Balada Angie dan Openg

Penulis: Walentina Waluyanti – Holland

Catatan penulis: Artikel ini ditulis sebelum Angelina Sondakh divonis menerima hukuman kurungan 12 tahun.

Dulu Angie bukan saja kebanggaan bagi para penyandang marga Sondakh. Tapi juga kebanggaan orang Minahasa. Sejak menyandang gelar Puteri Indonesia, Angelina Sondakh alias Angie, melesat cepat menjadi politisi. Jaraknya dengan kekuasaan seakan cuma sejengkal. Namun semuanya porak poranda sejak kasus Wisma Atlet merebak.

angelina1

Foto: Tempo

Dikabarkan media lokal di Sulut, bukan hanya marga Sondakh, tapi juga warga Minahasa, jadi ikut malu. Ini rentetan setelah KPK menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka.

Kasus ini makin ramai setelah kesaksian Angie di sidang Nazarudin. Banyak pihak menduga, kesaksian Angie itu bohong. Namun tulisan ini tak hendak membahas apakah Angie bohong atau tidak. Lagi pula, mengapa Angie menjadi tersangka, bukti-buktinya tidak pernah kita tahu, setidaknya sampai saat ini. Demi kepentingan penyidikan, bukti-bukti itu masih dirahasiakan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tidak dimaksudkan untuk diinformasikan ke publik. Sehingga komentar orang luar, hanya terkesan spekulatif. Sebelum ada keputusan hukum yang tetap, dengan alasan apapun, saya tidak berhak memvonis “Angelina Sondakh bohong”.

Ya, sudah! Bisa repot urusannya kalau saya kena tuduhan pencemaran nama baik. Jadi saya ubah saja cara mengejanya. "Angelina So Ndak bohong". Ini dialek Manado. Artinya 'Angelina sudah tidak bohong'.

Sambil menunggu akhir episode kasus hukum Angie, saya tertarik pada sosok yang satu lagi. Sosok yang menyeret Angie sebagai tersangka. Ya, dialah Abraham Samad, Ketua KPK. Lahir di Makassar, besar di Makassar. Dulu di Makassar, teman-temannya memanggilnya Openg. Ini dari kata Novem (bulan kelahirannya November).

Walau diisukan penganut Islam garis keras, tapi Openg pernah duduk di sekolah Katolik di Makassar. Yaitu di SMA yang letaknya di jalan Cendrawasih. Karenanya disebut juga SMA Katolik Cendrawasih. Jalan Cendrawasih ini tidak lebar. Tapi lalu lintasnya selalu ramai. Apalagi pada jam-jam masuk dan bubar sekolah. Tidak begitu jauh dari Stadion Mattoanging Makassar. Di belakang stadion ini juga ada SMP Nasional, tempat Openg dulu bersekolah — dulu ini juga sekolahnya pahlawan Wolter Mongisidi dan pahlawan Emmy Saelan (kakak ipar Jenderal M. Yusuf), dan Maulwi Saelan (mantan ajudan Bung Karno).

Salah satu ciri dari SMA Katolik tadi, siswanya dibolehkan berambut gondrong. Karenanya, anak-anak SMA lain sering mengejek, "Sekolah apaan, tidak disiplin, masak boleh gondrong?'.Tapi anak-anak SMA Katollik Cendrawasih menanggapi dengan humor khas. 'Boleh dong gondrong. Yesus juga 'kan gondrong? Hehehe...."

SMA Katolik tempat Openg bersekolah, di kala itu termasuk sekolah favorit di Makassar. Selain pinter-pinter, muridnya juga umumnya ganteng-ganteng dan cantik manis. Banyak yang di kemudian hari 'jadi orang'. Banyak yang sudah tersebar di berbagai negara. Walau namanya sekolah Katolik, tapi bukan hanya favorit bagi kaum Katolik. Contohnya, si 'mutiara dari selatan' almarhumah Andi Meriem Matalatta. Penyanyi yang luar biasa manis lembut ini, datang dari keluarga bangsawan Bugis, muslimah taat, tamat dari SMA Katolik Cendrawasih ini. Oh ya, figur beken lain dari sekolah ini di antaranya pesepak bola legendaris, Ronny Pattinasarani. Yang unik, sampai tahun 1970-an, di jaman Andi Meriem dan Ronny Pattinasarani, para murid masih menyapa pak gurunya dengan sebutan dalam bahasa Belanda, yaitu 'Meneer'. Selama bertahun-tahun, SMA ini dipimpin oleh kepala sekolah dan wakil kepala sekolah yang berasal dari Minahasa.

Ketika masih mahasiswa, Openg termasuk kategori pemuda keren. Kulitnya hitam manis, bersih. Dia sering pakai kemeja kotak-kotak, dengan jeans. Atau kadang celana warna khaki. Walau gondrong, tapi penampilannya tidak pernah awut-awutan. Rambut gondrongnya selalu rapi, dikuncir. Dari dulu anak ini memang kharismatis. Tindak tanduk dan bicaranya tenang. Walau ayahnya ketika itu menjabat bupati Mamuju, ia ke kampus naik pété-pété (angkot di Makassar). Atau kadang naik motor berboncengan dengan teman-temannya.

angelina2

Foto: Abraham Samad naik pété -pété (angkot) di jalan Cendrawasih Makassar (Foto: Tribunnews)

Semasa kuliah, di kampus Openg sering nongkrong di  warung gamacca' (bahasa Makassar, artinya gedek). Warung ini sering disebut juga pondok bambu. Soalnya tempatnya teduh, di bawah rimbunan pohon bambu. Ini tempat nongkrong favorit anak-anak Fakultas Hukum Unhas di jaman itu. Di depan warung ini ada beberapa bangku kayu panjang. Mahasiswa yang nongkrong di sana, kadang suka iseng menggoda mahasiswi manis yang kebetulan lewat.

Sambil makan sop ubi dan bakso, anak-anak itu, di antaranya Openg, ngobrol tentang soal remeh sampai soal serius. Di depan pondok bambu, ada aula besar tempat mahasiswa Fakultas Hukum Unhas sering menerima kuliah umum. Di aula ini, kadang ada kuliah umum dari para dosen luar biasa dan dosen tamu. Di antaranya Mochtar Kusumaatmadja, Jusuf Kalla, Pak Barlop.... Ya, anak-anak Fakultas Hukum sering menyebut Baharuddin Lopa dengan sebutan 'Barlop'.

Ketika itu 'Barlop' menjadi kebanggaan anak-anak Fakultas Hukum Unhas. Keteguhannya dalam menegakkan hukum selalu ditularkannya kepada setiap mahasiswanya, di antaranya Abraham Samad. Bahkan Openg sering menginap di rumah Baharuddin Lopa. Ketika itu masih di jalan Lanto Daeng Pasewang. Karena itu semangat Openg untuk memberantas korupsi, walau terkesan alot, tapi tidak berarti NATO (No Action Talk Only). Ia memang betul-betul terobsesif dengan sepak terjang guru idolanya itu. Bahkan Aisyah, kakak tingkatnya, putri cantik Baharuddin Lopa, yang juga studi di Fakultas Hukum Unhas ketika itu, belum tentu seobsesif itu pada ayahnya. (Openg angkatan 1985, Aisyah angkatan 1983).

Openg dan Angie memang berada dalam posisi berbeda. Openg penegak hukum. Angie (masih diduga) pelanggar hukum. Openg dari selatan Pulau Sulawesi, Angie dari utara. Walau beda posisi, namun keduanya punya beban yang sama. Yaitu beban untuk membawa nama baik daerahnya. Openg bukan lagi Openg dulu, yang bisa membawa namanya sendiri. Angie pun begitu. Walau Indonesia itu katanya berbeda-beda tapi tetap satu, namun bayang-bayang etnis sulit lepas.

Tradisi adat khas Indonesia membuat orang punya beban ekstra. Orang tidak bisa terlepas dari tuntutan lingkungan sosialnya. Beban ekstra itu ada. Openg terbebani membawa citra seluruh warga Sulawesi Selatan. Khususnya suku Bugis, Mandar dan Palopo/Masamba (asal ibundanya). Jangan bikin malu! Sekali layar terkembang, pantang untuk kembali. Sekali badik dicabut, pantang disarungkan sebelum badik itu berlumur darah! Makna simbolisnya, yaitu pantang menyerah sebelum meraih keberhasilan. Walau tampak cool, tapi Openg kepalanya pasti cenat-cenut. Masih banyak anak tangga yang harus dilalui untuk sampai ke puncak.

angelina3 Foto: Tribuntimur

Angie kepalanya lebih cenat-cenut lagi. Kebalikan dari Openg, Angie seolah menuruni satu per satu anak tangga. Hingga akhirnya sampai ke bawah. Dilanda musibah demi musibah. Babak belur. Terjerembab. Ia masih harus terus berjuang bangkit. Kita masih menunggu. Masihkah ada harapan bagi Angie? Sehingga ia tak lagi dituding telah mempermalukan Sulut? 

Di belakang Openg, orang se-Sulawesi Selatan berharap banyak. Di belakang Angie, orang se-Sulawesi Utara (tadinya) berharap banyak. Namun yang lebih penting, ada yang tak seharusnya diabaikan. Yaitu di belakang Openg dan Angie, ada harapan dalam skala nasional. Yaitu harapan dari seluruh rakyat Indonesia. Tidak peduli Openg orang Mandar, orang Bugis atau dari mana. Tidak peduli Angie dari Manado atau planet apa pun. Indonesia cuma berharap, kepastian hukum ditegakkan secara obyektif.

*) Beberapa detail dalam tulisan di atas, berdasarkan kesaksian langsung dari penulis.

Baca juga:

Mendingan Mana, Korupsi atau Prostitusi?

fr-wwWalentina Waluyanti

Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"

Nederland, 29 Maret 2012

About Me

{backbutton}

Add comment