Asal Mula Aksara Purba

Penulis @ copyright: Walentina Waluyanti de Jonge – Nederland

Bayangkanlah ketika bumi masih sangat liar. Belum ada hukum dan tata tertib yang mengatur tatanan masyarakat. Untuk bertahan hidup sungguh tidak mudah. Yang kuat bisa begitu saja membunuh yang lemah, tanpa ada hukuman apa-apa. Sementara itu, insting untuk bertahan hidup, sudah menjadi naluri semua makhuk hidup. Bukan hanya manusia. Bahkan jika Anda ingin membunuh lalat pun, sudah pasti lalat itu keburu kabur menyelamatkan diri.

Di dalam dunia yang barbar, agama dan hukum belum dikenal, manusia masih begitu dekat dengan alam. Antara manusia dan alam, belum ada sekat yang memisahkan. Paling-paling kalau terancam oleh sesuatu, maka goa menjadi tempat berlindung. Untuk bertahan hidup manusia mencari keselamatan kepada yang terdekat dengan dirinya dan yang lebih kuat daripada dirinya. Karena yang paling dekat sekaligus lebih kuat daripada manusia adalah alam, maka manusia menganggap ada kuasa gaib yang menguasai alam.

Foto: Gambar abad ke-11, menampilkan Tuhan di tengah sebagai pusat makrokosmos, dengan makhluk-makhluk lain yang mengelilingi. (Bibliotheque  Nationale Paris).

Alam mampu mendatangkan hujan, macrocosmos001wmmendatangkan suara gemuruh seperti petir, memberi air dan makanan. Tetapi alam juga mampu mendatangkan bencana. Manusia lalu berpikir, yang menciptakan alam itu sudah pasti adalah penguasa gaib bumi ini. Dan kepada penguasa alam itulah mereka mencari perlindungan. Mungkinkah bencana alam itu ada, karena dewa sedang murka? Manusia takut jika dewa murka. Dan mulailah manusia mengenal konsep dewa, atau apa pun namanya sebagai kekuatan gaib yang mampu menyelamatkan manusia.

Mengandalkan kekuatan fisik semata, terbukti tak mampu meloloskan diri dari maut. Maka manusia pun bersandar pada kekuatan gaib, dengan harapan bisa lolos dari maut dan bencana.

Agar kekuatan gaib itu mau datang menolong, maka manusia pada zaman primitif mulai mengucapkan kalimat-kalimat permohonan yang diulang-ulang, bisa dalam bentuk nyanyian. Jika permohonan itu terkabul, maka kalimat permohonan tadi dianggap sakti. Kalimat sakti ini dianggap kramat dan bertuah, yang kemudian disebut sebagai "mantra". Kalimat-kalimat mantra ini harus diucapkan untuk berkomunikasi dengan dewa. "Mantra" ini pada dasarnya diucapkan untuk memohon pertolongan para dewata. Dengan demikian manusia berharap dapat terbebas dari berbagai ancaman dalam bentuk apa saja, sesuai kondisi zaman itu.

Mantra itu diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Mungkin saja mantra itu bertuah bagi yang satu, tapi kok tidak bertuah bagi yang lainnya? Maka timbul pikiran, mungkin mantra itu salah diucapkan. Mantra itu harus diucapkan dengan tepat, agar tidak membuat dewa menjadi marah. Dengan mantra yang tepat, mungkin para dewa mau mendengarkan permohonan. Kalau mantra itu salah ucap, mungkin para dewa tidak mau menolong.

Namanya juga manusia. Kemarin mantra-nya tepat. Tetapi hari ini bisa lupa ataupun keliru. Bagaimana cara agar mantra itu bisa diucapkan dengan tepat? Terbukalah akal, mantra itu harus ditorehkan pada sesuatu. Manusia purba mulai mengenal konsep paling dasar dari yang namanya "bahasa tulisan". Pada mulanya mantra itu ditorehkan dalam bentuk kode, simbol, gambar sederhana. Belum disadari bahwa bentuk simbol-simbol itu kemudian menjadi dasar pengenalan manusia terhadap konsep aksara. "Tulisan" mantra itu dipahat di goa-goa, di bebatuan, diukir di kayu, kulit kayu, batang pohon, digoreskan di lembaran daun. Inilah yang menjadi asal mula lahirnya bahasa tulisan, kendati bentuknya masih purba dan sangat sederhana. Dengan demikian mantra itu tidak akan bisa dilupakan. Kapan saja mereka ingin perlindungan kepada yang gaib, maka cukup membaca mantra yang tertulis itu

Tadinya mantra untuk mohon perlindunganmacrocosmos004wm dewa diukir ke dalam bentuk kode agar mudah diingat. Seiring dengan berkembangnya akal manusia, kemudian kode/gambar yang awalnya merupakan kode mantra, berkembang menjadi rangkaian pesan, kejadian, ataupun keterangan lain dalam bentuk yang masih primitif.

Salah satu penemuan jejak tulisan purba adalah batu bertulis yang ditemukan di sekitar bangunan pemujaan di Mesopotamia di tepi Sungai Eufrat (sekarang di daerah Republik Irak). Tulisan itu dipahat di permukaan batu. Makna tulisan itu diduga berhubungan dengan soal pertukaran/jual-beli (foto di kanan). Temuan tulisan purba ini diperkirakan kira-kira berasal dari tahun 3200 sebelum Masehi (lebih dari 5200 tahun lalu).

Foto: Pahatan tulisan di batu yang ditemukan di Mesopotamia, koleksi Museum Louvre Paris.

Ketika agama diturunkan untuk menertibkan masyarakat yang barbar, ajaran-ajaran agama itu kemudian dituliskan. Ajaran tertulis itu berisi nilai-nilai moral. Untuk mencegah agar ajaran itu tidak dilanggar, maka ajaran itu dituangkan menjadi hukum tertulis. Hukum itu sifatnya masih mendasar. Misalnya tentang 10 perintah Allah di dalam kitab Perjanjian Lama. Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri… dan seterusnya.

Foto: 10 perintah Allah tahun 1768 dalam bahasa Ibrani. (Foto: Portugees-Israëlietische Synagoge Amsterdam)

Pada zaman kegelapan, tien gebodenmanusia belum tersentuh oleh ilmu pengetahuan. Ketika kemudian ajaran agama datang, manusia menjadi bergairah untuk mengetahui ilmu yang baru itu. Sementara itu, dengan segala keterbatasan zamannya, kesulitan hidup tetap saja sulit ditundukkan. Penyakit, musibah, bencana, penderitaan, datang silih berganti. Manusia bertanya-tanya, benarkah agama dapat menghentikan kesengsaraan itu? Benarkah jika manusia tidak memperoleh keselamatan di dunia, keselamatan itu akan didapatkan di akhirat? Bagaimanakah hal ini mungkin?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka manusia mulai mencari jawabnya di kitab-kitab agama. Kupasan-kupasan terhadap kitab suci kemudian secara tidak langsung mengembangkan budaya literasi (membaca dan menulis) dalam berbagai bahasa daerah di Eropa. Tidak hanya di Eropa. Juga di Asia, di Arab, budaya literasi semakin berkembang karena keingintahuan orang pada agama. Nabi Muhammmad terkenal dengan pernyataannya, “Iqra!” atau “bacalah!” Jika ingin memperdalam pengetahuan, maka membaca adalah wajib.

Keingintahuan untuk mempelajari kitab suci dalam berbagai bahasa, membuat perkembangan pengetahuan bahasa berbagai etnis berkembang pesat. Ini memicu lahirnya pengetahuan Ilmu Tata Bahasa, yang menjadi bibit bertumbuhnya ilmu pengetahuan di segala bidang. Maka ilmu pengetahuan pun tidak lagi terbatas pada Ilmu Agama saja.*** (Copyright@Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer)

fr wwWalentina Waluyanti de Jonge, penulis buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"

About Me

 

Artikel terkait:

Bikin Penasaran Ahli, Karya Manusia Primitif Jawa

Kisah 2000 Tahun Lalu, Ketika Belanda Masih Dijajah dan Masih Buta Aksara

 {backbutton}

Add comment