Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
Saya Lepas Istri ke Tanah Suci dengan Air Mata
16 October 2013 | 18:20
Saat Idul Adha tiba, saya selalu terkenang tahun 1999. Pada tahun itulah, istriku kedua kalinya melaksanakan ibadah haji. Kali ini sebenarnya dalam kapasitas sebagai Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI). Saya dan istri pertama menunaikan ibadah haji tahun 1992, bersama PT Tiga Utama pimpinan Ande Abdul Latief. Tahun 1996, saya sendiri melaksanakan umrah juga bersama Pak Ande.
Pada tahun 1992, saya termasuk salah seorang wartawan yang merangkap jadi petugas haji PT Tiga Utama. Kala itu bersama beberapa teman lainnya, Asdar Muis RMS, Baso Amir, Ismail Asnawi dari TVRI Ujungpandang, pemain bola Anwar Ramang (almarhum) dan Alimuddin Usman yang pemain PSM, kami menjadi petugas haji.
Istri saya ikut dalam rombongan 1992 itu karena hasil undian di kediaman Pak Ande. Setelah mengetahui saya diundang menjadi petugas haji, istri saya rajin salat. Dia berdoa terus saban usai salatnya agar ikut masuk dalam rombongan petugas haji tersebut. Benar juga, suatu malam, dia ikut saya ke kediaman Pak Ande di Jl.Andi Mappanyukki untuk menghadiri rapat terakhir petugas haji. Sebelum rapat diadakan pengundian untuk mencari tambahan seorang petugas haji. Istriku menulis di sepotong kertas nama dan alamatnya. Saat ditarik, Pak Ande tidak langsung menyebut namanya, tetapi hanya menyebut tempat tinggalnya. Bukan main gembiranya istriku mendapat undangan dan mendampingi saya ke Tanah Suci. Alhamdulillah.
Pada tahun 1999 itu, istri saya yang karyawan RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, menjadi petugas kesehatan haji. Dua hari menjelang berangkat, tiba-tiba saya langsung masuk rumah sakit. Dari Kantor Harian Pedoman Rakyat, saya meneleponnya di rumah, agar segera ke kantor menjemput dan membawa saya ke rumah sakit. Tiba-tiba saja, sakit dada kencang sekali.
Dari kantor saya tidak lagi ke rumah, tetapi langsung ke RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo. Ini kedua kali saya masuk rumah sakit karena penyakit paruparu lantaran kuat merokok. Saya harus meminum obat selama enam bulan untuk memulihkan penyakit ini. Pada malam hari di rumah sakit, dokter yang memimpin tim Kesehatan Haji Indonesia Sulsel menelepon istri saya agar segera masuk asrama sebagai persiapan berangkat. Dengan berlinang airmata, istri saya menjawab, minta izin masuk asrama keesokan siang, karena harus mendampingi saya di rumah sakit.
‘’Dok, kalau boleh saya tidak perlu bermalam di asrama, besok siang saja saya masuk dan langsung berangkat malam harinya. Suami saya lagi diopname di rumah sakit,’’ ujar istri saya dengan terisak-isak.
Malam itu istri saya sibuk sekali mengurus segala sesuatunya. Meminta nasihat dokter untuk kelanjutan perawatan saya yang sejatinya harus rawa inap, tiba-tiba harus dipindahkan ke rumah. Segala resep pun disiapkan yang nanti akan ditebus di apotek. Ibu mendampingi saya semalam di rumah. Semua rambu-rambu yang harus saya ikuti disampaikan. Kepada kedua anak kami disampaikan untuk menjaga saya selama ibunya pergi.
Siang hari itu, saya lupa tanggal dan bulan berapa, terasa lama sekali. Itulah saat yang paling tidak saya sukai, tetapi juga harus memasrahkannya, yakni jam keberangkatan ibu menuju Asrama Haji Sudiang Makassar menjelang take off ke Tanah Suci. Dia sudah persiapkan perlengkapan keberangkatannya. Koper besar dan segala sesuatunya. Saya hanya dapat menyaksikan dari tempat duduk, ketika diai membereskan segala sesuatu yang akan dibawanya.
Waktu keberangkatan pun tiba. Anak laki-laki saya, Hery (Haryadi) mengantar mamaknya ke asrama haji. Ibu keluar dari pintu rumah, saya hanya mengantarnya sampai di pintu pagar.
‘’Pak, saya pergi dulu.. jaga kesehatan, kasih tahu anak-anak agar menjaga Bapak baik-baik,’’ pesannya.
Dia melangkah ke pintu pagar, saya berjalan pelan mengikutinya dari belakang.
‘’Puang, lihat-lihat ki Bapak, saya mau berangkat dulu,’’ dengan suara terisak-isak dan airmata menyungai istri saya berpesan ke ibu di depan rumah yang biasa kami panggil Puang sembari menjabat tangannya Dia pun kembali ke dekat pintu mobil Mendekati saya lagi. Seolah berat sekali dia meninggalkan rumah. Meninggalkan saya yang sakit dan harus dirawat intensif di rumah.
‘’Pak, jaga kesehatan ta (kita). Banyak istrirahat. Banyak berdoa. Saya pergi dulu…,’’ katanya, lagi-lagi dengan airmata yang berlinang dan sesungukan, kemudian melompat naik ke mobil dan duduk di sebelah kiri Hery yang mengantarnya ke asrama haji. ***
Penulis: M. Dahlan Abubakar