Anas Urbaningrum Dikriminalisasi?
Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Keceplosannya Ruhut Sitompul loyalis SBY, terasa menyentak. Katanya, seandainya Anas mau mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, tentu sekarang ia tidak menjadi tersangka. Ini menimbulkan interpretasi. Mungkinkah Ruhut kelepasan ngomong, mengakui ada skenario kekuasaan untuk mendongkel Anas Urbaningrum?
Aroma character assassination terhadap Anas, tersirat dalam ucapan Akbar Tanjung, yang juga mantan Ketua PB HMI. Akbar Tanjung kontan berkunjung ke rumah Anas setelah KPK mengumumkan Anas sebagai tersangka. Akbar Tanjung mengutip ucapan mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Yaitu politisi dapat terbunuh berkali-kali dalam politik. Setelah terbunuh, politisi tersebut dapat bangkit kembali. Ia mencontohkan dirinya yang pernah bernasib seperti Anas, namun nyatanya hingga kini masih eksis di dunia politik.
Foto: Anas Urbaningrum menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, di Kantor DPP Partai Demokrat di Jakarta, Sabtu (23/2/2013). Sehari sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan pusat olah raga Hambalang, Bogor. (Foto: Kompas/Lucky Pransiska)
Selanjutnya Akbar Tanjung mengatakan ia berempati pada Anas yang dikenalnya sebagai pribadi yang baik, sabar dan tekun. Sayang sekali. potensi Anas tak dianggap di "rumah"-nya (partainya) sendiri. Anas yang menyadari ini, menyebut dirinya sejak awal sebagai "bayi yang tak diharapkan". Ini mengingatkan orang pada pemilihan Ketum PD 2010. Ketika itu SBY menggadang-gadang Andi Mallarangeng sebagai kandidat Ketua Umum, namun gagal. Suara terbanyak memenangkan Anas Urbaningrum.
Para tokoh senior politik yang berdatangan ke rumah Anas untuk memberi empati, menunjukkan Anas adalah tokoh yang diperhitungkan, walau ia tergolong pemimpin muda. Yoris Raweyai mengaku sangat bersimpati mengingat sepak terjang Anas di peta perpolitikan tanah air yang layak diapresiasi. Rasanya tokoh sekaliber Akbar Tanjung, Ketua MK Mahfud MD, Hary Tanoe, Fahmi Idris, Yoris Raweyai, dan sejumlah tokoh penting lainnya, tidak akan gegabah memberi simpati pada orang yang divonis tersangka. Sehingga kedatangan mereka untuk menguatkan Anas, tentu telah diperhitungkan konsekuensinya.
Mantan menteri Hukum dan HAM Yusril Izra Mahendra beropini tentang kejanggalan di balik upaya pelengseran Anas. Kejanggalan ini pula yang membuat sejumlah loyalis Anas menyatakan mundur dari partai. Dugaan adanya permainan atas putusan KPK, secara gamblang dikatakan oleh Ketua MK Mahfud MD, "Anas kader terbaik HMI. Sejarah akan membuktikan kalau dia diperlakukan tidak adil. Itu yang akan memukul KPK," Menurut Mahfud, sebelum penetapan Anas sebagai tersangka, ada peristiwa politik yang mendahului. "Ada yang minta Anas dijadikan tersangka atau tidak, itu kan sudah politis. Itu sebenarnya yang harus dihindari (KPK)" (Kompas 23/2/2013)
Tanda-tanda bakal adanya “operasi khusus” penggulingan Anas sudah terlihat sejak beberapa minggu lalu. Saat itu SBY risau akibat polling PD yang melorot tajam. Mulai terdengar suara-suara elite PD agar Anas dilengserkan, karena dituding sebagai penyebab terpuruknya PD. Selanjutnya SBY berpidato khusus meminta KPK menjelaskan status hukum Anas. Malah seakan mendahului pengumuman KPK, SBY berkata mengambil alih kepemimpinan partai, dengan alasan agar Anas fokus pada kasus hukumnya. Padahal saat itu Anas belum dinyatakan tersangka. Tentang ini Anas berkomentar, "Saat saya diminta (oleh SBY) untuk fokus pada kasus hukum, sebetulnya saya telah divonis."
Yang mengejutkan, tak lama sesudah pidato SBY yang menyatakan mengambil alih PD, ada kebocoran (draft) sprindik Anas ke media, padahal KPK sama sekali belum menyatakan Anas sebagai tersangka. Sejumlah media menulis, disinyalir bahwa sprindik yang menetapkan Anas sebagai tersangka itu bersumber dari staf khusus kepresidenan. Kesan ada kejanggalan dalam kasus Anas, sulit ditepis.
Seolah ada rangkaian sistematis. Sejak Juni 2012 SBY mulai tidak mengundang Anas dalam beberapa rapat partai. Sesudahnya terdengar keluhan SBY tentang terpuruknya Demokrat, dan menghimbau kader yang punya masalah hukum, agar mundur. Di awal Februari 2013, SBY berpidato mendesak KPK untuk menetapkan status Anas.
Sesudah rangkaian tadi, upaya pelengseren Anas semakin terang benderang. Walau Anas belum tersangka; SBY mengumumkan pengambil-alihan kepemimpinan PD, sekaligus menon-aktifkan Anas. Praktis, fungsi Anas sebagai Ketum telah dipreteli secara paksa. Titah SBY menyempurnakan penggulingan itu, dengan menyerukan agar semua kader menandatangani pakta intergritas. Titah itu disertai ancaman harus mundur jika tidak setuju. Sementara itu Ibas putra SBY (Sekjen PD) mundur dari keanggotaan di DPR dengan alasan ingin memfokuskan urusan partai. Mundurnya Ibas dari DPR untuk memfokuskan urusan partai, membuat segalanya makin terang setelah Anas tidak lagi Ketum PD. Kini Ibas duduk sebagai salah satu dari empat pemegang kendali PD.
Rangkaian ini semua terjadi di saat belum ada pengumuman dari KPK tentang status Anas sebagai tersangka. Mungkinkah ada upaya intervensi penguasa untuk mengkriminalisasikan Anas Urbaningrum? Wallahualam!
SBY mengumumkan mengambil alih kendali Partai Demokrat, 8 Februari 2013 (Foto: Sandro Gatra)
Permintaan SBY agar KPK segera menerangkan status Anas, terdengar aneh. Meminta ketegasan status Anas, mengesankan ‘intervensi tak sabaran’ untuk menetapkan status Anas sebagai tersangka. Kalau maksud SBY bahwa KPK harus menjelaskan Anas BUKAN TERSANGKA, tentu ini lebih konyol lagi. Karena kalau Anda bukan tersangka, maka Anda bukanlah tersangka, tidak perlu ada pengumuman khusus dari penegak hukum tentang hal itu.
Anas pun tampaknya menyadari bahwa ia telah menjadi korban “habis manis sepah dibuang”. Di BBM-nya ia menulis "nabok nyilih tangan". Ini kira-kira setara dengan peribahasa “lempar batu sembunyi tangan”. Yaitu memukul orang dengan meminjam tangan orang lain, sehingga si pemukul kelihatan tak bersalah.
Banyak pihak yang menilai Anas terlalu sabar dan mengalah atas perlakuan semena-mena terhadapnya. Tentang ini, menarik menyimak pendapat Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang pernah menjadi semacam “mentor politik” Anas di masa mahasiswa. Prof Ryaas ini kenal dekat dengan Anas, bahkan ia ikut menemani Anas melamar Athiyyah Laila, yang sekarang menjadi Nyonya Anas Urbaningrum.
Ryaas mengenang saat Anas masih mahasiswa. “Anas itu sabar, tekun, baik, halus, santun, sangat santun… caranya bereaksi terhadap sesuatu terlihat sangat matang, padahal saat itu ia masih mahasiswa, sehingga saya sangat terkesan pada dia. Kelebihannya banyak. Yang terutama, dia mau belajar.”
Foto: Kompas Image/Kristianto Purnomo
Karena terkesan dengan pribadi Anas, dalam pembentukan tim 7, tim yang melakukan perubahan UU Politik, Anas juga diikutkan oleh Prof Ryaas Rasyid. Padahal ketika itu Anas adalah anggota termuda di dalam tim. Sehingga banyak yang bertanya, apakah Anas dimasukkan ke dalam tim itu karena ia Ketua HMI? Prof Ryaas menjawab, tak ada hubungannya dengan Ketua HMI. Tapi karena memang Anas dinilainya baik, tekun, mau belajar dan punya spirit untuk berjuang. (Catatan: Anas memang lulus sebagai mahasiswa teladan dan lulusan terbaik dari Universitas Airlangga).
Namun begitu, ada kritik Prof Ryaas. Menurutnya, Anas punya kelemahan yang mungkin juga sekaligus kekuatannya. Anas dinilainya tidak pernah bisa menyerang lawan. Padahal dalam politik itu, menyerang lawan adalah hal biasa. Kata Ryaas, Anas tidak akan pernah bisa menyerang lawan, karena sangat disiplin untuk taat pada azas. Bahkan walau dikiritik ia tetap diam. Kalaupun menjawab, ia menjawab sekenanya saja, tidak terlalu ngotot.
Tampaknya perjalanan panjang penuh onak dan duri masih harus dilalui Anas. Seperti dikatakannya, "Ini bukanlah akhir segalanya. Seperti membaca buku, ini baru babak awal untuk memulai langkah besar." Ketegaran hanya bisa dilakoni oleh orang yang telah terlatih dibanting tantangan hidup. Melalui masa-masa sulit rasanya bukan big problem buat Anas. Almarhum ayahnya adalah guru agama yang juga petani kecil. Anas tumbuh dalam keluarga sederhana. Kakinya terbiasa berlumur lumpur di sawah orangtuanya yang seluas 200 meter persegi. Tangannya telah terbiasa merasakan kerasnya kehidupan saat membantu ayahnya membuat batu bata, seperti banyak dilakukan penduduk di desa Ngaglik, Blitar tempat tinggalnya sejak kanak-kanak hingga remaja. Sebagai anak yang tumbuh di desa miskin, Anas telah belajar bagaimana menaklukkan kerasnya hidup. Semangat itu juga ditularkan oleh ibunya, yang walaupun telah sepuh, namun menolak hidup manja tinggal di rumah mewah anaknya. Ibunda Anas sampai kini bahkan tetap bertahan tinggal di desa, bertani sambil berjualan nasi aking.
Rangkaian proses menuju keadilan telah menanti. Tapi kritik Prof Ryaas Rasyid tentang Anas tadi, menimbulkan satu pertanyaan. Setelah dilempar ke luar ring oleh kekuatan tak nampak, masihkan Anas bertahan untuk tidak menyerang lawan?
Foto: Kabarnet.wordpress
Yang jelas, status tersangka memang belum berarti final. Pengadilan tipikor bukanlah lembaga algojo yang membuat seseorang harus dieksekusi bersalah. Seorang tersangka masih menghadapi dua kemungkinan. Yaitu bersalah jika terbukti, dan tidak bersalah jika memang tidak terbukti ada perbuatan melawan hukum.
Walentina Waluyanti
{backbutton}