Awalnya Bersaudara, Diadu Domba, Pecah, Memicu Lahirnya Keraton Solo dan Yogya
Penulis@copyright: Walentina Waluyanti -Nederland
Putri Bung Karno, Sukmawati, pernah menikah dengan pemangku tahta di keraton Solo, yaitu Mangkunegara IX (foto di bawah). Yang baru-baru ini bikin geger bukan dari keraton Mangkunegara Solo, tetapi dari keraton satu lagi, juga di Solo, yaitu dari keraton Paku Buwono, tentang Raja-nya yang suka main perempuan. (Catatan: Sebetulnya sekarang ini Solo tak berada di bawah pemerintahan Raja, berbeda dengan Yogyakarta yang Sultan-nya juga adalah Gubernur). Tak seperti zaman dahulu, sekarang ini pemimpin yang doyan main perempuan sudah tidak bisa lagi diterima publik. Sultan Yogya yang sekarang, memilih tak meniru ayahnya yang berpoligami. Meski punya hubungan darah dan berasal dari satu keturunan, sudah menjadi rahasia umum, hingga kini hubungan antara keraton Solo-Yogya diwarnai aroma persaingan. Dan aroma persaingan ini sudah terjadi ratusan tahun lalu, sebagaimana saya tuliskan berikut ini…
Mangkunegara IX, mantan menantu Bung Karno / mantan suami Sukmawati Sukarnoputri, pemegang tahta di kraton Mangkunegara Solo. (Foto: Wikipedia)
Pada abad lalu, kakek-nenek dari Raja/Sultan yang sekarang bertahta di Solo-Yogya, semuanya berasal dari satu keturunan, yang awalnya masih terhimpun di satu kerajaan, yaitu Kerajaan Mataram. Mulanya Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Namun perseteruan berlatar-belakang perebutan tahta di kerajaan tersebut, membuat para pewarisnya terpecah-belah. Pertikaian ini membuat Kerajaan Mataram akhirnya runtuh. Keturunannya terpecah menjadi Kesultanan di Yogyakarta dan Kesultanan Solo yang kita kenal sekarang ini. Perpecahan ini membawa dampak semakin sempitnya wilayah kekuasan mereka, tak lagi jaya seperti dahulu.
Perseteruan di Kerajaan Mataram (sebelum lahirnya Kesultanan Yogya dan Solo) tak bisa dilepaskan dari taktik adu domba penjajah Belanda, yang memetik keuntungan dari perseteruan itu. Kisah ini menceritakan secara singkat, tentang Kerajaan Mataram yang tadinya besar, namun akhirnya terpecah-belah menjadi Kesultanan Yogya dan Solo, akibat perebutan tahta. Dampaknya bisa kita lihat hingga sekarang ini.
Tahta Raja Mataram menjadi incaran para pewarisnya, adalah kisah khas di seputar kekuasaan. Begitu pula yang terjadi ketika Raja Mataram, yaitu Susuhunan Amangkurat II mangkat pada tahun 1703. Sebetulnya jika Raja mangkat, maka yang menjadi pewaris adalah putranya, yaitu Sunan Mas. Tetapi adik Sang Raja, yaitu Pangeran Puger (Paku Buwono I) tak bisa menerima hal ini. Maka terjadilah konflik perebutan tahta. Belanda/VOC memanfaatkan konflik ini dan menawarkan bantuan persenjataan. Dan bantuan Belanda itu diberikan kepada pihak yang bisa menguntungkan Belanda. Dengan kata lain, Belanda bersedia memberi bantuan, asalkan dengan imbalan, yaitu tidak saja berupa uang, tetapi juga berupa pemberiaan beberapa wilayah kepada Belanda.
Oleh karena Pangeran Puger (Paku Buwono I) bersedia memberi apa yang diminta oleh Belanda, maka yang menjadi korban adalah Sunan Mas, yang kemudian dibuang oleh Belanda ke Sri Langka. Padahal Sunan Mas ini lebih berhak, karena ia adalah putra Raja.
Itu sebabnya kelak Mangkunegara I (cucu Raja Mataram/anak dari Sunan Mas) yang ayahnya dibuang Belanda ke Sri Langka, kemudian menjadi pemberontak yang sengit melawan duet kekuasaan Belanda-Paku Buwono II (adik Hamengku Buwono I). Dari sini jelaslah bagaimana dekatnya hubungan darah antara Raja Paku Buwono di Solo dengan Hamengku Buwono di Yogya. (Sehingga bisa dikatakan berita gencar belakangan ini, terkait perbuatan tak terpuji yang diduga dilakukan Raja Paku Buwono XIII tentang skandal seks dengan ABG di Solo, sebetulnya juga merupakan aib bagi seluruh kerabat sedarah, termasuk Kesultanan Yogya).
Paku Buwono X bersama permaisuri dan putrinya. (Foto: Museum Tropen)
Cikal Bakal Berdirinya Kraton Paku Buwono di Solo
Singkat cerita, Pangeran Puger yang bergelar Sunan Paku Buwono I naik tahta sebagai Raja Mataram. Setelah Paku Buwono I wafat, terulang lagi konflik yang sama. Terjadi lagi perebutan tahta. Seperti biasa, Belanda yang licik, kembali mencampuri konflik, dan menawarkan bantuan kepada pihak yang paling bisa menguntungkan VOC. Kembali lagi VOC mendudukkan putra Raja yang masih berusia 16 tahun sebagai Sultan dengan gelar Paku Buwono II. Pemerintahan Paku Buwono II ini pun tak mulus, terus-menerus diguncang tanpa henti, baik pertikaian dari dalam kerajaan maupun dari luar.
Bung Karno bersama Paku Buwono XII dan Mangkunegara VIII (Foto: Wikipedia)
Selama pemerintahan Paku Buwono II, terjadi berbagai pertempuran. Juga terjadi banyak rongrongan yang berusaha menjatuhkan Paku Buwono II dari tahtanya. Salah satunya ketika cucu dari Sunan Mas (kakeknya dahulu dibuang ke Sri langka oleh VOC), menuntut balas. Cucu Sunan Mas bernama Raden Mas Garendi, menyatakan dirinya sebagai Susuhunan dan penguasa Mataram yang sah. Dan kembali lagi lagu lama terulang, VOC kembali datang menawarkan bantuan kepada Paku Buwono II untuk melawan Raden Mas Garendi.
Raden Mas Garendi berhasil diusir, berkat bantuan VOC. Sebetulnya bukan hanya ini bantuan VOC kepada Paku Buwono II. Berbagai pertikaian yang sebelumnya terjadi pun, juga teratasi karena bantuan VOC kepada Paku Buwono II. Tapi sayang seribu sayang, VOC yang berakal bulus, meminta bayaran yang sangat mahal atas semua bantuan yang telah diberikan kepada Paku Buwono II.
Semahal apa bayaran yang diminta Belanda itu? Bayaran yang diminta Belanda adalah Paku Buwono II harus mengakui kekuasaan Belanda di Mataram, serta harus memberi hak kepada Belanda untuk mengeluarkan mata uang sendiri di Pulau Jawa. Itu semua masih belum cukup. Yang lebih memberatkan adalah Paku Buwono II harus membiayai dibangunnya markas-markas militer Belanda di daerah Mataram.
Permintaan Belanda di atas membuat Paku Buwono II kepayahan, namun tak bisa berbuat banyak. Ia tak lagi sanggup mempertahankan keratonnya yang sudah morat-marit, rusak akibat berbagai pertempuran. Salah satu pertempuran terhebat yaitu ketika Mangkunegara I atau Raden Mas Said (anak Raja Mataram yang dibuang ke Sri Langka), bergabung bersama orang-orang Cina dan rakyat Mataram, bangkit melawan penindasan VOC dan dan penindasan Paku Buwono II terhadap rakyat.
Morat-maritnya keraton membuat Paku Buwono II memutuskan menyingkir ke Surakarta dan wafat di Surakarta. Inilah sebetulnya yang kemudian mengawali hingga kini kekuasaan Paku Buwono yang tadinya di Kerajaan Mataram, pindah ke Solo.
Mangkunegara I: Musuh Belanda, Juga Musuh Paku Buwono II
Kini kita mengenal keraton Mangkunegara di Solo. Siapakah sebetulnya Mangkunegara I yang mendirikan keraton Mangkunegara di Solo? (keturunannya ke-IX menjadi menantu Bung Karno). Sebagai catatan, Mangkunegara I atau Raden Mas Said, juga digelari Pangeran Samber Nyowo oleh Belanda. Karena ketika memimpin pertempuran melawan Belanda, Mangkunegara banyak menewaskan pihak musuh. Mangkunegara I memang berseberangan dengan Paku Buwono II. Terutama Mangkunegara I juga tak menyukai kerjasama Paku Buwono II dengan Belanda. Dalam memberontak melawan VOC dan Paku Buwono II, Raden Mas Said (Mangkunegara I) malah bekerja sama dengan adik Paku Buwono II sendiri yaitu Pangeran Mangkubumi. Tak tanggung-tanggung, selama 16 tahun Raden Mas Said alias Mangkunegoro I memimpin peperangan melawan VOC dan Paku Buwono II.
Tahun 1744, Paku Buwono II yang kekuasaannya semakin melemah, akhirnya pindah ke Surakarta, dan wafat tahun 1749. Sebetulnya waktu itu Paku Buwono II akan dimakamkan di Imogiri, tetapi terjadi halangan sehingga dimakamkan di Laweyan di Surakarta.
Setelah Paku Buwono II wafat, terjadilah kemudian peristiwa sangat penting yang mengubah sejarah Kesultanan di Jawa yang hingga kini terasa dampaknya.
Mangkubumi dan Cikal Bakal Berdirinya Kesultanan Yogya
Mangkatnya Paku Buwono II, meninggalkan persoalan yang selalu timbul seperti yang sudah-sudah. Yaitu siapakah yang akan memegang tahta tertinggi di Kerajaan Mataram? Meskipun yang berhak adalah Paku Buwono III, tetapi Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I), juga menginginkan tahta. Dan inilah awal bubarnya Kerajaan Mataram. Sebagai catatan, Pangeran Mangkubumi kelak bergelar Hamengkubuwono I, adalah adik dari Paku Buwono II.
Hamengku Buwono X bersama Kanjeng Ratu Hemas (Foto: Wikipedia)
Oleh karena kedudukan VOC semakin kuat, ditambah Raja-Raja itu masih punya utang yang belum terbayar, otomatis Belanda juga lebih berkuasa mengatur penyelesaian konflik ini. Maka Belanda pun mengadakan Perjanjian Giyanti, dinamakan demikian sesuai nama lokasi perjanjian ketika itu. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara pihak Belanda, pihak Pangeran Mangkubumi, dan pihak Paku Buwono III. Belanda menggunakan taktik memecah belah melalui Perjanjian Giyanti ini dengan semakin memperkecil kekuasaan Raja di Jawa. Oleh karena para pihak dalam perjanjian itu sebelumnya sudah menerima bantuan dari Belanda, dan setiap bantuan itu harus dibayar (termasuk berupa uang, yang belum sepenuhnya terlunasi), membuat “posisi tawar” Belanda lebih tinggi. Pangeran Mangkubumi dan pihak Paku Buwono tak bisa berbuat lain selain menerima solusi yang diberikan oleh Belanda melalui Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, di Ringin Jantiharjo yang sekarang berlokasi di Karanganyar, Solo.
Lokasi Perjanian Giyanti di Ringin Jantiharjo di Karanganyar, Solo. (Sumber foto: Wikipedia)
Mataram Terkubur, Lahirlah Kesultanan Solo dan Yogya
Yang menyedihkan dari Perjanjian Giyanti, adalah bahwa Perjanjian ini menandai keruntuhan Kerajaan Mataram. Perjanjian Giyanti itu sebetulnya dibuat karena pihak Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwono I, masing-masing menginginkan pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, terkait hak waris mereka atas tahta. Dan inilah yang membuat saudara sedarah satu keturunan tercerai-berai! Belanda bersedia memberi pengakuan itu, namun diberikan tidak dengan cuma-cuma. Sehingga Perjanjian Giyanti sebetulnya memberi keuntungan kepada kedua Raja bahwa kekuasaan mereka diakui Belanda. Tetapi Belanda mengeruk keuntungan yang lebih banyak lagi dari Perjanjian Giyanti.
Demikianlah, mereka yang tadinya berasal dari kerajaan yang sama yaitu Mataram, akhirnya terbagi dua. Belanda memberi pengakuan kepada Paku Buwono III untuk berkuasa di sebelah timur bernama Surakarta. Sedangkan Pangeran Mangkubumi (bergelar Hamengkubuwono I), diakui kekuasaannya oleh Belanda di sebelah barat, bernama Yogyakarta.
Foto: Naskah Perjanjian Giyanti. (Sumber foto: Wikipedia)
Alotnya Mangkunegara I bagi Belanda, Awal Lahirnya Keraton Mangkunegara di Solo
Dan bagaimana nasib Raden Mas Said alias Mangkunegara I yang juga merupakan keturunan Raja Mataram yang ayahnya dibuang Belanda ke Sri Langka?
Nah, inilah yang menjadi duri dalam daging bagi Belanda. Tak seperti Hamengkubuwono I dan Paku Buwono yang bersedia bekerja sama dengan Belanda, Mangkunegara I ini "alot" dan tak mau tunduk begitu saja kepada Belanda. Maka dengan menggunakan kekuatan hukum Perjanjian Giyanti, Belanda dengan cerdik menjalankan taktik adu domba. Belanda hendak menghancurkan pemberontakan Mangkunegara I alias Raden Mas Said, tetapi dengan menggunakan tangan Hamengku Buwono I alias Pangeran Mangkubumi. Demikianlah antar saudara itu diadu oleh Belanda untuk saling menghancurkan. Dengan licik, melalui Perjanjian Giyanti, Belanda mewajibkan Hamengkubuwono I membasmi perlawanan Mangkunegara yang terus merongrong kekuasaan Belanda. (Mangkunegara dari kraton Solo ini mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah. Adapun jasa Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat revolusi, antara lain saya tuliskan di buku, klik "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan").
Hamengkubuwono I yang menandatangani Perjanjian Giyanti punya kewajiban untuk mematuhi perjanjian dengan Belanda. Maka Hamengkubuwono I pun memerangi Mangkunegara I. Padahal di masa lalu Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I pernah kompak bahu-membahu melawan Belanda. Tetapi dikarenakan Hamengkubuwono I harus mematuhi Perjanjian Giyanti, maka ia terpaksa memerangi Mangkunegara I yang merupakan kerabatnya sendiri. Tetapi Mangkunegara I tetap tidak menyerah.
Setelah melihat gelagat bahwa memerangi Mangkunegara I hanya menghasilkan perang berkepanjangan yang mengakibatkan banyak kerugian, maka kepada Mangkunegara I pun diajukan tawaran. Yaitu Belanda menjamin akan mendukung kekuasaan Mangkunegara, tetapi tentu saja ada imbalan yang harus dibayar oleh Mangkunegara I. Dengan cara mengadu domba dan memecah belah ini, Belanda mendapat keuntungan sekaligus dari tiga pihak. Dapat uang dan wilayah dari pihak Hamengku Buwono I, dari Paku Buwono III, dan dari Mangkunegara I. Belanda sedikit demi sedikit meluaskan wilayah kekuasaannya, sebaliknya kekuasaan Raja semakin dipersempit. Belanda memang cerdik, tahu bahwa jika kekuasaan Raja semakin diperkecil, maka semakin leluasa pula penjajah meluaskan wilayah jajahannya.
Konflik antar saudara dari satu trah Mataram, yang membuat kakak-adik, paman-keponakan, terpecah belah adalah bagian dari sejarah. Dan sejarah itu tidak akan pernah bisa menghapus fakta, bahwa sesungguhnya antara keraton di Yogyakarta dan Solo adalah keturunan sedarah, yang berasal dari leluhur yang sama.*** (Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer, saat ini tergabung sebagai anggota kelompok Indisch-Nederlandse Letteren/KITLV di Leiden yang berfokus pada kajian studi literatur sejarah Indonesia-Belanda).
Walentina Waluyanti de Jonge - About Me
Penulis buku “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"
Artikel Terkait:
Sri Sultan dan Beringin Kramat
{backbutton}