak seorang pria, dengan alat-alat kuno mempertontonkan bagaimana dahulu pandai besi bekerja membuat pisau, kapak, rantai, dan jenis kerajinan besi lainnya.
Foto: Pandai besi memeragakan cara membuat kepingan besi
Foto: Gadis cantik di Pesta Kelt, memamerkan beberapa kerajinan ala Kelt
Hari sudah menjelang sore. Saatnya kembali ke rumah. Tak percuma berlelah-lelah mengitari lapangan rumput luas, tempat Pesta Kelt ini digelar. Banyak hal unik sudah terserap dari pesta budaya ini. Ternyata soal napak tilas untuk menghargai budaya, selalu tetap aktual. Dan senantiasa menjadi kepedulian setiap bangsa.*** (Penulis dan Foto: Copyright @ Walentina Waluyanti) - Catatan: Artikel ini juga dimuat di Kompasiana dengan judul: "Lho Kamu Punya Nenek Moyang Juga, Ya?”
Baca juga artikel terkait, silakan klik:
Kisah 2000 Tahun Lalu, Ketika Belanda Masih Dijajajh dan Masih Buta Huruf
Walentina Waluyanti de Jonge
Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"
{backbutton}