Aksi Keturunan Indo Menggugat Pemerintah Belanda
Walentina Waluyanti – Belanda
[9/3-2020] - Pasca kemerdekaan RI, banyak orang Belanda, orang Indo (campuran Indonesia Belanda), sejak tahun 1945-1960an yang harus meninggalkan Indonesia. Orang Indo disebut juga orang Indisch adalah keturunan campuran Indo-Eropa. Di Belanda mereka lebih dikenal dengan sebutan “orang Indisch”. Pada masa kolonialisme, banyak di antaranya bekerja di Indonesia sebagai tentara KNIL (tentara Kerajaan Belanda). Setelah selesai perang, mereka pindah ke Belanda.
Sekarang ini keturunan mereka menuntut “Backpay” kepada pemerintah Belanda, atau menuntut pemerintah Belanda membayar kembali tunggakan gaji dan pensiun dari orangtua mereka pada masa perang. Semua pemerintah kolonial Sekutu lainnya sudah melakukannya. Namun pemerintah Belanda menolak membayar. Sehingga para migran dari Hindia Belanda (Indonesia) ini banyak yang hidup miskin setelah mereka pindah dari Indonesia ke Belanda.
Pada tahun 2015, setelah 70 tahun menunggu, sebuah kesepakatan tercapai dan 25.000 euro dibayarkan per orang. Meskipun demikina, tampaknya masalah ini masih terus berlarut-larut. Setelah 75 tahun pembebasan, komunitas masyarakat “Indisch” (Hindia Belanda) yang orangtuanya dahulu hidup di Indonesia zaman kolonial masih berjuang untuk pemulihan
Bertempat di Monumen Nasional di Dam Square, masyarakat “Indisch” secara simbolis menyatakan “perang” terhadap negara Belanda. Ini adalah ekspresi mereka, bahwa setelah 75 tahun pembebasan, mereka masih terus berjuang untuk rehabilitasi hukum dan kehormatan bagi orangtua mereka yang dianggap telah berjasa bagi pemerintah Belanda.
Ferry Brouwer von Gonzenbach di Monumen Nasional di Dam, Amsterdam. Foto: Jean-Pierre Jans
Media Belanda, Het Parool (8/3-20) melaporkan suasana protes masyarakat “Indisch”. Ferry Brouwer von Gonzenbach (59), salah satu anak dari eks KNI. Ia mengenakan seragam KNIL seperti ayahnya, dengan pita putih dengan simbol palang merah di lengan atasnya. Karena ayahnya juga pernah bekerja sebagai perawat di palang merah. Ia meletakkan karangan bunga di Dam Square. Brouwer von Gonzenbach (59) adalah seorang polisi. Ia bercerita bahwa ayahnya menjadi tentara KNIL di Hidia Belanda (Indonesia dahulu) tahun 1935. Kemudian dipindahkan ke Jepang sebagai tawanan perang. Setelah pembebasan, ia kembali ke Hindia Belanda. Lalu setelah kemerdekaan Indonesia ia pindah ke Belanda.
Brouwer von Gonzenbach mengaku, ia ingin memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak ayahnya. “Ayah saya mengalami hal-hal buruk selama perang," kata Ferry Brouwer von Gonzenbach. “Di Jepang mereka harus bekerja di tambang, 800 meter di bawah tanah. Sebagai seorang perawat, ayah saya tidak harus turun, tetapi dia melihat 76 anak laki-laki Belanda meninggal. Selama 3,5 tahun saat perang, dia tidak pernah menerima satu sen pun. Ayah saya meninggal pada 2005, tetapi itu tidak berarti bahwa utang pemerintah padanya sudah berakhir. Saya akan terus berjuang untuknya, atas nama ayah.”
Anak-anak dan cucu-cucu orang Indo atau orang Indisch itu berkumpul di Dam Square. Mereka mendekap foto orang tua atau kakek-nenek mereka di dada. Sebetulnya bukan hanya orang Indo. Cukup banyak juga orang Belanda berkulit putih dengan latar belakang sejarah keluarga mereka yang dahulu hidup di Hindia Belanda (nama Indonesia pada zaman kolonial). Sehingga aksi mereka tidak hanya mewakili orang Indisch, juga mewakili kelompok lain, termasuk orang Belanda sendiri, yang ayah dan kakeknya adalah prajurit KNIL yang tidak menerima upah selama perang bertahun-tahun. Aksi di Dam Square tersebut diselenggarakan oleh Indisch Platform 2.0.
Aksi ini mereka sebut "Day of the Revolt". Isu utama aksi adalah “Backpay”. Pegawai negeri di Hindia Belanda juga pantas atas upah mereka dari perang. Mereka juga berkomitmen untuk mengakui penderitaan orang Indisch, tidak hanya selama perang, tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya. Dalam apa yang disebut periode Bersiap, orang Indisch ikut menderita dalam “pesta kekerasan” ini (istilah yang disebut oleh seorang pembicara).
Aksi masyarakat Indisch menggugat pemerintah Belanda di Monumen Nasional di Dam, Amsteram. Foto: Jean-Pierre Jans
Media Belanda Het Parool melaporkan bahwa meskipun aksi tersebut meneriakkan pernyataan-pernyataan berani, namun secara umum, menyenangkan. Penulis Marion Bloem dan pedagang seni/penulis Frans Leidelmeijer turut berbicara. Penyanyi Ernst Jansz dan band Massada juga tampil. Seperti biasa, di mana masyarakat Indisch berkumpul, selalu ada acara makan-makan. Mereka membagi makanan ringan ala Indisch, wisatawan ikut kebagian.
Tampak tampil juga jurnalis Griselda Molemans, pemerhati masalah-masalah “Ïndisch”, yang berfokus pada masalah kurangnya pemulihan hukum orang-orang Indisch. Gert dan Hermien bernyanyi, 'Semua Indo di Dam Square / Ya, siapa yang tahu bagaimana hal itu terjadi? / Karena negara telah merampok mereka. Tapi harapan tidak pernah padam, shalalalia, shalalala."Ferry Brouwer von Gonzenbach berkata bahwa abu jenazah ayahnya telah ditaburkan di sebelah monumen Indisch di Den Haag. "Setiap kali kepala negara meletakkan karangan bunga di sana, ayahku mendapat kehormatan yang tidak pernah diterimanya selama hidupnya."
Walentina Waluyanti
Belanda, 9 Maret 2020
{backbutton}