Bagaimana Rasanya Menjadi Anak Aidit?
Penulis: Walentina Waluyanti - Belanda
Aidit menjadi buruan, setelah tanggal 2 Oktober dini hari ia melarikan diri ke Yogyakarta, begitu melihat gelagat bahwa kup G30S ternyata menemui kegagalan. Dari Yogyakarta, Aidit berpindah-pindah tempat di daerah Solo, Klaten, dan sekitarnya. Disayangkan, Aidit seolah sengaja dihindarkan dari Sidang Mahmillub. Ia ditembak mati pada hari ia tertangkap. Pada 23 November 1965, terbetik kabar Aidit ditembak mati di Boyolali.
Foto: Dipa Nusantara Aidit dan Bung Karno.
Kalaupun di-Mahmillub-kan, kemungkinan besar Dipa Nusantara Aidit akan divonis mati. Namun setidaknya, dengan bertanggungjawab di depan pengadilan, ia masih punya kesempatan untuk mati secara ksatria. Tapi siapa tahu, justru Aidit merasa telah menghadapi kematiannya secara ksatria, sebab sampai mati pun ia tetap mempertahankan ideologi yang diyakininya?
Dari sudut pandang orang yang anti komunis, mungkin akan mencaci maki seorang PKI yang sebelum ditembak mati, mengepalkan tangan, dan berteriak penuh keyakinan “Hidup PKI!!” Namun dari sudut pandang yang pro komunis, perbuatan di atas adalah heroik. Yang sulit adalah bagaimana seorang anak dari Aidit, seorang gembong PKI, musuh bangsa, harus melihat hal ini? Di sisi mana ia harus berdiri?
Foto: Dipa Nusantara Aidit bersama istri dan ke-5 putra-putri. Anak perempuan (Iba dan Ilya), Iwan, Ilham Aidit dan Irfan saudara kembarnya adalah anak bungsu.
Salah seorang anak dari Aidit, Ilham Aidit, akhirnya memberanikan diri tampil dan mengaku “Saya anak Aidit”. Ia mengungkap bagaimana harus menanggung penderitaan batin sejak kecil hingga kini, karena menyandang nama Aidit. Sejak ayahnya diketahui terlibat dalam G30S, ia terpaksa harus membuang nama ayahnya yang seharusnya tertera di belakang namanya. Ketika itu bisa dibayangkan kesulitan apa yang akan dihadapi jika tetap menyandang nama ayahnya.
Ketika G30S meletus, umur Ilham masih 6 tahun 3 bulan. Sesudah kejadian itu, ia dan kakaknya diungsikan ke Bandung. Dua kakak perempuan lainnya yang berusia 13 dan 15 tahun, sebelumnya telah berada di Moskow untuk studi. Keluarganya mengajarkan padanya bahwa jika ada yang bertanya apakah ia anak Aidit, ia harus tutup mulut. Bahkan Ilham juga dibiasakan harus mengingat bahwa ia lahir di jalan Raden Saleh Jakarta, padahal ia sebenarnya lahir di Moskow.
Barulah pada tahun 2003, ketika ia bergabung di organisasi Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB), saat itulah ia punya keberanian mencantumkan nama Aidit di belakang namanya. Di forum ini turut pula bergabung anak-anak Pahlawan Revolusi, anak Bung Karno dan Soeharto, termasuk anak-anak para tokoh PKI.. Di forum ini, para korban PKI, anak-anak yang orangtuanya PKI, anak-anak para penumpas PKI, bersatu dan saling memaafkan serta bertdamai dengan masa lalu. Dengan cara ini mereka melakukan rekonsiliasi.
Foto: Forum Silatrurahmi Anak Bangsa (FSAB). Tampak Ilham Aidit paling kanan, juga tampak Sukmawati Soekarno, Tommy Soeharto, dan anak-anak Pahlawan Revolusi, serta anak-anak tokoh PKI. (Sumber: Konfrontasi.com)
Ketika ayahnya ditembak mati, pihak keluarga tak diberitahu di mana jasad Aidit. Pihak militer kala itu memang merahasiakan di mana mayat Aidit terkubur. Hal ini bukan untuk konsumsi publik. Ini untuk mencegah agar jenazahnya tidak dijadikan tempat ziarah, yang akhirnya dikuatirkan makam itu dijadikan semacam simbol kepahlawanan bagi para pendukung dan simpatisannya.
Setelah dewasa, Ilham berupaya mencari kuburan ayahnya. Sekitar 5 kali ia mendatangi berbagai tempat, tetapi ternyata tak ada jejak di mana sebetulnya kuburan ayahnya. Akhirnya atas bantuan beberapa orang dari NU, ia dipertemukan dengan seorang kyai yang dahulu pernah jadi aktivis Ansor. Kyai yang bernama Tamam Saemuri itu, saat ditemui Ilham, menjabat sebagai Ketua NU Boyolali. Ilham menyebut kyai tersebut dengan sapaan Mbah Tamam. Mbah Tamam mengaku pernah mendengar langsung dari Kolonel Yasir Hadibroto yang telah menembak mati Aidit. Kolonel Yasir Hadibroto kala itu memimpin penumpasan PKI di daerah Jawa Tengah. Aidit diberondong dengan senapan AK. Lalu sebagai bukti ditunjukkan jam tangan Aidit.
Diperkirakan mayat Aidit kemudian dibuang di sebuah sumur tua di Boyolali. Lokasinya di belakang sebuah gedung tua yang dahulu merupakan bagian dari kompleks markas Batalyon 444 TNI AD. Batalyon ini dikenal sebagai pendukung PKI. Kini kompleks ini telah dibongkar dan kini menjadi mess pegawai Komando Distrik Militer Boyolali. Dahulu Boyolali, Klaten, Solo, dikenal sebagai daerah-daerah basis pendukung PKI. Kala itu Bupati Boyolali dan Walikota Solo juga diketahui sebagai pro PKI.
Ilham sendiri mengaku, 2 tahun setelah G30S, rumahnya didatangi oleh tentara bersenjata yang mencari anak Aidit. Oom-nya lalu menunjuk Ilham (saat itu berusia 8 tahun), yang sedang main kelereng. Kepada tentara, ia berkata, “Ini anak Aidit, kalau mau tembak, tembak saja.” Tentara itu mengurungkan niat, setelah tahu bahwa anak Aidit ternyata masih kecil. Dan setelah Ilham kuliah, ia kerap menerima telepon dari orang tak dikenal, yang memperingatkannya untuk tidak berpolitik.
Foto: Ilham Aidit
Ayah yang berpolitik, imbas selanjutnya berlanjut kepada anak. Tertekan, malu dan takut pada lingkungan, bahkan takut pada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, jelas terpancar pada raut wajah Ilham hingga kini. Lihatlah air mukanya yang suram dan sinar matanya yang memancarkan kekalutan, rasa tertekan karena menyimpan kepedihan dan kisah kelam, yang tak pernah bisa sirna. Ilham Aidit dan jutaan anak-anak lainnya yang kehilangan masa depan karena mereka adalah anak pendukung PKI, maupun anak-anak yang orangtuanya dipaksa mengaku PKI, adalah korban dari keadaan yang tak kuasa ditolak. Bukankah kita semua tak bisa memilih dari siapa kita dilahirkan?
Dari kiri: Sarjono (anak Kartosuwiryo), Amelia (anak Jendral Ahmad Yani), Ilham (anak Aidit) - Foto: Tempo
Meski dengan susah payah, anak-anak Aidit akhirnya bisa survive menapaki hidup. Dua anak perempuan tertua hingga kini menetap di Paris. Yang satu bekerja sebagai dokter, dan yang satu lagi bekerja sebagai perawat. Iwan yang tamatan ITB, dipecat dari perusahaan ternama setelah diketahui ia anak Aidit. Namun Iwan kini tinggal di Kanada, berkewarga-negaraan Kanada, dan bekerja di perusahaan pertambangan. Ilham yang kerap pindah kerja, karena selalu dikucilkan di perusahaan tempatnya bekerja ketika mereka tahu bahwa ia anak Aidit, kini membuka usaha sendiri di bidang arsitektur. Ilham yang kini menetap di Bandung, menamatkan studinya di Fakultas Arsitektur Universitas Parahiyangan Bandung. Irfan (alm.) si kembar Ilham yang pendiam, tamat dari Fakultas Kedokteran UI, sampai tahun 2000-an sempat menetap di Cimahi.
Bagaimana dengan dokter Soetanti istri Aidit? Setelah pindah dari satu penjara ke penjara lainnya, ia bebas dari penjara tahun 1980. Selama di penjara ia tidak pernah bertemu anak-anaknya. Pamannya tidak berani membawa anak-anak menengok ibunya di penjara. Namun akhirnya setelah 16 tahun, pada tahun 1980, ketiga anak laki-lakinya dapat bertemu ibunya kembali. Begitupun kedua anak perempuan yang di Paris, Iba dan Ilya kembali bisa menghubungi ibunya. Selepas dari penjara, Soetanti sempat berpraktek sebagai dokter. Namun masa lalu di penjara membuat kondisinya sakit-sakitan. Ia kemudian meninggal tahun 1991.
Foto: Aidit dan Soetanti
Roda kehidupan bisa berubah 180 derajat secara misterius. Dipa Nusantara Aidit, politikus yang sangat cerdas. Begitu cerdasnya sampai Bung Karno mengomentarinya sebagai “keblinger” (salah arah). Aidit menulis ratusan karya ilmiah. Ia seorang pejabat tinggi negara yang bebas keluar masuk istana, sangat dekat dengan Bung Karno. Ia beristrikan Soetanti, seorang dokter yang masih kerabat R.A Kartini. Putra tunggal R.A. Kartini, R.M. Soesalit (sepupu ayah Soetanti) membiayai kuliah Soetanti hingga meraih gelar dokter. Aidit juga adalah pemimpin partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT (Republik Rakjat Tjina) dan Uni Soviet. Siapa sangka dengan karir dan hidupnya yang terlihat cemerlang, akhir nasibnya berujung tragis?*** (Penulis: Walentina Waluyanti)
Walentina Waluyanti
Penulis buku “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen”
Artikel terkait: Penyebab Mengapa Komunis Harus Atheis
{backbutton}